Dalam lanskap hukum Indonesia yang terus bergulat dengan korupsi sistemik dan kejahatan ekonomi lintas batas dua wajah gelap dari tata kelola yang lemah dan akuntabilitas yang rapuh, RUU Perampasan Aset hadir sebagai janji baru yang menggoda: sebuah instrumen hukum yang digadang-gadang mampu mempercepat pemulihan kekayaan negara yang dirampas oleh elite korup dan jaringan kejahatan transnasional.
Ia menawarkan efektivitas yang selama ini dirindukan oleh publik. Khususnya dalam konteks lemahnya daya eksekusi putusan pengadilan dan lambannya proses pemulihan aset lintas yurisdiksi.
Namun, di balik semangat reformasi yang menggebu, terdapat sebuah keyakinan yang hakiki dan tak boleh ditawar: bahwa hukum bukan sekadar alat kekuasaan untuk mencapai tujuan negara, melainkan fondasi etis yang menjamin hak-hak warga, menyeimbangkan kekuasaan, dan menjaga martabat proses.
Dalam konteks RUU Perampasan Aset, keyakinan ini menjadi batu uji: karena efektivitas yang tidak ditopang oleh legalitas yang kokoh justru berisiko menjadi jalan pintas yang berbahaya jalan yang mungkin cepat, tetapi bisa menabrak prinsip-prinsip keadilan prosedural, mengaburkan batas antara penegakan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
Harus dipahami hukum telah menjadi instrumen peradaban, bukan sekadar alat represi, maka efektivitas yang tidak tunduk pada prinsip due process dan rule of law akan membuka ruang bagi negara untuk bertindak sewenang-wenang atas nama efisiensi.
Ini bukan sekadar kekhawatiran teoritis, melainkan refleksi dari sejarah panjang penyalahgunaan hukum di banyak rezim, di mana hukum dijadikan tameng untuk membungkam, bukan untuk melindungi.
Efektivitas
Dalam teori politik klasik, Montesquieu telah mengingatkan bahwa "kekuasaan harus dibatasi oleh hukum, bukan sebaliknya." Sementara dalam teori hukum modern, Ronald Dworkin menekankan bahwa hukum bukan hanya soal aturan, tetapi soal prinsip dan prinsip itu adalah keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak individu.
Maka, ketika RUU ini mengusung mekanisme pembuktian terbalik dan perampasan tanpa putusan pidana, kita harus bertanya: apakah kita sedang memperkuat negara hukum, atau justru menggeser ke arah negara kekuasaan?
Efektivitas memang penting, terutama dalam menghadapi kejahatan yang kompleks dan terorganisir. Tapi legalitas adalah fondasi. Tanpa legalitas, efektivitas berubah menjadi efisiensi yang brutal dan dalam jangka panjang, justru merusak legitimasi hukum itu sendiri.
Karena hukum yang tidak dipercaya, seberapa pun tajamnya, tidak akan mampu membangun keadilan sosial yang berkelanjutan.
Adapun RUU Perampasan Aset ini mengusung mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB), yang memungkinkan negara menyita aset tanpa putusan pidana. Di atas kertas, ini tampak pragmatis.
Namun dalam praktiknya, ia menggeser beban pembuktian kepada warga negara, menantang asas presumption of innocence yang menjadi fondasi sistem hukum modern. Di sinilah letak paradoksnya: kita ingin hukum yang tajam, tapi tidak boleh kehilangan keadilan prosedural.
Legalitas
Dalam konteks ini, kepercayaan terhadap hukum sebagai instrumen yang mampu menyeimbangkan antara ketegasan dan kehati-hatian merupakan keniscayaan. Kita tidak boleh tergoda oleh logika efisiensi semata.
Waldron (2011) melalui jurnalnya The Rule of Law and The Importance of Procedure mengingatkan bahwa rule of law is not just about outcomes, but about the dignity of process. Ketika proses hukum dikorbankan demi hasil yang cepat, kita sedang membangun negara yang kuat tapi tidak adil.
Sadar ataupun tidak sadar bahwa RUU Perampasan Aset ini bisa berisiko memperluas ruang diskresi negara secara berlebihan. Tanpa pengawasan yudisial yang ketat, pembuktian terbalik bisa menjadi alat represi terhadap kelompok yang tidak memiliki akses pembelaan hukum.
Dalam konteks negara berkembang, seperti Indonesia, di mana independensi lembaga penegak hukum masih rentan terhadap intervensi politik, risiko ini bukanlah asumsi akademik, melainkan kenyataan empiris.
Walaupun demikian, tidak ada unsur penolakan terhadap urgensi perampasan aset. Justru upaya ini mendukung sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi dan keadilan sosial. Namun, pendekatannya harus berbasis pada prinsip due process, transparansi, dan akuntabilitas.
Sebagaimana Brun (2011) dari World Bank dalam kajiannya Asset Recovery Handbook, "asset recovery must be anchored in legal certainty and institutional integrity," Tanpa itu, kita hanya mengganti satu bentuk ketidakadilan dengan yang lain.
Sementara itu RUU ini juga belum menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana menjamin bahwa aset yang dirampas benar-benar dikembalikan untuk kesejahteraan publik? Dalam banyak kasus, aset hasil rampasan justru mengendap dalam birokrasi atau menjadi rebutan antar lembaga. Di sinilah pentingnya desain kelembagaan yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mengelola hasilnya secara produktif dan berkeadilan.
Di sisi lain urgensi RUU Perampasan Aset mengandung esensi pergeseran dari retributive justice ke restorative justice. Hukum tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan. Dan pemulihan itu harus menyasar masyarakat yang selama ini menjadi korban struktural dari korupsi dan ketimpangan.
RUU Perampasan Aset bisa menjadi tonggak reformasi hukum yang progresif, atau justru menjadi alat kekuasaan yang represif.
Pilihannya ada pada kita: apakah kita ingin hukum yang cepat, atau hukum yang adil? Sebagai penulis opini ini, saya memilih yang kedua. Karena dalam jangka panjang, hanya keadilan yang mampu membangun legitimasi negara dan kepercayaan publik.
Herry Mendrofa. Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA).
Simak juga Video: Pemerintah Siap Bahas RUU Perampasan Aset Bareng DPR
(rdp/imk)