Pemohon judicial review sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) telah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Atas putusan itu, pemohon menilai MK sesat pikir.
"Putusan MK terhadap judicial review UU PSDN sesat pikir," demikian keterangan pers pemohon yang diterima wartawan, Selasa (1/11/2022).
Perkara judicial review UU No 23 Tahun 2019 tentang PSDN dimohonkan oleh Imparsial, KontraS, Public Virtue Institute, PBHI Nasional, Gustika Jusuf Hatta, Ikhsan Yosarie, dan Leon Alvinda. Dalam putusannya, MK menyatakan seluruh dalil pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Terhadap putusan ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, Demokrasi, dan HAM," bebernya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai MK tidak konsisten antara pertimbangan dan putusan yang diambil serta dalam beberapa pertimbangan gagal memahami maksud konstitusi. Pertama, MK dalam pertimbangannya sendiri mengakui bahwa definisi ancaman dalam UU PSDN kabur dan menciptakan ketidakpastian hukum.
"Kendati demikian, alih-alih membatalkan pasal tersebut, MK justru memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merevisi pengaturan tersebut melalui revisi UU PSDN yang telah masuk Prolegnas yang sejatinya tidak dibenarkan dalam konteks hukum," bebernya.
Kedua, dalam pertimbangannya MK menyatakan, dalam hal penetapan Komponen Candangan Manusia, Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Buatan (SDB), serta Sarana dan Prasarana Nasional (Sarprasnas) harus demokratis dan menghormati hak asasi manusia.
"Meski argumentasi MK telah benar, MK seolah tidak berani menyatakan bahwa penetapan sepihak yang dapat dilakukan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) sebagaimana diatur dalam UU PSDN adalah keliru, tidak demokratis, dan berpotensi melanggar HAM. Bagaimana mungkin penetapan sepihak Menhan tanpa adanya kesukarelaan oleh pemilik SDA, SDB, dan Sarprasnas tanpa adanya mekanisme penolakan dapat dikatakan demokratis dan sesuai dengan HAM," urainya.
Ketiga, pertimbangan MK yang menyatakan bahwa UU PSDN sudah mengakomodasi prinsip contentious objection oleh karena pemerintah tidak mewajibkan warga negara mengikuti komponen cadangan adalah ngawur dan sama sekali tidak memahami pokok permasalahan.
"UU PSDN memang benar tidak mewajibkan warga negara untuk mengikuti Komcad, akan tetapi UU PSDN tidak sama sekali memberikan mekanisme penolakan (prinsip contentious objection) bagi warga negara apabila telah mengikuti Komcad dan malah terhadap contentious objector (Komcad) justru diancam dengan hukuman pidana," ucapnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai MK hanya mengulang preseden buruk UU No 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer. Dalam Penjelasan Pasal 11 diamanatkan bahwa:
Dalam pasal ini belum di muat ketentuan mengenai kemungkinan pembebasan dari golongan tertentu yang juga terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu golongan yang tidak bersedia menjadi prajurit (secara sukarela maupun wajib) karena hal itu adalah bertentangan dengan kepercayaan yang dianutnya ('principiele dienst weigeraars'); Ketentuan-ketentuan tentang hal ini perlu diatur dalam undang-undang tersendiri.
"Lebih dari itu, terhadap pemilk SDA, SDB dan SARPRASNAS sifatnya wajib oleh karena penetapannya yang sepihak oleh Menhan atau tidak sama sekali mengakomodir contentious objection," urainya.
Baca juga: Menimbang Rekrutmen "Komponen Cadangan" |
Keempat, dalam pertimbangannya MK mengakui bahwa sistem peradilan militer harus direformasi sebagaimana amanat reformasi yang tertuang dalam Tap MPR No. VII tahun 2000 yang salah satu pokoknya membagi kekuasaan peradilan sipil dan militer serta juga memerintahkan TNI untuk tunduk pada kekuasaan peradilan umum (sipil) dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
"Kendati berpendapat demikian, MK dalam putusan tidak konsisten dengan tidak membatalkan pasal yang mempidanakan Komcad (sipil) dalam Peradilan Militer," ungkaspnya.
Selanjutnya, Koalisi Masyarakat Sipil menilai MK juga kacau dan keliru dalam dasar konseptualnya di dasar pertimbangannya dan keputusanya. Salah satunya MK menyebutkan bahwa polisi adalah masyarakat sipil sehingga sama dengan ormas dan karenanya diklasifikasikan sebagai komponen pendukung sehingga pengaturan UU PSDN sudah benar. Padahal dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa:
Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta olehTNI dan Polri, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
"Dalam negara demokrasi polisi bukan masyarakat sipil tetapi institusi sipil dan alat negara untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum. Dengan demikian, pertimbangan dan putusan MK yang menyebutkan bahwa polisi adalah bagian masyarakat sipil adalah sesat pikir," pungkasnya.
(asp/dnu)