Tim Advokasi Novel Baswedan mengungkapkan ada sejumlah kejanggalan dalam proses persidangan penyiraman air keras terhadap Novel. Setidaknya, Tim Advokasi Novel menyebut ada 9 kejanggalan dalam persidangan tersebut.
"Tim Advokasi Novel Baswedan menemukan 9 kejanggalan dalam proses persidangan kasus Penyerangan Novel Baswedan yang telah digelar 4 kali di Pengadilan Negeri Jakarta Utara," kata anggota Tim Advokasi Novel, Kurnia Ramadhana, kepada wartawan, Senin (11/5/2020).
Berikut sembilan kejanggalan yang terjadi di persidangan Novel Baswedan yang diungkapkan Tim Advokasi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- Dakwaan JPU skenario menutup pengungkapan aktor intelektual
Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa yang tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi dan teror sistematis pelemahan KPK yang selama ini terus diterima oleh para penyidik KPK. Dakwaan jaksa sangat bertentangan dengan temuan TPF bentukan Polri untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan bahwa motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya.
Dalam dakwaan JPU tidak terdapat fakta atau informasi siapa yang menyuruh melakukan tindak pidana penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Patut diduga Jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan. Hal ini bertentangan dengan temuan dari Komnas HAM dan Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyebutkan bahwa ada aktor intelektual di balik kasus Novel Baswedan.
- JPU terlihat tidak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban, namun malah membela kepentingan para terdakwa
Temuan ini sudah jauh-jauh hari disampaikan saat agenda persidangan memasuki pembacaan surat dakwaan. Dalam berkas tersebut jaksa hanya mendakwa dua penyiram wajah Novel dengan pasal penganiayaan biasa. Padahal, sudah jelas-jelas bahwa perbuatan pelaku dapat mengancam nyawa Novel. Selain itu, dalam dakwaan disebutkan bahwa air yang digunakan untuk menyiram wajah Novel berasal dari aki.
Tentu ini pernyataan sesat, sebab sudah terang benderang bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel kehilangan penglihatan. Dalam persidangan yang dihadiri Novel, pertanyaan Jaksa terlihat tidak memiliki arah yang jelas. Anehnya, meski telah disebut saksi korban nama dan informasi penting mengenai kemungkinan keterlibatan aktor lain, jaksa tidak menggali lebih lanjut.
- Majelis hakim terlihat pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiil
Hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, khususnya fakta-fakta sebelum penyerangan terjadi untuk membuktikan bahwa serangan dilakukan secara sistematis, terorganisir, tidak hanya melibatkan pelaku pada saat penyerangan terjadi. Hal ini dibuktikan dalam persidangan pemeriksaan Novel, hakim cenderung terbatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar: kejadian 11 April oleh pelaku penyerangan, dampak penyerangan, namun tidak menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan.
Jika demikian cara kerja hakim diperkirakan akan menutup peluang untuk membongkar kejahatan sistematis ini. Semestinya hakim dalam konteks ini dapat menggali dari keterangan saksi atau alat bukti lain agar sampai pada tujuan utama persidangan, yakni mencari kebenaran materiil sehingga mampu membongkar tidak hanya pelaku lapangan penyerang namun juga pengintai dan para aktor intelektualnya. Hakim harus aktif dan berani untuk menemukan kebenaran di tengah keraguan publik dan juga korban sendiri bahwa dua orang terdakwa itu adalah aktor yang menyiram wajah Novel.
- Para terdakwa pelaku kejahatan anggota Polri aktif didampingi kuasa hukum Polri
Tim Advokasi Novel menyoroti kedua terdakwa pelaku penyiraman yang juga anggota polisi aktif mendapatkan pembelaan hukum yang mana keseluruhannya berasal dari institusi Polri. Penting untuk dicatat, kejahatan yang disangkakan kepada dua orang terdakwa itu merupakan merupakan kejahatan yang mencoreng dengan institusi kepolisian dan tentu bertentangan dengan tugas dan kewajiban polisi dalam UU Kepolisian.
Jadi ketika para terdakwa justru dibela oleh institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. Atas dasar apa institusi Polri mendampingi dugaan pelaku tersebut? Pembelaan oleh institusi kepolisian tentu akan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus ini yang diketahui diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian. Terdapat konflik kepentingan yang nyata yang akan menutup peluang membongkar kasus ini secara terang benderang dan menangkap pelaku sebenarnya, bukan hanya pelaku lapangan namun juga otak pelaku kejahatan.
- Adanya dugaan manipulasi barang bukti di persidangan
Narasi ini muncul pasca agenda sidang pemeriksaan saksi korban beberapa waktu lalu. Mulai dari CCTV yang dianggap penting namun dihiraukan oleh penyidik, sampai pada dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting. Tak hanya itu, sidik jari pun tidak mampu diidentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel.
Selain itu, dalam persidangan Kamis, 30 April 2020 yang lalu ditemukan keanehan dalam barang bukti baju muslim yang dikenakan Novel Baswedan pada saat kejadian. Baju yang pada saat kejadian utuh, dalam persidangan ditunjukkan hakim dalam kondisi terpotong sebagian di bagian depan. Diduga bagian yang hilang terdapat bekas dampak air keras.