Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengungkapkan ada tiga aspek terkait aturan pelarangan mantan napi korupsi mengikuti pencalonan legislatif (caleg). Di antaranya, aspek filosofis, aspek hukum yuridis dan aspek sosiologis.
"Jadi secara filosofis misalkan, mengapa KPU merumuskan mantan napi korupsi) enggak boleh nyaleg. Secara filosofis jelas, kita ingin pemimpin yang dapat diteladani, karena kepemimpinan yang sesungguhnya adalah keteladanan. Kalau ada pemimpin ngomong ini itu, ini itu, tapi kelakuannya seperti yang diomongkan orang, sudah tidak percaya. Padahal diperlukan sebuah kepercayaan dalam kepemimpinan," kata Hasyim dalam acara Rakornas Sentra Gakkumdu Dialog Interaktif yang disiarkan di YouTube Bawaslu, Selasa (20/9/2022).
"Oleh karena itu karakter orang yang bersih, yang tidak pernah terlibat pidana menjadi sesuatu yang penting, filosofinya begitu," sambungnya.
Kemudian, Hasyim menjelaskan aspek kedua, ialah aspek yuridis. Dia menyebut saat ini TAP MPR mengenai penyelenggara pemilu yang bersih dan bebas KKN masih berlaku.
"Yang kedua, aspek yuridis. Saya kira kita tau semua TAP MPR tentang penyelenggara yang bersih dan bebas KKN masih berlaku. Itu sebuah antitesa dari situasi masa lalu yang dianggap korup," katanya.
Hasyim mengatakan dalam UU Pemilu, untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon legislatif ialah tidak pernah terjerat pidana. Menurutnya, tujuan pemilu adalah untuk membentuk pemerintahan.
"Kalau eksekutif ya presiden dan legislatifnya DPR, capres dituntut bersih, maka kita bisa memaknai mestinya calon anggota DPR juga bersih supaya kemudian pemerintah di atasnya juga bersih. Ini yang saya maksud dengan penafsiran yuridis, penafsiran sistematis, yang tidak hanya bertumpu pada pemilu tapi membaca berbagai macam aturan yang berkaitan dengan mengisi jabatan bernegara," katanya.
Lihat juga video 'Respons KPU soal Isu Pilpres 2024 Diatur Hanya untuk 2 Paslon':
Simak selengkapnya pada halaman berikut.
(lir/lir)