×
Ad

Kolom

Konferensi Asia Afrika 1955: Fondasi Ideologis Gerakan Non-Blok yang Mengubah Peta Geopolitik Global

Tantan Taufiq Lubis - detikNews
Kamis, 20 Nov 2025 08:57 WIB
Foto: Tantan Taufiq Lubis (dok istimewa)
Jakarta -

Pasca Perang Dunia II, dunia menyaksikan polarisasi kekuatan yang tajam dalam Perang Dingin antara dua blok raksasa yaitu Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah kendali Uni Soviet. Dalam konteks inilah, bangsa-bangsa yang baru merdeka di Asia dan Afrika mencari ruang bernapas untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa terjerat dalam konflik ideologis tersebut. Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia, pada 18-24 April 1955, muncul sebagai titik tolak sejarah yang monumental. Konferensi ini bukan hanya sekadar pertemuan diplomatik, melainkan sebuah
deklarasi politik kolektif tentang kemandirian, solidaritas, dan anti-kolonialisme.

Narasi sejarah yang mengaitkan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 sebagai fondasi ideologis Gerakan Non-Blok (GNB) dan sebagai kekuatan yang mengubah peta geopolitik global adalah sebuah narasi yang tidak hanya akurat secara historis tetapi juga sangat penting untuk memahami dinamika kekuasaan dalam tata dunia pasca kolonial. Argumen sentral bahwa KAA dan GNB menciptakan "Kekuatan Ketiga" adalah sebuah tesis yang kuat, yang didukung oleh bukti-bukti historis tentang pergeseran power dari bipolaritas ketat menuju multipolaritas yang lebih cair. Argumen sentral bahwa KAA dan GNB berhasil menciptakan "Kekuatan Ketiga" dalam politik internasional, yang tidak hanya mempercepat proses dekolonisasi tetapi juga pengaruh mendalam kedua entitas ini terhadap geopolitik kawasan Asia dan Afrika yang mampu mereformasi struktur tatanan global yang sebelumnya didominasi oleh negara-negara Barat.

Adalah penting untuk melihat KAA bukan sekadar sebagai event diplomatik, melainkan sebagai sebuah momentum psikologis dan ideologis. Sebelum Bandung, dunia yang baru merdeka sering kali dipandang sebagai objek, sebagai "wilayah rebutan" dalam percaturan Perang Dingin. KAA membalik narasi ini, Dengan berkumpulnya 29 negara dari Asia dan Afrika termasuk raksasa seperti India, Tiongkok, Turki dan Indonesia, serta negara-negara yang lebih kecil, konferensi ini menjadi proklamasi kolektif "Kami ada, dan kami memiliki hak untuk bersuara. Ini menegaskan bahwa KAA 1955 Lebih dari Sekadar Konferensi, Tapi
Sebuah Kelahiran Jiwa.

Deklarasi Dasasila Bandung adalah manifestasi dari jiwa ini. Prinsip-prinsip seperti penghormatan pada kedaulatan dan integritas teritorial, pengakuan atas kesetaraan semua ras dan bangsa, serta pantang campur tangan urusan dalam negeri negara lain, merupakan senjata ideologis melawan kolonialisme dan imperialisme. Inilah yang menjadi fondasi ideologis GNB. Gerakan Non-Blok atau Non Aligned Movement yang resmi lahir enam tahun kemudian di Beograd (1961) pada dasarnya adalah institusionalisasi dari Spirit Dasa Sila Bandung. Para pendiri GNB Yaitu Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdul Nasser (Mesir), Kwame Nkrumah (Ghana), dan Josip Broz Tito (Yugoslavia) adalah tokoh-tokoh kunci dalam KAA. Mereka mengambil api dari Bandung dan menyalakannya menjadi sebuah organisasi global dengan jumlah keanggotaan ratusan negara negara dunia yang bertahan hingga hari ini.


Dampak KAA Bagi Geopolitik: Merevisi Peta Kekuasaan Global

Klaim bahwa KAA dan GNB mengubah peta geopolitik global bukanlah hiperbola. Dampak nya terlihat dalam beberapa hal, Pertama Dalam Aspek Akselerasi Dekolonisasi, KAA berfungsi sebagai pengeras suara global untuk perjuangan kemerdekaan. Dukungan moral, politik, dan seringkali materiil dari negara-negara peserta KAA kepada negara-negara yang masih terjajah (seperti Algeria, Vietnam, dan berbagai negara di Afrika) menciptakan tekanan internasional yang tak terbendung bagi kekuatan kolonial Eropa. Narasi "Kekuatan Ketiga" menjadi nyata ketika blok-blok yang bertikai harus berhadapan dengan sebuah blok kohesif yang menentang penjajahan dalam bentuk apapun.

Kedua Dalam Hal Pelebaran Arena Perang Dingin, Sebelum KAA, Perang Dingin sering digambarkan sebagai pertarungan di Eropa. KAA dan GNB memaksa AS dan Uni Soviet untuk memperluas pengaruhnya ke Dunia Ketiga. Hal ini mengubah diplomasi global dari pertarungan dua kutub menjadi permainan tiga poros, di mana negara-negara NonBlok bisa melakukan "balancing act." Mereka bisa memanfaatkan bantuan dari kedua blok tanpa harus berkomitmen secara ideologis, sebuah strategi diplomatik yang cerdik yang memperluas ruang gerak mereka.

Ketiga Dalam Sektor Reformasi Tata Kelola Global, Kekuatan Ketiga ini tidak hanya bermain dalam aturan yang ada, tetapi juga berusaha mengubah aturannya. Tekanan dari negara-negara NonBlok memainkan peran kunci dalam reformasi PBB dan pembentukan lembaga-lembaga internasional baru. Mereka menjadi kekuatan pendorong di balik resolusi-resolusi anti kolonial dan isu-isu hak menentukan nasib sendiri. Kemandirian kebijakan luar negeri mereka, seperti Mesir dalam Krisis Suez, membuktikan bahwa kedaulatan bisa dipertahankan di tengah tekanan adidaya.

Namun tentunya, narasi ini juga harus disikapi dengan kritis. "Kekuatan Ketiga" tidak pernah benar benar monolitik. Perpecahan internal seperti konflik India-Tiongkok pada 1962, atau perbedaan kepentingan nasional yang tajam sering melemahkan kohesi GNB. Setelah Perang Dingin berakhir, relevansi GNB sempat dipertanyakan. Namun, justru di sinilah relevansi narasi KAA 1955 kembali bersinar. Dalam dunia yang kembali terpolarisasi, kali ini antara AS dan Tiongkok, prinsip-prinsip Dasasila Bandung terutama penghormatan pada kedaulatan dan tidak campur tangan kembali menjadi sangat aktual. Bagi banyak negara di Global South, semangat Bandung bukan lagi tentang anti kolonialisme klasik, melainkan tentang menolak hegemoni baru dan memastikan hak mereka untuk menentukan jalur pembangunan sendiri tanpa paksaan. Keinginan untuk tidak "memilih blok" dalam persaingan AS-Tiongkok adalah gema langsung dari filosofi Non-Blok.

Oleh karena itu, narasi yang menghubungkan KAA 1955 sebagai fondasi ideologis GNB dan sebagai kekuatan pengubah geopolitik global adalah sebuah penilaian sejarah yang valid dan powerful. KAA bukan hanya fondasi, ia adalah ruh pembentuk identitas bagi dunia pasca kolonial. Meskipun GNB sebagai institusi memiliki banyak tantangan, semangat "Kekuatan Ketiga" yang lahir di Bandung telah meninggalkan warisan abadi bahwa negara-negara kecil dan menengah juga memiliki power agency, bahwa suara mereka penting, dan bahwa dalam sistem internasional yang hierarkis, solidaritas dan prinsip dapat menjadi alat yang ampuh untuk menantang status quo dan membentuk tatanan dunia yang lebih adil. Narasi ini bukanhanya catatan masa lalu, tetapi juga sebuah lensa untuk memahami pergolakan geopolitik abad ke-21.


Latar Belakang dan Konteks Historis KAA 1955

Latar belakang KAA 1955 tidak dapat dipisahkan dari gelombang dekolonisasi pasca-Perang Dunia II. Banyak negara di Asia, seperti India (1947), Indonesia (1945), dan Myanmar (1948), telah memperoleh kemerdekaannya. Sementara di Afrika, gelombang serupa mulai bergulir. Namun, kemerdekaan politik ini seringkali dibayangi oleh ancaman neo kolonialisme dan tarikan magnetik Perang Dingin. Beberapa faktor kunci yang memicu lahirnya KAA adalah:

1. Perang Dingin: Keinginan untuk tidak terlibat dalam persaingan bipolar yang dianggap dapat mengikis kedaulatan nasional yang baru saja diraih.

2. Semangat Solidaritas Asia Afrika: Persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah menciptakan ikatan emosional dan politik yang kuat. Konferensi sebelumnya seperti Conference of Asian Relations di New Delhi (1947) dan pertemuan para perdana menteri Kolombo (1954) telah meletakkan dasar untuk kerja sama yang lebih luas.

3. Konflik Regional: Situasi seperti Perang Korea, krisis Indochina, dan konflik ArabIsrael menambah urgensi bagi negara-negara Asia-Afrika untuk mencari solusi damai di luar kerangka Blok Barat dan Timur.

4. Inisiatif "Lima Perdana Menteri": Gagasan KAA dicetuskan dalam Pertemuan Kolombo oleh lima pemimpin visioner: Perdana Menteri Indonesia (Ali Sastroamidjojo), India (Jawaharlal Nehru), Pakistan (Mohammed Ali Bogra), Burma/UMyanmar (U Nu), dan Sri Lanka (Sir John Kotelawala). Mereka melihat
perlunya sebuah forum yang lebih besar untuk menyatukan suara Dunia Ketiga.

KAA dihadiri oleh 29 negara dari dua benua, mewakili lebih dari setengah populasi dunia saat itu. Keberagaman peserta dari negara republik, monarki, sosialis, hingga kapitalis menunjukkan bahwa persatuan dapat dibangun di atas perbedaan. Tokoh-tokoh legendaris seperti Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Zhou Enlai (Tiongkok), Gamal Abdel Nasser (Mesir), dan Ho Chi Minh (Vietnam) hadir dan memberikan pidato yang membakar semangat. Pidato pembukaan Presiden Soekarno, "Let a New Asia and a New Africa be Born", menekankan pada semangat "Dasa Sila Bandung". Sepuluh prinsip inilah yang menjadi inti dari KAA dan kemudian diadopsi oleh GNB. Kesepuluh prinsip tersebut adalah:

1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri, secara sendirian maupun kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi maupun penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban kewajiban internasional.




(yld/yld)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork