Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, hadir sebagai saksi kasus penyiraman air keras dengan terdakwa adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Ini sejumlah kesaksian Novel.
Novel hadir langsung menyampaikan kesaksiannya dalam sidang penyiraman air keras terhadap dirinya di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020).
Dalam perkara ini, dua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis didakwa telah melakukan penganiayaan berat terhadap Novel dengan cara menyiramkan air keras. Mereka didakwa melanggar Pasal 351 atau Pasal 353 atau Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cairan air keras itu didapat Rahmat dari pul angkutan mobil Gegana Polri. Menurut jaksa, Rahmat mengambil cairan tersebut setelah melaksanakan apel pagi di Satuan Gegana Korps Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
"Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette pergi ke pool (red: pul) angkutan mobil Gegana Polri mencari cairan asam sulfat (H2SO4), dan saat itu terdakwa mendapatkan cairan asam sulfat (H2SO4) yang tersimpan dalam botol plastik dengan tutup botol berwarna merah berada di bawah salah satu mobil yang terparkir di tempat tersebut," ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan di PN Jakut, Kamis (19/3).
Dalam persidangan ini, yang duduk sebagai terdakwa adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Ronny dan Rahmat didakwa melakukan penyiraman air keras kepada Novel Baswedan sebagai bentuk penganiayaan berat.
Keduanya didakwa melanggar Pasal 351 atau Pasal 353 atau Pasal 355 ayat ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Novel memberikan kesaksian mulai dari kejadian sebelum aksi teror, kejadian setelah dirinya menjadi korban penyiraman air keras, mengungkap alasannya mengubah berita acara pemeriksaan (BAP) hingga menyinggung kasus korupsi besar yang ditanganinya saat aksi teror.
Berikut poin-poin kesaksian Novel Basewdan dalam sidang kasus penyiraman air keras:
Komjen Irawan Bicarakan 'Jenderal' Usai Aksi Teror
Novel menceritakan kejadian-kejadian setelah teror penyiraman air keras kepadanya berlangsung. Novel mengatakan, setelah kejadian teror, dirinya bertemu dengan Komjen M Irawan yang saat itu menjabat Kapolda Metro Jaya.
Hal itu disampaikan Novel dalam sidang penyiraman air keras terhadap dirinya di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020). Novel menjadi saksi dalam perkara ini.
"Pada saat setelah saya diserang, saya hubungi Pak Kapolri Pak Tito Karnavian, dan kemudian beliau menyampaikan akan perintahkan staf jajarannya untuk merespons, tak lama saya dihubungi oleh Pak Kapolda Metro, pada saat datang pertama kali Pak Kapolda Metro Pak M Iriawan rasanya juga ada Ketua KPK Pak Agus Rahardjo," ujar Novel saat bersaksi.
Novel mengatakan saat itu Komjen Iriawan datang menemuinya di rumah sakit tempat dia dirawat. Saat Iriawan menjenguk, Novel mengatakan Iriawan kala itu selalu menyebut nama jenderal yang cukup dikenal di kalangan polisi.
"Yang disampaikan Pak Kapolda saat itu apa?" tanya hakim.
"Beliau menyesalkan dengan apa yang terjadi, seperti merasa kecolongan, dan beliau menyebut beberapa kali nama orang yang kemudian beliau sebut 'ini jenderal ini' kurang-lebih gitu," kata Novel sambil meniru ucapan Iriawan.
Saat itu, kata Novel, Iriawan berjanji akan segera menelusuri pelaku teror ke Novel. "Pak Kapolda katakan akan segera lakukan penelusuran," katanya.
Orang Tak Dikenal Pantau Rumah Novel
Novel mengaku sebelum teror siram air keras terhadap dirinya berlangsung, rumahnya sempat dipantau orang tidak dikenal (OTK). Menurut Novel, dia dipantau sejak dua minggu sebelum teror air keras berlangsung.
"Yang mulia, sekitar 2 minggu sebelum saya diserang ada pengamatan di depan rumah saya. Jadi, di depan rumah saya ada sungai posisi pengamatan ini ada di seberang rumah saya. Dan juga ada beberapa kendaraan dan mobil yang mencurigakan, itu (foto) mobilnya sudah saya berikan ke Kapolda Metro, karena itu saya dapat dari tetangga saya," ujar Novel saat bersaksi di sidang penyerang air keras dirinya di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020).
Saat itu, kata Novel, Kapolda Metro Jaya Komjen M Iriawan yang menjabat kala itu merespons biasa saja. Bahkan, kata Novel, Kapolda saat itu terkesan seperti orang ketakutan.
"Apa tanggapan Polda pas dikasih tahu?" Tanya hakim.
"Katanya 'oh iya kalau gitu kita perlu waspada dan hati-hati'. Saya ketika melihat itu, rasanya ada kekuatan yang cukup besar yang Pak Kapolda pun rasanya agak sedikit takut," jawab Novel.
Novel menyebut bukti foto-foto orang melakukan pengamatan di depan rumahnya itu juga sudah diserahkan oleh Polda Metro Jaya. Menurut Novel, wajah orang yang sedang memantau pergerakan Novel di foto itu jelas kelihatan.
Selain itu, di persidangan Novel juga mengaku sebelum adanya teror air keras ini dia kerap mendapatkan teror-teror. Teror itu diberikan saat dia sedang menangani kasus korupsi.
"Emang gini yang mulia, ketika saya gunakan sepeda motor ke kantor, saya pernah ditabrak di waktu berbeda. Dan ancaman-ancaman dalam perkara itu banyak sekali saya terima yang mulia. Jadi ketika alami hal itu saya hati-hati, iya tentunya berbeda ketika saya mengalami hal ini," tutur Novel.
Novel hadir langsung menyampaikan kesaksiannya dalam sidang penyiraman air keras terhadap dirinya di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020).
Dalam perkara ini, dua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis didakwa telah melakukan penganiayaan berat terhadap Novel dengan cara menyiramkan air keras. Mereka didakwa melanggar Pasal 351 atau Pasal 353 atau Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cairan air keras itu didapat Rahmat dari pul angkutan mobil Gegana Polri. Menurut jaksa, Rahmat mengambil cairan tersebut setelah melaksanakan apel pagi di Satuan Gegana Korps Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
"Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette pergi ke pool (red: pul) angkutan mobil Gegana Polri mencari cairan asam sulfat (H2SO4), dan saat itu terdakwa mendapatkan cairan asam sulfat (H2SO4) yang tersimpan dalam botol plastik dengan tutup botol berwarna merah berada di bawah salah satu mobil yang terparkir di tempat tersebut," ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan di PN Jakut, Kamis (19/3).
Dalam persidangan ini, yang duduk sebagai terdakwa adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Ronny dan Rahmat didakwa melakukan penyiraman air keras kepada Novel Baswedan sebagai bentuk penganiayaan berat.
Keduanya didakwa melanggar Pasal 351 atau Pasal 353 atau Pasal 355 ayat ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Novel memberikan kesaksian mulai dari kejadian sebelum aksi teror, kejadian setelah dirinya menjadi korban penyiraman air keras, mengungkap alasannya mengubah berita acara pemeriksaan (BAP) hingga menyinggung kasus korupsi besar yang ditanganinya saat aksi teror.
Berikut poin-poin kesaksian Novel Basewdan dalam sidang kasus penyiraman air keras:
Komjen Irawan Bicarakan 'Jenderal' Usai Aksi Teror
Novel menceritakan kejadian-kejadian setelah teror penyiraman air keras kepadanya berlangsung. Novel mengatakan, setelah kejadian teror, dirinya bertemu dengan Komjen M Irawan yang saat itu menjabat Kapolda Metro Jaya.
Hal itu disampaikan Novel dalam sidang penyiraman air keras terhadap dirinya di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020). Novel menjadi saksi dalam perkara ini.
"Pada saat setelah saya diserang, saya hubungi Pak Kapolri Pak Tito Karnavian, dan kemudian beliau menyampaikan akan perintahkan staf jajarannya untuk merespons, tak lama saya dihubungi oleh Pak Kapolda Metro, pada saat datang pertama kali Pak Kapolda Metro Pak M Iriawan rasanya juga ada Ketua KPK Pak Agus Rahardjo," ujar Novel saat bersaksi.
Novel mengatakan saat itu Komjen Iriawan datang menemuinya di rumah sakit tempat dia dirawat. Saat Iriawan menjenguk, Novel mengatakan Iriawan kala itu selalu menyebut nama jenderal yang cukup dikenal di kalangan polisi.
"Yang disampaikan Pak Kapolda saat itu apa?" tanya hakim.
"Beliau menyesalkan dengan apa yang terjadi, seperti merasa kecolongan, dan beliau menyebut beberapa kali nama orang yang kemudian beliau sebut 'ini jenderal ini' kurang-lebih gitu," kata Novel sambil meniru ucapan Iriawan.
Saat itu, kata Novel, Iriawan berjanji akan segera menelusuri pelaku teror ke Novel. "Pak Kapolda katakan akan segera lakukan penelusuran," katanya.
Orang Tak Dikenal Pantau Rumah Novel
Novel mengaku sebelum teror siram air keras terhadap dirinya berlangsung, rumahnya sempat dipantau orang tidak dikenal (OTK). Menurut Novel, dia dipantau sejak dua minggu sebelum teror air keras berlangsung.
"Yang mulia, sekitar 2 minggu sebelum saya diserang ada pengamatan di depan rumah saya. Jadi, di depan rumah saya ada sungai posisi pengamatan ini ada di seberang rumah saya. Dan juga ada beberapa kendaraan dan mobil yang mencurigakan, itu (foto) mobilnya sudah saya berikan ke Kapolda Metro, karena itu saya dapat dari tetangga saya," ujar Novel saat bersaksi di sidang penyerang air keras dirinya di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020).
Saat itu, kata Novel, Kapolda Metro Jaya Komjen M Iriawan yang menjabat kala itu merespons biasa saja. Bahkan, kata Novel, Kapolda saat itu terkesan seperti orang ketakutan.
"Apa tanggapan Polda pas dikasih tahu?" Tanya hakim.
"Katanya 'oh iya kalau gitu kita perlu waspada dan hati-hati'. Saya ketika melihat itu, rasanya ada kekuatan yang cukup besar yang Pak Kapolda pun rasanya agak sedikit takut," jawab Novel.
Novel menyebut bukti foto-foto orang melakukan pengamatan di depan rumahnya itu juga sudah diserahkan oleh Polda Metro Jaya. Menurut Novel, wajah orang yang sedang memantau pergerakan Novel di foto itu jelas kelihatan.
Selain itu, di persidangan Novel juga mengaku sebelum adanya teror air keras ini dia kerap mendapatkan teror-teror. Teror itu diberikan saat dia sedang menangani kasus korupsi.
"Emang gini yang mulia, ketika saya gunakan sepeda motor ke kantor, saya pernah ditabrak di waktu berbeda. Dan ancaman-ancaman dalam perkara itu banyak sekali saya terima yang mulia. Jadi ketika alami hal itu saya hati-hati, iya tentunya berbeda ketika saya mengalami hal ini," tutur Novel.
Teror Didasari Pekerjaan, Bukan Dendam Pribadi
Novel mengatakan kemungkinan teror penyiraman air keras terhadap dirinya itu didasari karena pekerjaannya sebagai penyidik di KPK. Novel juga yakin teror ini bukan berasal dari dendam pribadi.
"Saya tidak terlalu bisa membuktikan itu, tapi sebagai seorang penyidik saya mengalami hal itu saya punya pengalaman terkait investigasi saya yakini ada. Karena tak mungkin terkait hal pribadi saya, karena ini melibatkan tugas saya, karena ada tugas pengamatan pengintaian dan eksekutor," ujar Novel.
"Dan ini didukung laporan Komnas HAM yang mengatakan bahwa kasus saya dilakukan terorganisir," imbuhnya.
Novel kemudian menyinggung kasus-kasus apa saja yang ditanganinya saat sebelum teror penyiraman air keras ini. Menurutnya, saat itu dia sedang menangani kasus-kasus korupsi besar.
"Emang saat itu ada penanganan perkara terkait dengan surat .... yang itu dilakukan oleh tersangka Basuki Hariman, dan saat itu ada sedikit kehebohan pemberian sejumlah uang kepada yang diduga oknum-oknum penegak hukum, dan ini kemudian jadi pembicaraan bahkan ada penyidik dan penyelidik di KPK yang sengaja dikirimkan oleh seorang petinggi-petinggi kepolisan," kata Novel.
"Dan itu banyak dikatakan bahwa saya mengkoordinasikan 3 satgas untuk mentarget petinggi-petinggi Polri, padahal saya nggak lakukan penanganan itu," lanjutnya.
Selain perkara Basuki Hariman, Novel juga mengatakan tengah menyelidiki kasus mega korupsi e-KTP. Namun, saat itu kasus e-KTP ini bocor sehingga orang di luar KPK mengetahui hal ini.
"Selain itu saya tangani beberapa perkara diantaranya terkait e-KTP yang saat itu inisial SN, dan saat itu saya terkait pidana penyelewengan uang, saya sampaikan ke BPK saat itu dan cerita-cerita itu bocor ke luar. Saya nggak tahu gimana prosesnya bisa sampai dikethui orang-orang di luar KPK," jelasnya.
Bukan Air Aki
Novel keberatan jika cairan air keras yang digunakan untuk menyerangnya disebut air aki. Novel mengaku yakin cairan itu adalah cairan kimia yang keras dan bukan air aki.
"Ada yang menarik ingin saya sampaikan, saya mendengar dari penuntut umum bahwa air (keras) itu adalah air aki. Saya punya bukti itu bukan air aki," tegas Novel.
Novel mengatakan cairan itu terpusat di wajah dan matanya. Cairan itu juga membasahi jubah yang dikenakan Novel saat sesudah salat subuh. Para peneror itu menyiram cairan keras itu dari samping.
"Seingat saya ke muka, lalu ke badan saya. Karena saya pake jubah jadi jubah di lepas dan kena wajah saja," katanya.
"Saya kira dalam jarak nggak jauh, karena saya mendapat siraman merasa banyak sekali," imbuhnya.
Novel menceritakan ketika disiram itu kedua matanya bereaksi, kelopak mata yang hitam itu juga hilang dan tinggal kelopak bagian putih saja. Dia juga mengaku saat ini mata sebelah kiri tidak bisa melihat sama sekali, sedangkan yang kanan hanya bisa melihat berapa persen.
"Sekarang pun saya mohon maaf nggak lihat wajah yang mulia. Yang kiri saya nggak bisa lihat sama sekali yang tadinya dioperasi untuk penolong, tapi sampai sekarang nggak bisa lihat dan itu permanen. Yang kanan dari Singapura mata saya nggak bisa diobati dan saya lihatnya di bawah 50 persen. Jadi saya sangat keberatan ketika ada yang nyebut air aki," tegas Novel.
Janggal Tidak Dipertemukan dengan Pelaku
Novel mengungkap kejanggalan-kejanggalan yang dirasakannya terkait kasus teror air keras kepada dirinya. Dia mengaku tidak mengenal pelaku dan kesulitan mendapat informasi mengenai pelaku.
"Pada saat saya dipanggil 6 Januari 2020 saya tanya ke penyidik apa yang mendasari penyidik yakin itu orangnya, tapi saya nggak dapat penjelasan. Oleh karena itu, saya nggak bisa mengetahui gimana prosesnya, apakah yakin pelakunya saya nggak pernah dapatkan informasi apapun. Bahkan saya bertanya pun nggak diberitahu," ujar Novel.
"Terkait terdakwa persidangan ini saya sampaikan ke penyidik bahwa saya dengan senang hati apabila penyidik pertemukan dengan terdakwa, apabila ada pertanyaan yang ditanyakan," sambungnya.
Novel mengaku selama ini tidak pernah bertemu langsung dengan kedua terdakwa pelaku penyerangan, yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Dia mengaku hanya mengetahui identitas dan wajah mereka dari informasi yang beredar.
Selain itu, Novel memiliki kejanggalan dengan kedua terdakwa yang merupakan seorang anggota polisi berpangkat Brigadir memusuhi dirinya. Menurutnya tidak masuk logika.
"Kedua, apabila saya sebagai penyidik KPK terkait dengan oknum petinggi Polri yang berbuat korupsi, maka seharusnya yang harus khawatir anggota Polri yang serupa. Maka dia akan khawatir menyingkirkan say, tapi kalau anggota Polri apalagi pangkat Brigadir, Brigadir bukan kaya-kaya, dia banyak tempat sederhana. Nggak mungkin berpikir seperti itu," katanya.
Dia lantas mengaku tidak pernah bertemu ataupun berkontak dengan Ronny dan Rahmat. Dia merasa tidak pernah memiliki masalah pribadi dengan keduanya.
"Saya nggak pernah bertemu dengan dua pegawai, nggak pernah berinteraksi baik dengan hubungan kedinasan ataupun keperluan pribadi. Saya merasa tak pernah ada hal-hal lain," pungkasnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini