×
Ad

Kolom

A World Where Many Worlds Fit: COP dan Ladang yang Tak Terlihat

Afgan Fadilla - detikNews
Senin, 24 Nov 2025 17:05 WIB
Foto: Lokasi KTT COP30 di Brasil. (Gusti/detikcom)
Jakarta -

"A world where many worlds fit" adalah sebuah ungkapan Zapatista yang menegaskan bahwa dunia tidak pernah tunggal. Bahwa ada banyak cara hidup, banyak pengetahuan, dan banyak relasi dengan alam yang sah untuk terus tumbuh berdampingan.

Ungkapan ini muncul sebagai kritik terhadap dunia modern yang cenderung memaksakan satu cara berpikir dan satu model pembangunan untuk semua orang. Tapi justru di sinilah letak ironi rezim iklim global saat ini: keduanya masih beroperasi dengan logika tunggal, memaksakan satu resep solusi untuk semua dunia, alih-alih membuka ruang bagi banyak dunia untuk ikut menentukan jalannya sendiri.

COP 30 di Belém kembali menghadirkan janji-janji yang sama: ekonomi hijau, net zero, dan pembangunan berkelanjutan. Jargon-jargon lama yang sudah kita dengar dari waktu ke waktu. Tapi sementara janji-janji itu diulang setiap tahun, suhu bumi terus naik. Dunia tampak sibuk menyelamatkan planet, tapi kenyataannya, kita justru semakin mempercepat pemanasannya.

Banyak negara dan lembaga internasional masih percaya bahwa krisis iklim dapat diselesaikan melalui standar teknis, indikator kinerja, dan model-model yang rapi di atas kertas. Seakan-akan perubahan iklim adalah persoalan administrasi, bukan persoalan kehidupan. Pendekatan teknokratis seperti ini sering kali gagal memahami konteks sosial- ekologis setiap tempat, dan justru membuat solusi tampak seragam. Padahal perubahan cuaca, ketahanan pangan, dan pengelolaan lahan punya wajah berbeda bagi setiap komunitas. Ketika semuanya dipaksa mengikuti satu formula, yang hilang adalah kebijaksanaan lokal yang justru memiliki kemampuan adaptasi lebih cepat.

Sementara itu, apa yang disebut ekonomi hijau juga membawa risiko kolonialisme versi baru. Banyak proyek konservasi berbaju penyelamatan bumi justru meminggirkan masyarakat adat dan petani dari tanah yang telah mereka rawat selama generasi. Hutan dan tanah berubah menjadi "aset karbon" global, sementara komunitas yang paling menjaga alam harus meminta izin untuk mengakses ruang hidupnya sendiri. Jika krisis iklim ditangani dengan pendekatan seperti ini, yang berubah hanya warnanya saja, dari kolonialisme cokelat menjadi kolonialisme hijau.

Salah satu penyebabnya adalah cara kerja rezim iklim global yang masih mengandalkan logika pasar. Mekanisme pasar karbon memungkinkan perusahaan besar untuk membeli "kredit karbon" dari proyek hutan di negara-negara Selatan, sambil tetap mempertahankan model bisnis intensif emisi di negara-negara Utara. Dengan kata lain, mereka masih boleh mencemari, asal bayar. Di sisi lain, banyak komunitas lokal yang kehilangan ruang hidup karena wilayahnya dijadikan "penyerap karbon dunia". Skema pembiayaan hijau pun tak kalah rumit: dana "transisi energi" dari negara maju hadir sebagai pinjaman atau investasi bersyarat, membuat negara-negara berkembang tetap bergantung pada teknologi dan standar yang ditetapkan dari luar. Tambang nikel, kobalt, dan litium menggeliat demi kebutuhan industri hijau, tetapi dampaknya ditanggung masyarakat yang jauh dari pusat konferensi.

Salah satu mekanisme yang memperkuat situasi ini adalah perdagangan karbon. Sistem ini memungkinkan perusahaan besar membeli "kredit karbon" dari proyek hutan di negara-negara Selatan sambil mempertahankan model bisnis intensif emisi di negara-negara Utara. Dengan kata lain, mereka masih boleh mencemari, asal bayar. Di sisi lain, komunitas lokal kehilangan ruang hidup karena wilayahnya dijadikan "penyerap karbon dunia". Dalam banyak kasus, proses ini berubah menjadi green grabbing: perampasan ruang hidup yang dibungkus dengan dalih konservasi atau penyelamatan bumi, di mana hutan, tanah, dan bahkan udara diklaim sebagai aset hijau untuk kepentingan pasar global. Dana transisi hijau pun hadir sebagai pinjaman atau investasi bersyarat, memperkuat ketergantungan yang sudah lama dibentuk.

Di sinilah pemikiran dekolonial Arturo Escobar menjadi relevan. Menurutnya, akar krisis ekologis bukan hanya persoalan teknologi atau emisi, tetapi cara kita memandang dunia. Dunia modern terjebak dalam logika "one-world world", yakni sebuah dunia tunggal yang menyatakan bahwa hanya ada satu cara hidup yang benar: efisien, produktif, dan bisa dijual. Escobar menawarkan gagasan "pluriverse", di mana banyak dunia bisa hidup berdampingan; dunia yang memberi ruang bagi berbagai cara hidup, pengetahuan, dan relasi dengan alam tanpa harus saling menyingkirkan. Gagasan ini sejalan dengan "a world where many worlds fit": sebuah ajakan untuk melihat bahwa solusi terhadap krisis iklim tidak mungkin lahir dari satu model tunggal yang seragam.

Sementara COP 30 membahas transisi hijau lewat tabel-tabel besar dan presentasi ber-AC, solusi lain justru tumbuh di tempat yang jarang masuk peta: ladang-ladang kecil, kebun, dan hutan adat. Agroekologi adalah salah satu contohnya. Ia bukan semata teknik bertani, tetapi cara hidup yang menolak logika produksi massal dan pengendalian korporasi. Agroekologi memulihkan relasi manusia dan alam, menegaskan bahwa kedaulatan pangan dan keadilan ekologis lahir dari otonomi komunitas, bukan dari skema kredit karbon atau investasi hijau.

Di Indonesia, praktik agroekologi sepenuhnya bukan konsep abstrak. Petani di Jawa Tengah kembali menghidupkan sistem tumpangsari yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Masyarakat adat di Kalimantan Barat menjaga hutan melalui pola agroforestri tradisional yang sudah berlangsung berabad-abad. Di Flores, komunitas kecil membangun ekonomi pangan lokal berbasis benih-benih warisan. Semua ini adalah dunia-dunia kecil yang terus hidup meski tidak pernah masuk spreadsheet COP. Mereka bukan hanya bertahan, tetapi menawarkan jalan alternatif yang secara ekologis lebih sehat dan secara sosial lebih adil.

Di COP yang ke-30, dunia harus menegaskan garis tegas yang selama ini ada di persimpangan: apakah kita akan terus bergantung pada logika tunggal yang sama, yang mengubah udara, tanah, dan hutan menjadi angka-angka pasar atau kita mulai membiarkan banyak dunia berbicara, tumbuh, dan menentukan jalannya sendiri?

Karena pada akhirnya, mungkin dunia yang kita cari-cari di forum besar itu sudah lama hidup di tempat yang tidak terlihat di peta: di ladang kecil, di kebun, di hutan, dan di masyarakat yang menanam untuk kehidupan. Dunia-dunia kecil yang tumbuh jauh dari sorotan konferensi justru menunjukkan bahwa bumi hanya bisa dirawat jika kita memberi ruang bagi banyak cara hidup untuk berkembang, "a world where many worlds fit": dunia di mana banyak dunia lain diberi tempat untuk bernapas, tumbuh, dan menentukan jalannya sendiri

Afgan Fadilla, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta dan Peneliti di Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani

Simak juga Video Indonesia Soroti 7 Agenda Utama di Penutupan COP30 Brasil




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork