Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui laporan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016 menyatakan RUU P-KS digagas sejak 2012, tapi baru direalisasikan pada awal 2014.
#MAKSAdukungRUUPKS juga mengatakan RUU PKS digagas Komnas Perempuan pada 2012. Kehadiran RUU itu dinilai mereka mampu memberikan perlindungan terhadap korban sekaligus mencegah kekerasan seksual.
"RUU P-KS memiliki jalan panjang dalam proses pengesahannya. Meskipun telah memasuki 8 tahun semenjak penggagasannya, RUU P-KS masih belum menjadi peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur secara khusus mengenai penghapusan kekerasan seksual," kata #MAKSAdukungRUUPKS dalam keterangan pernyataan dukungannya, ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ketua DPR, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
2014
Draf RUU P-KS mulai disusun oleh Komnas Perempuan, LBH Apik Jakarta, dan Forum Pengada Layanan (FPL).
2016
Komnas dan FPL telah menyusun draf RUU P-KS itu. Draf kemudian diserahkan kepada pimpinan DPR pada 2016.
Sebanyak 70 anggota DPR mengusulkan agar RUU P-KS ini dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2016. RUU P-KS direncanakan terdiri atas 12 bab, meliputi pencegahan, penanganan korban, penindakan, dan rehabilitasi.
25 Mei 2016
Badan Legislasi (Baleg) DPR mulai mendengar pemaparan dari tenaga ahli soal materi draf RUU P-KS.
6 Juni 2016
Komnas Perempuan dan FPL menyerahkan RUU P-PKS kepada pimpinan DPR RI, diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR saat itu, Fahri Hamzah.
8 Juni 2016
Komnas Perempuan mendatangi Istana Merdeka, Jakarta. Komnas menyerahkan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Tadi kami mendapatkan komitmen dari Presiden buat pemerintah juga akan mendukung untuk pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini," kata Ketua Komnas Perempuan saat itu, Azriana Manalu, setelah bertemu dengan Jokowi.
Belasan pengunjuk rasa yang mengatasnamakan diri Aliansi Masyarakat Tolak Kekerasan Seksual beraksi di depan kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA), Selasa (8/12/2015).(Ari Saputra/detikcom) |
20 Juni 2016
Rapat paripurna DPR RI menyetujui RUU P-KS menjadi Prolegnas Prioritas 2016. Namun, 2016 berlalu tanpa pengesahan RUU P-KS.
14 Maret 2017
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani (sekarang Ketua DPR) mengatakan RUU P-KS harus segera disahkan.
5 Desember 2017
Kembali lagi, rapat paripurna DPR menjadikan RUU P-KS (inisiatif DPR) sebagai salah satu dari 50 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2018.
Berbagai pihak dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut, antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Komnas Perempuan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, serta para pakar hukum pidana.
RUU P-KS tak kunjung kelar, Komnas Perempuan mengkritik kerja DPR. Apalagi pada 2018, kasus tenaga honorer dari SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril, sedang mengemuka. Saat itu Baiq Nuril diperkarakan karena merekam percakapan mesum kepala sekolah.
"Komnas Perempuan mengkritisi lambatnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas DPR yang tidak kunjung dibahas dan disahkan di DPR sampai sekarang. Padahal regulasi terkait kekerasan seksual saat ini sangat minim, hanya berpegang pada KUHP," kata komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, 27 November 2018.
Tahun 2018 adalah tahun politik jelang Pemilu 2019, DPR menjelang pungkasan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Yembise mengatakan pihaknya akan memperjuangkan agar RUU P-KS segera disahkan.
2019
Tahun 2018 berganti menjadi 2019, RUU P-KS tak kunjung disahkan. Alih-alih mendapat ketok palu DPR, RUU P-KS justru mendapat penolakan gara-gara dianggap mendukung zina.
Ada seseorang bernama Maimon Herawati yang membuat petisi penolakan terhadap RUU P-KS, judulnya 'TOLAK RUU Pro Zina' lewat change.org pada 27 Januari 2019. Maimon keberatan dengan pembolehan hubungan seksual suka sama suka di RUU itu, juga keberatan dengan materi soal aborsi sukarela di RUU itu.
Pada 1 Februari 2019, penolakan terhadap RUU P-KS muncul dari dalam DPR, tepatnya dari Fraksi PKS. Fraksi ini mengaku sudah memberi masukan untuk perubahan draf RUU P-KS, namun tidak diakomodasi. Menurut PKS, definisi kekerasan seksual di RUU P-KS terlalu bernuansa liberal dan tidak sesuai Pancasila, agama, dan adat ketimuran. PKS menilai RUU itu bisa membuka ruang perilaku seks bebas. PKS mengklaim banyak tokoh agama, ahli, dan ormas yang menolak RUU itu.
"Untuk itu, Fraksi PKS menyatakan dengan tegas menolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," tegas Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini dalam keterangannya, saat itu.
Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Euis Sunarti juga menolak RUU P-KS. Alasannya, RUU itu dinilainya melegalkan pelacuran karena tidak mengatur larangan zina.
Ada pula Wakil Sekjen MUI Tengku Zulkarnain yang menyebut RUU P-KS bertendensi ke pelegalan zina. Namun kemudian, 12 Maret 2019, Tengku Zulkarnain meminta maaf setelah tidak menemukan pasal penyediaan alat kontrasepsi oleh pemerintah untuk pasangan remaja di RUU P-KS.
Ustaz Tengku Zulkarnain (Foto: dok. Istimewa) |
Muncul lagi penolakan, kali ini dari FPI. Ormas ini menolak RUU PK-S karena mengandung paham feminisme Barat yang anti-agama dan berpotensi melegalkan LGBT.
Komnas Perempuan menyatakan informasi yang menyatakan RUU P-KS bermuatan perzinaan dan seks bebas adalah hoax belaka. Situasi kemudian berubah menjadi tidak kondusif untuk RUU P-KS.
13 Februari 2019
Pada 13 Februari 2019, masa persidangan III DPR tahun 2018-2019 berakhir. RUU P-KS bersama 22 RUU lainnya diperpanjang waktu pembahasannya.
26 Agustus 2019
Wakil Ketua Komisi VIII dari F-PKB Marwan Dasopang menyatakan pengesahan RUU P-KS menjadi undang-undang harus menunggu pengesahan RUU KUHP yang dibahas di Komisi III. Soalnya, menurut Marwan, RUU P-KS menginduk ke RUU KUHP. Sebagaimana diketahui, RUU KUHP juga tak kunjung selesai sampai saat ini.
"RUU PKS terlalu tinggi emergensinya untuk harusnya segera disahkan, tetapi dibikin tersandera juga sama RUU KUHP," tanggap aktivis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti, 10 September 2019.
Periode DPR akan berakhir pada 30 September. Waktu tinggal sedikit lagi. Komnas Perempuan terus mendesak RUU P-KS untuk segera disahkan menjadi UU.
17 September 2019
Di tengah isu panas revisi UU tentang KPK, massa yang yang menuntut pengesahan RUU P-KS menggelar demonstrasi di depan gedung parlemen, Jl Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. Pada hari yang sama, muncul pola massa yang kontra-RUU P-KS. Polisi memisahkan kedua kubu, para aparat berdiri di tengah-tengah untuk membelah barisan yang saling adu teriakan.
Deadline semakin dekat, DPR belum juga mengesahkan RUU P-KS. Pimpinan Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan pembahasan RUU P-KS menemui jalan buntu. Judul RUU itu dipermasalahkan, yakni istilah 'kekerasan seksual' atau 'kejahatan seksual'.
"Saya sudah sampaikan ke pimpinan komisi untuk diagendakan pembahasan dan disampaikan terbuka pandangan fraksi," kata Ace kepada wartawan, sepekan sebelum periode anggota DPR 2014-2019 berakhir.
Waktu tinggal empat hari lagi, DPR kemudian merencanakan akan mengesahkan RUU P-KS menjadi UU.
"Paripurna besok, Kamis (26 September 2019) untuk menuntaskan beberapa RUU yang belum disahkan paripurna dan diambil keputusan seperti RUU P-KS, koperasi," kata Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) di gedung DPD, 25 September 2019.
Bamsoet Foto: MPR |
25 September 2019
Rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi VII DPR dengan pemerintah menyepakati pembentukan Tim Perumus (Timus) RUU P-KS. Namun, Timus bekerja tidak pada periode yang segera selesai itu, melainkan akan bekerja pada periode mendatang (2019-2024). Jelas sudah, RUU P-KS tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019.
"Saya sudah berkoordinasi dengan pimpinan panja terkait, karena waktunya yang pendek dan masih banyak masalah yang belum selesai dibahas, maka kita putuskan ditunda," ujar Bamsoet dalam keterangannya, 26 September 2019.
1 Oktober 2019
Anggota DPR periode 2019-2024 dilantik. Di pihak eksekutif, menteri-menteri juga sudah berganti. Badan Legislasi (Baleg) DPR telah memastikan pembahasan RUU P-KS di-carry over atau dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024. Komnas Perempuan meminta DPR memasukkan RUU P-KS ke Prolegnas Prioritas tahun 2020.
5 Desember 2019
DPR dan pemerintah menyepakati 50 RUU Prolegnas Prioritas 2020, salah satunya adalah RUU P-KS. 17 Desember, DPR menggelar rapat paripurna yang dihadiri 357 anggota Dewan, mengesahkan Prolegnas itu.
30 Juni 2020
Tahun berganti, sikap terhadap RUU P-KS berubah. Pada Selasa (30/6/2020), Baleg DPR mengevaluasi Prolegnas Prioritas 2020 dan mengusulkan agar sejumlah RUU ditarik dari Prolegnas Prioritas itu, salah satunya RUU P-KS. Apa alasannya?
Politikus PKB Marwan Dasopang (Tsarina/detikcom) |
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, karena pembahasannya agak rumit. Kami menarik dan sekaligus kami mengusulkan ada yang baru, yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Karena RUU Bencana sudah berjalan, perkiraan teman-teman RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia masih bisa kita kerjakan," kata Ketua Komisi VIII Marwan Dasopeng di ruang rapat Baleg, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (30/6).
Marwan menyatakan rentang waktu pembahasan sampai Oktober tidaklah cukup untuk membahas RUU P-KS. Maka dia mengusulkan agar RUU P-KS dimasukkan saja ke Prolegnas Prioritas 2021. Lagi-lagi, RUU ini ditunda oleh DPR. Dalam rapat itu, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas langsung mengafirmasi usulan Marwan.
"Jadi kita akan bicarakan dengan pemerintah. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ditarik Komisi VIII untuk dikeluarkan dari Prolegnas," kata Supratman.