Hakim terdakwa kasus suap vonis lepas perkara minyak goreng, Djuyamto, berharap majelis hakim memberikan putusan yang adil untuknya. Djuyamto memohon majelis hakim mempertimbangkan pengakuan bersalah dan penyesalannya dalam kasus tersebut.
"Telah dengan sangat jelas bagaimana ungkapan jujur terdakwa sebagaimana terbukti di persidangan Yang Mulia ini, yang selanjutnya terdakwa tentu berharap majelis hakim akan memberikan putusan seadil-adilnya," ujar Djuyamto saat membacakan pleidoi pribadinya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).
Djuyamto mengatakan ia memulai karier sebagai staf hakim hakim agung di Mahkamah Agung RI pada 1994. Dia mengatakan perbuatannya telah merusak kariernya sebagai hakim yang sudah berjalan selama 23 tahun.
"Sejak tahun 2002 sampai dengan 2024, Terdakwa belum pernah dilaporkan oleh para pihak beperkara terkait dengan putusan-putusan terdakwa ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun ke Komisi Yudisial dan juga tidak pernah dijatuhi sanksi apa pun oleh pimpinan terkait dengan pelanggaran disiplin maupun pelanggaran kode etik atau perilaku hakim dalam pelaksanaan tugas kedinasan, bahkan sanksi berupa teguran lisan pun belum pernah," ujarnya.
Dia mengatakan aktif dalam kegiatan insidental berupa menjalankan tugas bencana daerah di berbagai daerah, sebagai pengurus Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Dia mengaku menginisiasi dan membantu gerakan pelestarian seni dan budaya pembuatan wayang kulit Babad Kartasura.
"Bagi kebanyakan orang, apa saja yang terdakwa lakukan tersebut barangkali dianggap sebagai hakim yang aneh-aneh dan kurang kerjaan, tidaklah mengapa, biarlah waktu yang akan membuktikan," ujarnya.
Djuyamto mengatakan mantan Ketua PN Jakarta Selatan yang juga mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, M Arif Nuryanta, tak pernah meminta vonis lepas perkara migor, melainkan hanya meminta agar perkara itu dibantu. Dia mengklaim keputusan vonis lepas itu diambil berdasarkan suara terbanyak dalam musyawarah majelis hakim yang berdasarkan fakta persidangan.
"Putusan onslag juga telah diambil dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan, termasuk juga mempertimbangkan putusan perkara CPO Migor perseorangan," ujarnya.
Djumyanti menyebutkan, ia bersama anggota majelis Agam Syarief Baharudin serta Ali Muhtarom tak pernah inisiatif meminta uang terkait vonis lepas tersebut. Dia mengaku tak pernah menanyakan terkait uang ke Arif.
"Mengapa Terdakwa dengan anggota majelis hakim tidak pernah berinisiatif meminta dan menanyakan soal uang kepada saksi Muh Arif Nuryanta, karena sejak awal ditunjuk sebagai majelis hakim, terdakwa berasumsi penanganan perkara korporasi CPO Migor adalah atensi dari pimpinan, hal mana telah jelas terbukti di persidangan," ujarnya.
Djuyamto mengatakan jumlah penerimaan dalam surat dakwaan tidak benar. Penerimaan pertama yang dia terima sebesar Rp 1.270.000.000 dan penerimaan kedua sebesar Rp 6.700.000.000.
"Sehingga jumlah penerimaan oleh terdakwa versi surat dakwaan sejumlah Rp 9.500.000.000 adalah tidak benar. Penghitungan jumlah penerimaan oleh terdakwa versi jaksa penuntut umum tersebut didasarkan atas asumsi yang tidak berdasarkan fakta nyata di persidangan," ujar Djuyamto.
"Dan tidak menghargai kejujuran terdakwa pada saat penyidikan, di mana angka-angka jumlah penerimaan oleh terdakwa, serta saksi Agam Syarif Baharuddin serta saksi Ali Muhtarom justru terkuak atas sikap kooperatif serta terus terang dari terdakwa," tambahnya.
Dia mengatakan uang itu digunakan untuk biaya pembelian atau pengadaan tanah kantor MWC (Majelis Wakil Cabang) NU Kartasura sejumlah Rp 5.650.000.000, biaya pembuatan wayang kulit Babad Kartasura, biaya launching Wayang Babad Kartasura. Kemudian, untuk biaya penyelenggaraan 4 kali pergelaran Wayang Babad Kartasura, bantuan berbagai kegiatan seni budaya lainnya di Kartasura, termasuk memahari puluhan keris pusaka sebagai upaya melestarikan benda cagar budaya sejumlah kurang lebih Rp 1,5 miliar.
"Penggunaan uang yang diterima terdakwa tersebut hampir 85% dari seluruh jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa dari saksi M Arif Nuryanta adalah dipakai terdakwa untuk membantu atau suport kegiatan keagamaan atau seni budaya, bukan untuk kepentingan pribadi terdakwa, tidak digunakan untuk membeli aset atau barang-barang mewah sehingga jelas terbukti bahwa penerimaan uang oleh terdakwa tidak didasari oleh motivasi kerakusan atau keduniawian," ujarnya.
Djuyamto mengaku telah bersikap kooperatif sejak penyidikan perkara ini. Dia menyebutkan alur suap perkara ini terungkap atas sikap kooperatif dirinya bersama Agam dan Ali.
"Terdakwalah yang justru menyampaikan alur atau rangkaian peristiwa kepada penyidik, baik mengenai awal mula penunjukan majelis hakim maupun jumlah uang yang diterima oleh terdakwa serta anggota majelis hakim, di mana dengan keterusterangan dan kejujuran terdakwa tersebut telah memperlancar pengungkapan perkara a quo," ujarnya.
Djuyamto mengatakan sikap kooperatif juga tercermin dari pengembalian uang yang diterimanya dalam perkara ini ke Kejaksaan Agung. Dia mengatakan telah menerima sanksi dan hukuman sosial akibat perkara ini.
"Pengakuan bersalah Terdakwa sejatinya bukan hanya tertuju kepada majelis hakim ataupun kepada jaksa penuntut umum sebagai presentasi negara, namun terlebih juga kepada diri pribadi terdakwa sebagai seorang hakim, di mana kesalahan fatal tersebut berakibat hancurnya karier terdakwa yang terdakwa rintis dan bangun melalui perjuangan panjang yang melelahkan," ujarnya.
Dalam perkara ini, Djuyamto dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, uang pengganti Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun kurungan. Jaksa meyakini Djuyamto melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(mib/idn)