Busyro menyebut hal itu menunjukkan Istana berusaha mempolitisasi KPK, sehingga wajar jika pegawai KPK mulai gerah dan akhirnya keluar.
"Yang dipolitisasi (Istana) adalah lembaga negara sendiri, aneh kan itu. Nah, itu mesti dibaca oleh semua pihak, termasuk teman di dalam (KPK). Jadi kalau yang di dalam itu kemudian gerah, itu sangat wajar," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, perubahan status kepegawaian KPK yang menjadi ASN juga menimbulkan masalah. Baginya, sistem kepegawaian ASN tidak menjamin KPK bisa independen lagi.
"Konsekuensi ASN kan berbeda dengan sistem pegawai (KPK) yang lama yang independen betul. Artinya, profesionalnya terjamin, conflict of interest-nya terkontrol. Tapi kalau ASN kan selalu direcoki oleh kepentingan-kepentingan politik dan bisnis," paparnya.
Terakhir, Busyro menyinggung kehadiran jenderal kepolisian di tubuh KPK. Menurutnya, pimpinan KPK tak seharusnya dipegang oleh polisi ataupun jaksa.
"Era Firli ini kan terjadi kebijakan yang radikal. Maksudnya, berupa fakta penempatan jenderal yang sebagian kombes tapi kalau sudah masuk KPK kan jadi brigjen. Tidak lama lagi KPK ada sembilan jenderal, termasuk Firli," sebutnya.
"Ini suasana struktural pimpinan kalau banyak jenderal polisi itu kita lalu membaca, polisi kan dan pendidikannya tidak cocok dengan KPK. Harusnya KPK dipimpin non-Polri dan kejaksaan, karena kejaksaan DNA-nya untuk kejaksaan," tambahnya.
Menurutnya, poin yang dia sampaikan itu merupakan langkah yang disusun secara sistematis untuk melemahkan KPK.
"Persis. Pelumpuhan KPK itu disempurnakan dengan empat tahap tadi," ucapnya.
Kendati demikian, dia masih mengapresiasi sejumlah penyelidik dan penyidik KPK lama yang masih bertahan.
"Ada sejumlah penyelidik dan penyidik lama yang masih kuat bertahan, itu bagus sekali dan itu masih banyak. Saya berharap teman-teman yang lama di dua posisi itu terutama itu supaya bisa terus bertahan," harapnya.
Busyro menyebut harapan untuk mengembalikan marwah KPK dengan keputusan judicial review (JR) UU KPK di Mahkamah Konstitusi. Dia pun menyesalkan banyaknya pegawai yang mundur karena tekanan-tekanan politis tersebut.
"Satu-satunya harapan tinggal menunggu keputusan MK. Kalau putusan MK itu hakim masih bisa diharapkan integritasnya, lalu permohonan JR ke MK dikabulkan, baru ada harapan. Kalau tidak ya gerakan sipil terus-menerus," katanya.
"Saya pikir badai politik ini bisa berakhir. Saya juga menyesalkan situasi ini bukan alamiah, tapi dibentuk oleh Istana dan DPR," pungkasnya.
(ams/idh)