Konferensi Asia Afrika 1955: Fondasi Ideologis Gerakan Non-Blok yang Mengubah Peta Geopolitik Global
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Konferensi Asia Afrika 1955: Fondasi Ideologis Gerakan Non-Blok yang Mengubah Peta Geopolitik Global

Kamis, 20 Nov 2025 08:57 WIB
Tantan Taufiq Lubis
Wakil Rektor Universitas Jakarta - Ketua Umum DPP KNPI, Founder OIC Youth dan Asian African Youth Government, Presiden World NYC Federation - Non Aligned Movement Youth Organization
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Tantan Taufiq Lubis (dok istimewa)
Foto: Tantan Taufiq Lubis (dok istimewa)
Jakarta -

Pasca Perang Dunia II, dunia menyaksikan polarisasi kekuatan yang tajam dalam Perang Dingin antara dua blok raksasa yaitu Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah kendali Uni Soviet. Dalam konteks inilah, bangsa-bangsa yang baru merdeka di Asia dan Afrika mencari ruang bernapas untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa terjerat dalam konflik ideologis tersebut. Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia, pada 18-24 April 1955, muncul sebagai titik tolak sejarah yang monumental. Konferensi ini bukan hanya sekadar pertemuan diplomatik, melainkan sebuah
deklarasi politik kolektif tentang kemandirian, solidaritas, dan anti-kolonialisme.

Narasi sejarah yang mengaitkan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 sebagai fondasi ideologis Gerakan Non-Blok (GNB) dan sebagai kekuatan yang mengubah peta geopolitik global adalah sebuah narasi yang tidak hanya akurat secara historis tetapi juga sangat penting untuk memahami dinamika kekuasaan dalam tata dunia pasca kolonial. Argumen sentral bahwa KAA dan GNB menciptakan "Kekuatan Ketiga" adalah sebuah tesis yang kuat, yang didukung oleh bukti-bukti historis tentang pergeseran power dari bipolaritas ketat menuju multipolaritas yang lebih cair. Argumen sentral bahwa KAA dan GNB berhasil menciptakan "Kekuatan Ketiga" dalam politik internasional, yang tidak hanya mempercepat proses dekolonisasi tetapi juga pengaruh mendalam kedua entitas ini terhadap geopolitik kawasan Asia dan Afrika yang mampu mereformasi struktur tatanan global yang sebelumnya didominasi oleh negara-negara Barat.

Adalah penting untuk melihat KAA bukan sekadar sebagai event diplomatik, melainkan sebagai sebuah momentum psikologis dan ideologis. Sebelum Bandung, dunia yang baru merdeka sering kali dipandang sebagai objek, sebagai "wilayah rebutan" dalam percaturan Perang Dingin. KAA membalik narasi ini, Dengan berkumpulnya 29 negara dari Asia dan Afrika termasuk raksasa seperti India, Tiongkok, Turki dan Indonesia, serta negara-negara yang lebih kecil, konferensi ini menjadi proklamasi kolektif "Kami ada, dan kami memiliki hak untuk bersuara. Ini menegaskan bahwa KAA 1955 Lebih dari Sekadar Konferensi, Tapi
Sebuah Kelahiran Jiwa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deklarasi Dasasila Bandung adalah manifestasi dari jiwa ini. Prinsip-prinsip seperti penghormatan pada kedaulatan dan integritas teritorial, pengakuan atas kesetaraan semua ras dan bangsa, serta pantang campur tangan urusan dalam negeri negara lain, merupakan senjata ideologis melawan kolonialisme dan imperialisme. Inilah yang menjadi fondasi ideologis GNB. Gerakan Non-Blok atau Non Aligned Movement yang resmi lahir enam tahun kemudian di Beograd (1961) pada dasarnya adalah institusionalisasi dari Spirit Dasa Sila Bandung. Para pendiri GNB Yaitu Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdul Nasser (Mesir), Kwame Nkrumah (Ghana), dan Josip Broz Tito (Yugoslavia) adalah tokoh-tokoh kunci dalam KAA. Mereka mengambil api dari Bandung dan menyalakannya menjadi sebuah organisasi global dengan jumlah keanggotaan ratusan negara negara dunia yang bertahan hingga hari ini.


Dampak KAA Bagi Geopolitik: Merevisi Peta Kekuasaan Global

Klaim bahwa KAA dan GNB mengubah peta geopolitik global bukanlah hiperbola. Dampak nya terlihat dalam beberapa hal, Pertama Dalam Aspek Akselerasi Dekolonisasi, KAA berfungsi sebagai pengeras suara global untuk perjuangan kemerdekaan. Dukungan moral, politik, dan seringkali materiil dari negara-negara peserta KAA kepada negara-negara yang masih terjajah (seperti Algeria, Vietnam, dan berbagai negara di Afrika) menciptakan tekanan internasional yang tak terbendung bagi kekuatan kolonial Eropa. Narasi "Kekuatan Ketiga" menjadi nyata ketika blok-blok yang bertikai harus berhadapan dengan sebuah blok kohesif yang menentang penjajahan dalam bentuk apapun.

ADVERTISEMENT

Kedua Dalam Hal Pelebaran Arena Perang Dingin, Sebelum KAA, Perang Dingin sering digambarkan sebagai pertarungan di Eropa. KAA dan GNB memaksa AS dan Uni Soviet untuk memperluas pengaruhnya ke Dunia Ketiga. Hal ini mengubah diplomasi global dari pertarungan dua kutub menjadi permainan tiga poros, di mana negara-negara NonBlok bisa melakukan "balancing act." Mereka bisa memanfaatkan bantuan dari kedua blok tanpa harus berkomitmen secara ideologis, sebuah strategi diplomatik yang cerdik yang memperluas ruang gerak mereka.

Ketiga Dalam Sektor Reformasi Tata Kelola Global, Kekuatan Ketiga ini tidak hanya bermain dalam aturan yang ada, tetapi juga berusaha mengubah aturannya. Tekanan dari negara-negara NonBlok memainkan peran kunci dalam reformasi PBB dan pembentukan lembaga-lembaga internasional baru. Mereka menjadi kekuatan pendorong di balik resolusi-resolusi anti kolonial dan isu-isu hak menentukan nasib sendiri. Kemandirian kebijakan luar negeri mereka, seperti Mesir dalam Krisis Suez, membuktikan bahwa kedaulatan bisa dipertahankan di tengah tekanan adidaya.

Namun tentunya, narasi ini juga harus disikapi dengan kritis. "Kekuatan Ketiga" tidak pernah benar benar monolitik. Perpecahan internal seperti konflik India-Tiongkok pada 1962, atau perbedaan kepentingan nasional yang tajam sering melemahkan kohesi GNB. Setelah Perang Dingin berakhir, relevansi GNB sempat dipertanyakan. Namun, justru di sinilah relevansi narasi KAA 1955 kembali bersinar. Dalam dunia yang kembali terpolarisasi, kali ini antara AS dan Tiongkok, prinsip-prinsip Dasasila Bandung terutama penghormatan pada kedaulatan dan tidak campur tangan kembali menjadi sangat aktual. Bagi banyak negara di Global South, semangat Bandung bukan lagi tentang anti kolonialisme klasik, melainkan tentang menolak hegemoni baru dan memastikan hak mereka untuk menentukan jalur pembangunan sendiri tanpa paksaan. Keinginan untuk tidak "memilih blok" dalam persaingan AS-Tiongkok adalah gema langsung dari filosofi Non-Blok.

Oleh karena itu, narasi yang menghubungkan KAA 1955 sebagai fondasi ideologis GNB dan sebagai kekuatan pengubah geopolitik global adalah sebuah penilaian sejarah yang valid dan powerful. KAA bukan hanya fondasi, ia adalah ruh pembentuk identitas bagi dunia pasca kolonial. Meskipun GNB sebagai institusi memiliki banyak tantangan, semangat "Kekuatan Ketiga" yang lahir di Bandung telah meninggalkan warisan abadi bahwa negara-negara kecil dan menengah juga memiliki power agency, bahwa suara mereka penting, dan bahwa dalam sistem internasional yang hierarkis, solidaritas dan prinsip dapat menjadi alat yang ampuh untuk menantang status quo dan membentuk tatanan dunia yang lebih adil. Narasi ini bukanhanya catatan masa lalu, tetapi juga sebuah lensa untuk memahami pergolakan geopolitik abad ke-21.


Latar Belakang dan Konteks Historis KAA 1955

Latar belakang KAA 1955 tidak dapat dipisahkan dari gelombang dekolonisasi pasca-Perang Dunia II. Banyak negara di Asia, seperti India (1947), Indonesia (1945), dan Myanmar (1948), telah memperoleh kemerdekaannya. Sementara di Afrika, gelombang serupa mulai bergulir. Namun, kemerdekaan politik ini seringkali dibayangi oleh ancaman neo kolonialisme dan tarikan magnetik Perang Dingin. Beberapa faktor kunci yang memicu lahirnya KAA adalah:

1. Perang Dingin: Keinginan untuk tidak terlibat dalam persaingan bipolar yang dianggap dapat mengikis kedaulatan nasional yang baru saja diraih.

2. Semangat Solidaritas Asia Afrika: Persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah menciptakan ikatan emosional dan politik yang kuat. Konferensi sebelumnya seperti Conference of Asian Relations di New Delhi (1947) dan pertemuan para perdana menteri Kolombo (1954) telah meletakkan dasar untuk kerja sama yang lebih luas.

3. Konflik Regional: Situasi seperti Perang Korea, krisis Indochina, dan konflik ArabIsrael menambah urgensi bagi negara-negara Asia-Afrika untuk mencari solusi damai di luar kerangka Blok Barat dan Timur.

4. Inisiatif "Lima Perdana Menteri": Gagasan KAA dicetuskan dalam Pertemuan Kolombo oleh lima pemimpin visioner: Perdana Menteri Indonesia (Ali Sastroamidjojo), India (Jawaharlal Nehru), Pakistan (Mohammed Ali Bogra), Burma/UMyanmar (U Nu), dan Sri Lanka (Sir John Kotelawala). Mereka melihat
perlunya sebuah forum yang lebih besar untuk menyatukan suara Dunia Ketiga.

KAA dihadiri oleh 29 negara dari dua benua, mewakili lebih dari setengah populasi dunia saat itu. Keberagaman peserta dari negara republik, monarki, sosialis, hingga kapitalis menunjukkan bahwa persatuan dapat dibangun di atas perbedaan. Tokoh-tokoh legendaris seperti Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Zhou Enlai (Tiongkok), Gamal Abdel Nasser (Mesir), dan Ho Chi Minh (Vietnam) hadir dan memberikan pidato yang membakar semangat. Pidato pembukaan Presiden Soekarno, "Let a New Asia and a New Africa be Born", menekankan pada semangat "Dasa Sila Bandung". Sepuluh prinsip inilah yang menjadi inti dari KAA dan kemudian diadopsi oleh GNB. Kesepuluh prinsip tersebut adalah:

1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri, secara sendirian maupun kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi maupun penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban kewajiban internasional.

Prinsip-prinsip ini menjadi kompas moral dan politik bagi negara-negara Asia-Afrika. Jadi Jelas, Konferensi Asia-Afrika 1955 bukan sekadar pertemuan diplomatik biasa, ia adalah sebuah gerakan politik yang lahir dari rahim penderitaan kolonial dan ketakutan akan keterjeratan dalam penjajahan baru. Konferensi ini merupakan kristalisasi dari sebuah kesadaran kolektif bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka harus merajut jalan nasibnya sendiri, di tengah-tengah arena perang global yang dikuasai oleh raksasa-raksasa ideologis. Dalam pandangan saya, KAA adalah upaya paling awal dan paling terstruktur untuk mendefinisikan "Dunia Ketiga" bukan sebagai entitas yang lemah, tetapi sebagai kekuatan moral dan politik yang independen.

Dari Bandung ke Beograd: KAA sebagai Inspirasi Gerakan Non-Blok 1961

Meskipun KAA berhasil membangun solidaritas, ia belum membentuk suatu struktur organisasi yang permanen. Enam tahun setelah Bandung, semangat yang sama dihidupkan kembali untuk merespons eskalasi Perang Dingin yang semakin mengkhawatirkan, seperti pembangunan Tembok Berlin dan Krisis Teluk Babi. Tokoh trio baru Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru melanjutkan obor yang dinyalakan di Bandung. Pada tahun 1961, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama Gerakan Non-Blok diselenggarakan di Beograd, Yugoslavia. KTT ini secara resmi mendirikan GNB sebagai sebuah organisasi internasional yang permanen.

Kontinuitas antara KAA dan GNB sangat jelas nampak dalam Ideologi Inti gerakan ini, yaitu Prinsip Non-Blok (tidak memihak pada blok mana pun) merupakan penyempurnaan dari semangat independensi KAA. Lalu Dalam Hal Doktrin Dasar yaitu Dasa Sila Bandung secara substansial diadopsi menjadi prinsip-prinsip dasar GNB. Keterikatan dua institusi ini juga terlihat jelas dalam Tujuan yang Sama yaitu Melawan kolonialisme (dan kemudian imperialisme dan apartheid), mempromosikan perdamaian dunia, dan mendorong kerja sama ekonomi dan budaya di antara negara-negara anggota. Dari Sisi Keanggotaan, Negara Anggota Gerakan Non Blok, Mayoritas berasal dari peserta KAA yang kemudian menjadi anggota pendiri GNB. Dengan demikian, KAA 1955 adalah ruh dan fondasi ideologis, sementara GNB 1961 adalah "institusionalisasi" dari ruh tersebut ke dalam sebuah wadah pergerakan global yang lebih terstruktur.

Pengaruh terhadap Geopolitik Asia

KAA/ Konferensi Asia Afrika dan GNB/ Gerakan Non Blok memberikan pengaruh mendalam pada geopolitik Asia Memperkuat Kedaulatan dan Identitas Regional dengan beberapa cara:
1. Pemecahan Isolasi Tiongkok: Kehadiran Perdana Menteri Zhou Enlai di Bandung adalah sebuah kemenangan diplomatik bagi Tiongkok, yang saat itu dikucilkan oleh banyak negara Barat. KAA membuka jalan bagi Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia-Afrika lainnya, mematahkan isolasi yang diupayakan oleh AS.

2. Penyelesaian Konflik Regional: Prinsip-prinsip KAA, khususnya penyelesaian sengketa secara damai, mempengaruhi penyelesaian beberapa konflik di Asia, seperti dalam Konferensi Jenewa 1954 mengenai Indochina, meskipun dengan hasil yang beragam.

3. Penguatan Identitas Pasca Kolonial: KAA membantu membentuk identitas politik bersama bagi negara-negara Asia yang baru merdeka. Mereka tidak lagi dilihat sekadar sebagai "mantan jajahan" tetapi sebagai aktor aktif dalam politik internasional dengan agenda sendiri.

4. Dukungan bagi Gerakan Pembebasan: Konferensi ini memberikan legitimasi dan dukungan moral maupun politik bagi gerakan kemerdekaan yang masih berjuang, seperti di Algeria, Tunisia, dan Vietnam.

Pengaruh KAA dan GNB terhadap geopolitik Asia bukanlah sekadar pengaruh tambahan, melainkan pengaruh yang mendefinisikan ulang dan memberdayakan. Keduanya berhasil memperkuat kedaulatan dengan memberikan negara-negara Asia ruang bernapas dari cengkeraman Perang Dingin, sekaligus memulihkan identitas regional dengan memungkinkan mereka bercermin pada pengalaman dan aspirasi bersama, bukan pada narasi yang dipaksakan oleh kekuatan asing.

Warisan mereka yang paling abadi adalah keyakinan bahwa negara-negara di "Global South" memiliki hak dan kemampuan untuk menjadi aktor utama dalam panggung dunia, merumuskan kepentingan nasional mereka, dan berkontribusi dalam membentuk tatanan internasional yang lebih adil dan setara. Dalam konteks geopolitik Asia abad ke-21 yang kembali didominasi oleh persaingan kekuatan besar, semangat Bandung tentang solidaritas, independensi, dan agensi kolektif ini justru semakin relevan.

Pengaruh terhadap Geopolitik Afrika

Pengaruh KAA dan GNB terhadap Afrika bahkan lebih signifikan, dramatis dan langsung berimplikasi pada Akselerasi Dekolonisasi dan Pembentukan OAU atau Organisasi Pendahulu African Union:

1. Akselerasi Dekolonisasi: Semangat dan resolusi KAA yang menentang kolonialisme menjadi pendorong moral dan politik yang kuat bagi gerakan kemerdekaan di Afrika. "Tahun Afrika" pada 1960, di mana 17 negara merdeka, tidak dapat dipisahkan dari dorongan internasional yang diciptakan oleh KAA.

2. Inspirasi bagi Pemimpin Afrika: Tokoh-tokoh seperti Kwame Nkrumah (Ghana) dan Gamal Abdel Nasser (Mesir) sangat terinspirasi oleh KAA. Mereka menggunakan prinsip-prinsip Bandung untuk memperkuat perjuangan mereka melawan kolonialisme dan untuk mempersatukan benua Afrika.

3. Kelahiran Organisasi Kesatuan Afrika (OAU): Gagasan tentang solidaritas dan persatuan yang digaungkan di Bandung menjadi katalis bagi pembentukan OAU (pendahulu Uni Afrika) pada tahun 1963. Piagam OAU banyak mencerminkan semangat dan prinsip "Dasa Sila Bandung".

4. Front Melawan Apartheid: KAA dan GNB menjadi platform terkuat dan paling konsisten dalam mendukung perjuangan melawan rezim apartheid di Afrika Selatan, memberikan suara bagi yang tertindas di panggung global.

Pengaruh KAA dan GNB terhadap Afrika bersifat transformasional dan konstitutif. Mereka tidak hanya mempengaruhi permainan geopolitik, bahkan mereka menulis ulang aturan mainnya bagi benua Afrika. KAA memberikan suntikan adrenalin yang mempercepat kematian kolonialisme, sementara GNB memberikan kerangka untuk bertindak secara kolektif pasca kemerdekaan. Warisan terbesarnya adalah pemulihan agensi politik Afrika. Dari menjadi objek yang diperebutkan dalam Perang Dingin atau dieksploitasi oleh kekuatan kolonial, Afrika, yang diilhami dan disatukan oleh semangat Bandung, bangkit untuk menentukan nasibnya sendiri. OAU (dan penerusnya, Uni Afrika) adalah monumen yang hidup bagi warisan ini sebuah pengingat bahwa solidaritas yang lahir di Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955 menjadi fondasi bagi kebangkitan politik sebuah benua.


Pengaruh terhadap Geopolitik Global

Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok (GNB) bukan sekadar fenomena geopolitik, mereka adalah sebuah revolusi epistemik, perombakan mendasar terhadap cara dunia memandang dirinya sendiri dan mendorong Reformasi Tata Kelola Dunia. Sebelumnya, tata kelola global adalah monopoli kekuatan-kekuatan Barat yang telah matang (the established Powers), yang aturannya ditulis oleh dan untuk barat. KAA dan GNB, dengan penuh keyakinan, merobek peta mental dunia bipolar dan menorehkan sebuah benua baru di atasnya: "Dunia Ketiga," yang bukan berarti dunia ketiga dalam hierarki, melainkan jalan ketiga secara politik dan moral. Dampak globalnya bersifat transformatif karena memaksa sistem internasional yang eksklusif untuk, setidaknya sebagian, menjadi lebih inklusif.

Dampak global KAA dan GNB sangat progresif dan revolusioner yang bersifat transformative, dan dunia di buat terperangah dengan gejala dan fenomena baru yang muncul seperti:
1. Mengakhiri Hegemoni Bipolar: KAA dan GNB secara efektif meruntuhkan anggapan bahwa dunia hanya terdiri dari dua kubu. Mereka memperkenalkan dan mengukuhkan adanya "Kekuatan Ketiga" atau "Dunia Ketiga" yang memiliki kepentingan dan agenda sendiri. Ini memaksa kedua blok adidaya untuk memperhitungkan suara negara-negara non-blok.

2. Demokratisasi Hubungan Internasional: Dengan menuntut penghormatan atas kedaulatan dan kesetaraan semua bangsa, KAA menantang hierarki tradisional dalam politik internasional yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan lama. Suara negara-negara kecil dan menengah mulai didengar.

3. Reformasi Tata Ekonomi Global: Semangat KAA melahirkan Group of 77 (G77) di PBB pada tahun 1964, yang memperjuangkan tatanan ekonomi internasional yang lebih adil dan setara melalui gagasan New International Economic Order (NIEO).

4. Peran dalam PBB: Dengan jumlah anggota yang besar, negara-negara Non-Blok menjadi blok voting yang signifikan di PBB, mempengaruhi agenda dan resolusiresolusi penting, terutama yang berkaitan dengan dekolonisasi, hak asasi manusia, dan pembangunan.

Pengaruh global KAA dan GNB adalah upaya paling ambisius dalam sejarah modern untuk mende-sakralisasi tata kelola dunia yang hierarkis dan mendemokratisasikan hubungan internasional. Mereka mungkin tidak sepenuhnya berhasil menciptakan tatanan ekonomi baru yang adil, atau menghentikan Perang Dingin, tetapi mereka berhasil merobohkan tembok monopoli atas wacana global.

Warisan mereka yang paling abadi adalah penciptaan sebuah identitas politik kolektif untuk Global South dan pembuktian bahwa solidaritas antar bangsa dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang tangguh meski tanpa kekuatan militer atau ekonomi yang besar. Dalam dunia abad ke-21 yang kembali ditandai oleh persaingan kekuatan besar (AS vs. Tiongkok), semangat Bandung tentang strategi non-alignment, agensi kolektif, dan perjuangan untuk tatanan yang lebih adil justru menemukan relevansi barunya. KAA dan GNB Adalah Sebuah Warisan yang Masih Berkumandang, mengajarkan bahwa suara yang bersatu dari mereka yang
di pinggiran tidak akan pernah bisa lagi diabaikan oleh pusat-pusat kekuasaan lama.

Tantangan Ke Depan

Meski memiliki pengaruh yang besar, KAA dan GNB juga menghadapi kritik dan tantangan:
β€’ Heterogenitas dan Perpecahan: Keberagaman anggota-dengan sistem politik dan kepentingan nasional yang berbeda-seringkali menyulitkan untuk mencapai
konsensus yang kuat. Perebutan pengaruh antara negara yang condong ke Barat, Timur, atau benar-benar netral melemahkan kohesi.

β€’ Relevansi Pasca Perang Dingin: Dengan berakhirnya Perang Dingin, raison d'Γͺtre utama GNB-non-blok-dipertanyakan. Gerakan ini berjuang untuk
menemukan identitas baru di dunia unipolar pasca-1991.

β€’ Ketidakefektifan dalam Menyelesaikan Konflik: GNB sering dikritik karena tidak mampu mencegah atau menyelesaikan konflik di antara negara-negara anggotanya
sendiri (misalnya Perang Iran-Irak).

β€’ Tantangan Kontemporer: Di era multipolar dan persaingan AS-Tiongkok yang baru, GNB berusaha menemukan relevansinya kembali, tetapi kembali dihadapkan pada tantangan untuk tetap benar-benar "non-blok" dalam konflik strategis baru.

Kesimpulan

Konferensi Asia Afrika 1955 bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan sebuah warisan abadi dari momen deklarasi kemandirian kolektif yang mengubah jalannya sejarah. Sebagai inspirasi langsung bagi Gerakan Non-Blok, warisan KAA terpatri dalam tiga hal mendasar:
1. Pembentukan Tata Dunia Multipolar Awal : KAA dan GNB berhasil memecah monopoli narasi Perang Dingin dan membuka jalan bagi dunia yang lebih multikentris.

2. Akselerasi Proses Dekolonisasi: Semangat Bandung memberikan kekuatan dan
legitimasi yang tak ternilai bagi perjuangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk merdeka.

3. Penegakan Prinsip Kedaulatan dan Kesetaraan: "Dasa Sila Bandung" tetap menjadi piagam moral dalam hubungan internasional, yang terus dijadikan rujukan oleh negaranegara berkembang hingga hari ini.

Warisan KAA tetap relevan dalam menghadapi tantangan abad ke-21, seperti ketimpangan global, perubahan iklim, dan polarisasi baru. Semangat solidaritas Selatan-Selatan, kerja sama berdasarkan kesetaraan, dan komitmen pada penyelesaian damai, yang pertama kali dikumandangkan di Bandung, terus menjadi panduan yang berharga bagi diplomasi global.

Tantan Taufiq Lubis, Wakil Rektor Universitas Jakarta - Ketua Umum DPP KNPI, Founder OIC Youth dan Asian African Youth Government, Presiden World NYC Federation - Non Aligned Movement Youth Organization

Tonton juga video "Geopolitik Memanas, Megawati Ingin Konferensi Asia-Afrika Digelar Lagi"

Halaman 3 dari 3
(yld/yld)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads