Isu plagiasi itu mencuat jelang suksesi rektor di Universitas Negeri Semarang (Unnes) Semarang pertengahan 2018 lalu. Saat itu sebagai calon incumbent, Fathur diterpa isu plagiasi disertasi yang tersebar di sejumlah tautan medsos.
Tim investigasi internal dibentuk, melibatkan 4 guru besar yang diketuai oleh Prof Dr Mungin Eddy Wibowo MPd Kons.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari investigasi didapati artikel karya Anif Rida tahun 2003 berjudul 'Pemakaian Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri dan Implikasinya Bagi Rekayasa Bahasa Indonesia: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas' ada kemiripan dengan karya Fathur tahun 2004 berjudul 'Kode Bahasa Dalam Interaksi Sosial Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas'.
"Memang saat artikel Anif Rida dan Fathur Rokhman disandingkan, nampak banyak kesamaan, sehingga intuisi kebanyakan orang menyimpulkan Fathur Rokhman menjiplak Anif Rida," papar Mungin.
Namun, tim Investigasi mengaku menemukan dokumen hardcopy yaitu penelitian Fathur Rokhman tahun 2002 atau sebelum Anif Rida menulis artikel yang berisi tabel dan paragraf yang sama dengan artikel karya Anif dan Fathur. Dokumen itu ditandatangani pejabat lama dan sudah dicap.
"Yang dokumen tahun 2002 ini memang tidak dipublikasi. Ini hasil penelitian, saat itu Pak Fathur masih doktorandus (Drs). Anif ini mahasiswa bimbingannya Pak Fathur, latihan menulis jurnal," jelasnya.
Menurut tim Investigasi, dua artikel tersebut memiliki sumber penelitian yang sama yaitu dari tabel penelitian Fathur Rokhman tahun 2002 yang tidak dipublikasi. Sehingga, keduanya tidak bisa disebut plagiasi.
"Kesimpulannya, Fathur Rokhman tidak melakukan plagiasi. Informasi yang terlanjur viral tidak mencantumkan dokumen (tahun 2002) sehingga menimbulkan kesan Fathur Rokhman Plagiat. Padahal sebenarnya Fathur Rokhman (tahun 2004) mengutip hasil penelitiannya sendiri tahun 2002," kata Mungin saat itu.
Ia juga menjelaskan hasil investigasi sudah dilaporkan ke Irjen Kemenristekdikti, Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti, dan sudah dilakukan klarifikasi oleh Menristekdikti disaksikan oleh Biro Hukum Kemenristekdikti.
Sementara itu artikel karya Anif itu dimuat dalam Konferensi Linguistik Tahunan (Kolita) I. Namun ternyata Anif tidak hadir dalam persentasi meski artikelnya dimuat. Banyak kemungkinan yaitu bisa saja tidak tahu artikelnya terbit atau bahkan tidak tahu artikelnya ada yang mengirim.
"Jelas-jelas Anif mengatakan tidak pernah hadir dan tidak pernah melakukan presentasi," terang Mungin.
Terkait dengan itu, Anif dengan surat resmi dilengkapi materai mengirim surat pencabutan artikel karyanya kepada Kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Pengelola Kolita. Namun Mungin menegaskan, timnya fokus pada investigasi dugaan plagiasi Fathur Rokhman. "Kita fokus ke yang diduga, tidak merembet-merembet," ujarnya.
Pada 13 Juli 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir, juga menegaskan bahwa isu plagiasi yang menerpa Fathur Rokhman sudah clear. "Sudah clear, tidak ada masalah," kata Nasir kepada wartawan di Yogyakarta.
Nasir mengatakan, isu plagiasi yang mengarah ke Fathur hanyalah kesalahpahaman. Sebab, kenyataannya Fathur hanya mengutip karyanya sendiri bukan memplagiat karya orang lain.
"Rektor Unnes (Fathur) melakukan penelitian tahun 2002 yang didanai dari pihak murni mereka. Setelah itu dia melakukan pelatihan pada mahasiswa yang namanya Anif (Anif Rida)," lanjut Nasir saat itu.
Namun pada 27 November 2019 lalu, Fathur Rokhman dimintai klarifikasi oleh Dewan Kehormatan Universitas Gadjah Mada berkaitan dugaan plagiat disertasi yang ditulisnya sewaktu menempuh studi di UGM.
Klarifikasi itu merupakan tindak lanjut dari surat aduan yang dilayangkan seseorang ke UGM pada 23 Oktober 2018 lalu. Laporan itu menyebutkan disertasi yang disusun Fathur diduga hasil plagiat.
Proses klarifikasi berlangsung tertutup di Gedung Pusat Balairung UGM. Kendati dalam pertemuan itu belum diambil keputusan, saat itu Hardyanto, mengatakan ada indikasi kesamaan disertasi Fathur dengan karya lain.
"Ada (kesamaan disertasi Fathur dengan skripsi mahasiswanya). Tapi kesamaan itu belum tentu plagiat. Kalau itu muridnya ya memang tugasnya murid itu meniru gurunya. Cuma berapa persen? Kalau kesamaannya 90 persen, ya plagiat namanya. Tapi kan ini belum tahu saya," jelas Hardyanto, Rabu (27/11).
Jika nantinya Fathur dinyatakan terbukti melakukan plagiarisme, ada beberapa sanksi yang menantinya. Sanksi ringan yang mungkin diterima Fathur ialah peringatan, sementara sanksi berat berupa pencabutan ijazah dari pihak UGM.
"Tadi belum diputuskan (apakah Fathur memplagiat atau tidak). Kan tadi baru menanyakan kepada yang bersangkutan, apakah ini karya Anda, apa ini karya mahasiswa Anda, gitu," terang Hardyanto kepada wartawan kala itu.
Terkait pemeriksaan itu, Rektor Fathur lalu mengadukan Senat UGM ke Komnas HAM. Dia mengaku telah menyampaikan pengaduan langsung kepada Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, bahwa telah mendapat perlakuan tidak adil.
"Akibatnya banyak info pemberitaan yang menyudutkan saya maka saya harus meluruskan dan wajib menghentikan perbuatan zalim yang merugikan saya tersebut," kata Fathur.
Atas laporan itu, UGM siap menghadapinya. "Kalau sampai itu kemudian Komnas HAM menindaklanjuti laporan (aduan Fathur) itu, ya UGM siap untuk menghadapinya to," tegas Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Paripurna, Kamis (19/12/2019).
Paripurna menegaskan prosedur pemeriksaan yang dilakukan Dewan Kehormatan UGM terhadap Fathur sudah tepat, tidak ada regulasi yang dilanggar. Dirinya juga menilai tidak ada pernyataan dari pejabat UGM yang menyudutkan sosok Fathur.
"Kami melihat prosedurnya (pemeriksaan atas dugaan plagiat yang dilakukan Fathur di UGM) wajar-wajar saja. Ya selama ini kami melihat itu sebagai wajar-wajar saja. Sudah sesuai dengan mekanisme di UGM, saya kira itu," jelasnya.
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini