Gelombang demonstrasi dalam beberapa bulan terakhir memperlihatkan frustrasi publik yang kian menumpuk. Harga kebutuhan pokok melambung, ketidakadilan ekonomi terasa menusuk, sementara korupsi seperti tak pernah benar-benar ditangani. Bentrokan dengan aparat pun pecah. Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, tewas dilindas kendaraan taktis polisi saat sedang mengantar pesanan. Hingga kini, penabraknya belum diproses pidana dan kasusnya hanya digantung di mekanisme etik internal. Sebaliknya, warga yang turun ke jalan menyuarakan protes justru segera dijadikan tersangka dan ditahan.
Kontras perlakuan hukum ini memperlihatkan wajah asli hukum acara pidana kita. KUHAP 1981 memberi kewenangan diskresioner yang sangat besar kepada penyidik untuk melakukan penangkapan, penahanan, dan penyitaan. Pengawasan hakim terhadap kewenangan ini hanya berbentuk praperadilan yang ruang lingkupnya sempit, waktunya terbatas, dan jarang menyentuh substansi bukti. Akibatnya, masyarakat hampir tidak memiliki sarana komplain yang efektif ketika menjadi korban tindakan aparat. Diskresi penyidik yang luas, ditambah lemahnya kontrol yudisial, menghasilkan praktik sewenang-wenang yang berulang dan mencederai prinsip negara hukum.
Dalam suasana frustrasi ini, publik juga disuguhi berita tentang pejabat dengan harta berlimpah yang tidak sebanding dengan penghasilan sah mereka. Anomali kekayaan ini memperkuat keyakinan bahwa korupsi merajalela dan aparat negara tidak sungguh-sungguh melakukan pemberantasan. Ketidakadilan hukum berpadu dengan ketidakadilan ekonomi, menciptakan krisis legitimasi yang mendalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah kegusaran itu, muncullah gagasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Narasinya sederhana: jika kekayaan pejabat atau siapa pun tidak seimbang dengan penghasilan sah, negara bisa segera menyitanya tanpa menunggu putusan pidana. Publik tentu tergoda, seolah inilah jawaban cepat atas maraknya kekayaan tidak wajar. Namun seperti setiap panacea, janji ini lebih banyak ilusi ketimbang solusi.
Draf RUU Perampasan Aset yang beredar menegaskan bahwa objeknya adalah harta, bukan orang. Pasal 2 menyebut perampasan tidak harus didasarkan pada putusan pidana. Ini berbeda dengan conviction-based confiscation, yaitu perampasan yang baru bisa dilakukan setelah ada vonis bersalah. Pasal 5 memperluas cakupan hingga aset yang tidak seimbang dengan penghasilan sah, sementara Pasal 7 membolehkan perampasan meski terdakwa lepas dari tuntutan hukum. Dengan konstruksi ini, seseorang bisa kehilangan hak miliknya bukan karena terbukti bersalah, tetapi karena gagal meyakinkan hakim bahwa kekayaannya halal.
Mekanisme ini dikenal sebagai perampasan aset tanpa pemidanaan atau perampasan in rem. Dalam model ini, yang menjadi fokus bukanlah orang sebagai terdakwa, melainkan hartanya. Negara cukup menunjukkan bukti awal bahwa harta diduga berasal dari tindak pidana, lalu pemilik dipaksa menjelaskan asal-usul kekayaannya. Cara kerja ini sering menimbulkan polemik karena berbeda dengan sistem pidana konvensional. Penegakan hukum Indonesia sendiri masih membedakan secara ketat antara pidana dan perdata, sehingga penerapan in rem bisa membingungkan, bahkan menimbulkan tumpang tindih prosedur dan ketidakpastian hukum.
RUU ini juga menggunakan konsep peralihan beban pembuktian proporsional. Artinya, negara harus menunjukkan tanda-tanda kuat bahwa suatu harta tidak wajar, misalnya rumah mewah yang tak sesuai dengan gaji resmi. Setelah itu, giliran pemilik yang harus menjelaskan asal-usul sah kekayaannya. Disebut proporsional karena negara tidak bisa asal menuduh, pemilik tetap punya hak membela diri di pengadilan, dan peralihan ini hanya berlaku untuk asal-usul harta, bukan status bersalah pemilik.
Celah penyalahgunaan pun terbuka lebar. Pasal 56 memperbolehkan penjualan aset sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap. Tujuannya menjaga nilai ekonomis, tetapi dalam praktik bisa menjadi ladang penyalahgunaan kekuasaan, apalagi jika pengawasan internal aparat masih lemah. Alih-alih menjawab krisis keadilan, justru lahir ketidakadilan baru.
RUU memang mencantumkan kontrol: izin pengadilan, hak keberatan, pengumuman publik, dan hak pihak ketiga. Akan tetapi, pengalaman panjang menunjukkan mekanisme semacam itu sering hanya formalitas. Praperadilan pun jarang efektif melindungi warga, putusannya sebatas aspek administratif, bukan substansi.
Dorongan mengesahkan RUU ini sesungguhnya bukan hal baru. Selama bertahun-tahun rancangan ini mandek di DPR. Baru ketika publik muak atas pejabat kaya mendadak, pemerintah dan DPR mengangkatnya kembali. Namun nampaknya pembahasan RUU Perampasan asset ini akan ditunda setelah pembahasan RKUHAP rampung. Panacea ini tampil sebagai simbol politik untuk meredam amarah, bukan hasil perencanaan matang yang menyeimbangkan efektivitas dengan prinsip negara hukum.
Belajar dari negara lain, bukan menyalin buta
Pengalaman internasional memberi pelajaran berharga. Amerika Serikat dengan civil forfeiture (perampasan perdata) memang efektif membekukan hasil kejahatan lintas negara, tetapi juga sering disalahgunakan aparat. Skema equitable sharing bahkan mendorong praktik policing for profit, istilah yang menggambarkan kecenderungan polisi menyita aset bukan demi keadilan, melainkan demi keuntungan finansial institusinya. Publik bereaksi, lahir reformasi Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA)2000, dan Mahkamah Agung menegaskan larangan denda berlebihan. Tetapi kontroversi tetap bergulir, memperlihatkan bahaya jika insentif aparat terkait langsung dengan hasil sitaan.
Inggris lebih hati-hati. Civil recovery dalam Proceeds of Crime Act 2002 tetap lewat pengadilan, dengan standar sipil balance of probabilities (keputusan berdasarkan mana yang lebih mungkin benar, di atas 50%). Unexplained Wealth Orders (UWO) menambah daya, memaksa individu menjelaskan asal-usul kekayaan tak wajar. Jika gagal menjelaskan, harta bisa disita. Namun semua tetap di bawah kontrol hakim, hak banding dijamin, dan perlindungan pihak ketiga ditegakkan.
Belanda bahkan baru pada 2025 membuka jalur non-conviction based confiscation (NCB confiscation) sesuai arahan/direktif Uni Eropa, fokus pada aset dengan beban pembuktian beralih proporsional. Artinya, negara terlebih dahulu harus menunjukkan tanda-tanda kuat bahwa suatu harta tidak wajar (misalnya rumah mewah yang tak sesuai dengan gaji resmi). Setelah itu, giliran pemilik harta yang harus menjelaskan asal-usul sah kekayaannya. Disebut proporsional karena negara tidak bisa asal menuduh, pemilik tetap punya hak membela diri di depan hakim, dan peralihan hanya berlaku untuk asal-usul harta, bukan status bersalah pemilik.
Swiss lebih konservatif lagi. Perampasan aset tanpa pidana hanya berlaku bagi aset pejabat asing korup, dengan standar bukti sangat tinggi (overwhelming probability) dan pengawasan penuh pengadilan. Sementara Australia memilih jalan tengah: jalur pidana dengan standar beyond reasonable doubt (harus tanpa keraguan yang wajar) berjalan beriringan dengan jalur perdata balance of probabilities, termasuk unexplained wealth orders di sejumlah negara bagian. Pelajarannya jelas. Perampasan aset bisa efektif, tetapi hanya jika dibatasi ketat, transparan, dan diawasi hakim. Tanpa pagar itu, ia menjadi mesin penyalahgunaan.
Indonesia seharusnya belajar dari sana. Perampasan aset mesti ditempatkan dalam RKUHAP sebagai instrumen upaya paksa, bukan dibiarkan berdiri sendiri sebagai solusi instan. Sama seperti penangkapan dan penahanan, perampasan aset membatasi hak asasi sehingga wajib diatur dalam hukum acara pidana yang utuh. Lebih penting lagi, kita membutuhkan hakim pemeriksaan pendahuluan, bukan sekadar praperadilan formalitas, agar pengawasan berlangsung substantif sejak awal.
Kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa publik menghendaki ketegasan. Tetapi ketegasan tanpa kepastian hukum hanya melahirkan rasa takut, bukan keadilan. Due process of law atau proses hukum yang adil bukanlah beban birokrasi, melainkan fondasi negara hukum. Tanpa itu, perampasan aset akan melahirkan paradoks: ingin memberantas korupsi, tetapi justru menambah daftar praktik sewenang-wenang.
RUU Perampasan Aset memang tampak menjanjikan. Ia lahir dari frustrasi publik, dijual dengan narasi ketegasan, dan dipromosikan sebagai jalan pintas melawan korupsi. Namun sejarah hukum mengajarkan, setiap "obat mujarab" biasanya menyembunyikan efek samping yang lebih berat. Jika kita tidak hati-hati, perampasan aset akan menjadi kosmetik politik belaka indah di permukaan, rapuh di dalam.
Fachrizal Afandi, Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya Malang, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI)
(wnv/wnv)