Pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, bicara untuk pertama kalinya setelah serangan Israel beberapa hari lalu di Doha, Qatar. Dia menjelaskan rinci momen serangan Israel dan cara menyelamatkan diri dari serangan itu.
"Kami sedang rapat, bersama delegasi negosiasi dan beberapa penasihat. Kurang dari satu jam setelah kami mulai meninjau proposal Amerika yang kami terima dari mediator Qatar, kami mendengar ledakan keras," ujar Ghazi Hamad kepada Al Jazeera sebagaimana dilansir, Kamis (18/9/2025).
Dia mengatakan setelah mendengar ledakan itu, mereka yang sedang rapat langsung meninggalkan lokasi. Setelah mendengar ledakan, dia mengaku tahu bahwa itu serangan Israel.
"Kami segera meninggalkan lokasi kejadian, karena kami tahu sejak awal bahwa ledakan itu adalah tembakan Israel. Kami pernah tinggal di Gaza dan mengalami tembakan Israel sebelumnya," tambah Hamad.
Serangan itu menewaskan lima anggota Hamas dan seorang pejabat keamanan Qatar. Dia mengatakan lokasi mereka diserang belasan roket.
"Penembakan itu begitu intens, situasinya mengerikan, dan roket-roket terus berjatuhan tanpa henti. Ada sekitar 12 roket dalam waktu kurang dari satu menit, tetapi atas ketetapan Tuhan ... kami selamat dari agresi ini," katanya.
AS Dinilai Tak Layak Jadi Perantara
Hamas mengatakan kepada Al Jazeera bahwa rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengubah Timur Tengah membutuhkan respons Arab.
Dia juga mengatakan Hamas memiliki pengalaman "pahit" selama negosiasi gencatan senjata. Hamas menilai AS tidak memiliki kredibilitas sebagai perantara yang jujur.
"Dia (Trump) tidak membuat kami takut," kata Hamad, mengomentari ancaman Trump terkait perlakuan terhadap tawanan Israel yang ditahan di Gaza.
Hamad menegaskan para sandera diperlakukan "sesuai nilai-nilai kami" dan hanya berada dalam bahaya akibat tindakan Israel.
(zap/yld)