Konferensi Asia Afrika 1955 dan Fondasi Gerakan Non-Blok

Konferensi Asia Afrika 1955 dan Fondasi Gerakan Non-Blok

Hana Nushratu - detikNews
Selasa, 18 Nov 2025 21:52 WIB
Konferensi Asia Afrika digelar di Bandung pada 18-24 April 1955. Salah satu pertemuan internasional terbesar pada masanya itu dihadiri sejumlah pemimpin dunia.
Foto: Dok. asianafricanmuseum.org
Jakarta -

Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada 18-24 April 1955, adalah titik balik sejarah yang monumental dalam konteks Perang Dingin (Blok Barat vs Blok Timur).

KAA muncul sebagai deklarasi kolektif bangsa-bangsa pascakolonial di Asia dan Afrika untuk mencari kemandirian dan menolak keterlibatan dalam konflik ideologis adidaya.

KAA: Kelahiran 'Kekuatan Ketiga'

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tujuan dan Momentum KAA bukan hanya pertemuan diplomatik, tetapi sebuah momentum psikologis dan ideologis yang mengubah pandangan dunia terhadap negara-negara yang baru merdeka-dari objek menjadi aktor politik dengan hak bersuara.

KAA melahirkan Dasa Sila Bandung, sepuluh prinsip yang menjadi senjata ideologis melawan kolonialisme, imperialisme, dan campur tangan asing. Prinsip-prinsip ini, seperti penghormatan kedaulatan, kesetaraan ras/bangsa, dan non-intervensi, menjadi fondasi utama bagi Gerakan Non-Blok (GNB).

ADVERTISEMENT

GNB secara resmi lahir enam tahun kemudian di Beograd (1961), didorong oleh para pendiri kunci KAA seperti Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Abdul Nasser (Mesir), Kwame Nkrumah (Ghana), dan Josep Broz Tito (Yugoslavia). GNB adalah institusionalisasi dari semangat Dasa Sila Bandung.

Dampak KAA bagi Geopolitik: Merevisi Peta Kekuasaan Global

KAA dan GNB secara fundamental mengubah peta kekuasaan global dengan menciptakan 'Kekuatan Ketiga' yang bersifat non-blok:

Pertama, dalam aspek Akselerasi Dekolonisasi, KAA menjadi pengeras suara global, memberikan dukungan moral dan politik tak terbendung bagi perjuangan kemerdekaan di Asia dan Afrika (misalnya Aljazair, Vietnam), mempercepat runtuhnya kolonialisme.

Kedua, dalam Pelebaran Arena Perang Dingin, KAA memaksa AS dan Uni Soviet untuk memperluas pengaruh ke Dunia Ketiga, mengubah diplomasi global dari bipolaritas ketat menjadi permainan tiga poros. Negara Non-Blok dapat melakukan balancing act dengan memanfaatkan bantuan tanpa komitmen ideologis.

Ketiga, dalam sektor Reformasi Tata Kelola Global, Kekuatan Ketiga mendorong reformasi PBB dan lembaga internasional, menjadi kekuatan pendorong di balik resolusi anti-kolonial dan isu hak menentukan nasib sendiri. Kemandirian kebijakan luar negeri mereka, seperti Mesir dalam Krisis Suez, membuktikan kedaulatan bisa dipertahankan di tengah tekanan adidaya.

KAA tidak terlepas Pengaruh Regional. Di Asia, KAA memecahkan isolasi diplomatik Tiongkok dan memperkuat identitas politik bersama bagi negara-negara Asia pascakolonial.

Sementara di wilayah Afrika, KAA memberikan dorongan kuat bagi Akselerasi Dekolonisasi (seperti Tahun Afrika 1960) dan menjadi katalisator bagi pembentukan Organisasi Kesatuan Afrika (OAU), pendahulu Uni Afrika.

Relevansi Kontemporer dan Warisan Abadi

Meskipun GNB menghadapi tantangan internal (perpecahan) dan pertanyaan relevansi pasca-Perang Dingin, semangat Bandung kembali bersinar.

Dalam konteks polarisasi baru (misalnya persaingan AS-China), prinsip-prinsip Dasa Sila Bandung-khususnya penolakan hegemoni dan penghormatan kedaulatan-menjadi sangat aktual bagi negara-negara Global South.

KAA dan GNB bukan sekadar fenomena geopolitik, mereka adalah sebuah revolusi epistemik, perombakan mendasar terhadap cara dunia memandang dirinya sendiri dan mendorong Reformasi Tata Kelola Dunia.

Sebelumnya, tata kelola global adalah monopoli kekuatan-kekuatan Barat yang telah matang (the established Powers), yang aturannya ditulis oleh dan untuk barat. KAA dan GNB, dengan penuh keyakinan, merobek peta mental dunia bipolar dan menorehkan sebuah benua baru di atasnya: 'Dunia Ketiga', yang bukan berarti dunia ketiga dalam hierarki, melainkan jalan ketiga secara politik dan moral.

KAA adalah sebuah revolusi epistemik yang mendemokratisasikan hubungan internasional. Warisannya adalah penciptaan identitas politik kolektif untuk Global South dan pembuktian bahwa solidaritas dan prinsip moral dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang tangguh di panggung dunia.

(akd/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads