Jakarta -
Kelompok Masyarakat Anti Kekerasan Seksual Dukung RUU PKS (#MAKSAdukungRUUPKS) mendesak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) segera disahkan. Sudah bertahun-tahun pengesahan RUU ini ditunda DPR.
"Undang-undang ini amat dibutuhkan dalam rangka membangun konstruksi hukum yang berkeadilan dan sungguh melindungi kelompok rentan di dalam masyarakat, khususnya perempuan dan anak," kata #MAKSAdukungRUUPKS, dalam surat pernyataan yang diterima detikcom, Kamis (2/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menyampaikan surat pernyataan dukungan terhadap RUU P-KS untuk disahkan pada 2020, yang diterima detikcom. Surat itu ditujukan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Ketua DPR, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, para ketua fraksi, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Ada 730 nama yang menyatakan sikap lewat surat pernyataan ini. #MAKSAdukungRUUPKS berbicara atas nama jaringan akademisi, mahasiswa, dan alumni Universitas Indonesia (UI). Mereka berpandangan RUU P-KS penting untuk segera disahkan karena empat alasan.
Alasan pertama, faktor lambannya pembahasan RUU P-KS. RUU ini sudah dirancang Komnas Perempuan sejak 2012, disusun drafnya pada 2014, hingga masuk sebagai RUU Prolegnas sejak 2016. Namun hingga kini RUU itu tak kunjung disahkan DPR menjadi UU.
"Pada 30 Juni 2020, Komisi VIII Baleg DPR RI justru mengusulkan untuk mencabut RUU P-KS dari daftar Prolegnas Prioritas 2020. Hal ini tentu mengundang berbagai kritik publik, terlebih alasan dari pencabutan ini adalah pembahasan RUU PKS yang dianggap sulit," kata mereka.
Tonton video 'Baleg DPR Siap Pasang Badan Demi RUU P-KS':
Alasan kedua, angka kekerasan seksual di Indonesia yang tinggi. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2020, tercatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019. Angka tersebut naik 6 persen dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 406.178.
Laporan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas berjumlah 3.062 kasus. Sebanyak 58 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual perkosaan, disusul oleh pelecehan seksual, dan pencabulan. Angka yang tampak ke permukaan ini diyakini hanya sebagian fakta.
Alasan ketiga, RUU P-KS perlu segera disahkan karena dampak kekerasan seksual yang serius terhadap korban dan penyintas. Para korban dan penyintas rentan mengalami trauma psikologis atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Tak hanya akibat psikologis, akibat ekonomi juga bisa muncul akibat kekerasan seksual.
Di Amerika Serikat, seorang perempuan korban kekerasan seksual merugi sebesar USD 122.278 atau Rp 1.711.892.000,00 selama hidupunya. Laki-laki korban kekerasan seksual mengalami kerugian USD 124.631 atau Rp 1.744.834.000.00 selama hidupnya. Negara turut merugi bila kekerasan seksual tetap marak.
Alasan keempat, RUU P-KS perlu segera disahkan karena peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai. KUHP dinilai belum mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat supaya merasa aman dari kekerasan seksual.
"Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual hadir sebagai lex specialis dari KUHP. RUU P-KS lebih luas dalam mengatur jenis-jenis kekerasan seksual karena terdapat sembilan bentuk, sedangkan KUHP hanya mengatur mengenai perkosaan dan pencabulan," kata mereka.
RUU P-KS juga lebih baik ketimbang KUHP dalam hal aturan soal kekerasan seksual. Soalnya, RUU P-KS memuat restitusi, perampasan keuntungan, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan jabatan, dan pengumuman putusan hakim terkait pelaku.
Maka, mereka menuntut tiga hal ke Presiden Jokowi, DPR, dan KPPA. Pertama, menjadwalkan dan melaksanakan sidang pembahasan RUU P-KS. Kedua, mengesahkan RUU P-KS, dan ketiga, mengikutsertakan akademisi dan organisasi kemasyarakatan yang memiliki perspektif keadilan terhadap korban kekerasan seksual.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini