Ilustrasi : Edi Wahyono
Senin, 24 November 2025Mulyono—bukan nama sebenarnya—tak pernah mengira ia dan tetangganya harus mengungsi karena benda mirip kerikil yang terhampar luas bertahun-tahun di tanah kosong. Benda itu adalah slag baja, limbah peleburan logam yang berasal dari perusahaan seperti PT Vita Prodana Mandiri (VP) dan PT Peter Metal Technology (PMT). Belakangan diketahui limbah itu mengandung cemaran radioaktif cesium-137. Sialnya, jarak rumah Mulyono dengan titik cemaran hanya sekitar 20 meter.
"Buangnya di situ, PT Vita Prodana ataupun dari PMT. Itu kan peleburan baja juga kan semuanya kan," kata Mulyono kepada detikX.
Tempat Mulyono tinggal, Kampung Barengkok, Desa Sukatani, dikelilingi berbagai jenis pabrik. Rumah-rumah warga berbatasan langsung dengan Kawasan Industri Modern Cikande—dikelola oleh PT Modern Industrial Estate—yang secara administratif masuk wilayah kabupaten Serang.
"Jadi kan tadinya kan rawa. Diuruklah pakai limbah itu dari pabrik PMT ataupun Vita Prodana," ungkap Mulyono.
Menurut Mulyono, warga selama ini tidak diberi tahu adanya kandungan berbahaya dalam limbah tersebut. Mayoritas warga justru memanfaatkan limbah sebagai alternatif mata pencaharian.
"Jadi mayoritas warga yang di situ sehari-harinya mungutin besi dari sisa limbah itu. Ya kalau dijual sih, kayak besi aja sih, Bang. Tergantung kiloan. Ada yang sekilonya Rp 1.200, ada yang Rp 2.000. Tergantung barangnya," ucapnya.
Selain sisa besi, slag yang menyerupai batu kerikil juga dimanfaatkan warga untuk material bangunan dan pengurukan jalan. Menurut warga Cikande lainnya, Rawi, slag dijual sebagai bahan bangunan dengan harga sekitar Rp 500 ribu per satu muatan pikap.
"Bahkan yang diaduk-aduk buat pengecoran rumah pun ada yang mengandung radioaktif. Jadi rumah-rumah tembok warga yang di dalamnya ada kerikil-kerikil mengandung radioaktif itu dibobok, dibolong-bolongin, dibobok, lalu diambil yang mengandung radioaktifnya," ucap Rawi kepada detikX.
Berdasarkan citra satelit Google Earth dan Google Street View, tumpukan limbah slag peleburan logam sudah terlihat di kampung Barengkok—belakang PT VP—pada Agustus 2021. Lalu pada Mei 2022, jumlah tumpukan slag tampak bertambah banyak. Bahkan, dalam tangkapan satelit tersebut, tampak warga yang sedang mengayak dan memilah tumpukan slag.

Sebaran radiasi radionuklida data dari Kemenperin, berdasarkan nilai tertinggi survei BRIN dan Bapeten dengan satuan (uSv/jam).
Ilustrasi : Dedi Arief Wibisono
Koordinator Komunikasi Publik Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Abdul Qohhar Teguh Eko Prasetyo mengatakan cemaran radionuklida di Cikande menyebar melalui dua mekanisme utama. Pertama menyebar melalui udara atau airborne. Proses ini dapat terjadi karena PT Peter Metal Technology melakukan peleburan logam tercemar zat radioaktif, yang mengakibatkan partikel cesium-137 menyebar ke udara melalui cerobong asap.
Jika partikel zat radioaktif masih berada di udara, pergerakannya bergantung pada arah dan kecepatan angin, sehingga potensi sebarannya bisa meluas. Namun, begitu partikel tersebut mengendap, terdeposit pada permukaan tanah, kontaminasi tidak lagi menyebar melalui udara.
Meski demikian, titik jatuh partikel tetap menentukan arah penyebaran berikutnya. Jika endapan itu jatuh ke badan air, risiko mobilitasnya meningkat karena cesium-137 mudah larut dan terbawa arus. Dalam konteks kejadian di Cikande, Qohhar menyebut area yang terkontaminasi berada jauh dari sumber air.
Adapun mekanisme penyebaran kedua adalah melalui limbah slag sisa pembakaran logam dari sejumlah pabrik di Cikande. Selama bertahun-tahun, limbah-limbah yang terbukti mengandung radioaktif itu dibuang begitu saja oleh perusahaan ke tanah-tanah kosong dekat permukiman warga. Menurut Qohhar, cemaran radioaktif yang berasal dari slag ini lebih sulit ditangani. Ia tersebar ke sepuluh titik, sebagian di dekat permukiman warga dalam radius 5 kilometer dari PT PMT.
Bapeten mulai dilibatkan dalam penanganan radiasi pada Agustus lalu. Kemudian tim Qohhar melakukan pengukuran radiasi di Cikande sekitar September. Ia menuturkan indikasi pertama cemaran radiasi berasal dari limbah muncul ketika timnya melakukan penyisiran dengan berjalan kaki di sepanjang jalan kawasan industri Cikande. Saat itu mereka menemukan titik radioaktif pertama (titik A) di sebuah penampungan besi bekas yang berada di belakang pos polisi Kawasan Industri Modern Cikande. Temuan inilah yang kemudian membuka kemungkinan bagi Bapeten untuk menelusuri sumber cemaran lebih jauh.
Salah satu titik dengan cemaran radiasi tertinggi adalah sebuah lahan kosong di sekitar bekas pabrik PT VP, di Barengkok, Sukatani. Titik itu dinamai titik C. Mulanya terdeteksi pancaran radiasi sebesar 10 ribu mikrosievert atau setara dengan 10 milisievert.
"Ketika dilakukan penanganan, mapping yang lebih rinci, di titik C yang tadinya 10 ribu μSv/jam (mikrosievert setara dengan 10 milisievert) itu ternyata ketika dipetakan lebih halus ditemukan satu titik lagi yang naik sampai 33.000 μSv/jam (setara 33 milisievert)," kata Qohhar kepada detikX pekan lalu.
Qohhar menjelaskan area terkontaminasi radiasi cesium harus dibersihkan. Normalnya, radiasi cesium-137 tidak boleh ada di alam. Jika dibiarkan, kekuatan radiasinya akan bertahan hingga 30 tahun. Setelah menginjak massa itu, radiasi tidak hilang, tetapi hanya berkurang setengahnya saja.
"Berarti kan kalau itu tidak kita hilangkan, selama 30 tahun masyarakat atau orang-orang yang berada di daerah terkontaminasi akan menerima dosis radiasi terus, yang kalau kita hitung akan melebihi batas dosis yang diperkenankan oleh regulasi," paparnya.
Menurutnya, beberapa lokasi yang terdampak dilakukan pembersihan dengan mengupas lapisan tanah. Namun ada beberapa titik yang lapisan tanahnya dikupas sudah cukup dalam tetapi masih memancarkan radiasi. Alhasil, lokasi itu ditutup beton dengan densitas tertentu.
Menurut paparan Kementerian Lingkungan Hidup kepada detikX, PT PMT, yang diduga salah satu sumber utama zat radioaktif, sudah tidak lagi beroperasi sejak Juli 2025. Sumber kontaminasi lainnya adalah slagbaja peleburan logam yang diduga berasal dari kegiatan peleburan logam PT VP, yang saat ini juga sudah tidak beroperasi lagi.
Sementara itu, akibat paparan radiasi, ada 12 lokasi yang ditetapkan sebagai zona merah, di luar lokasi PT PMT yang saat ini digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara (interim storage) material hasil dekontaminasi. Adapun luas lokasi zona merah bervariasi, dari 10 meter persegi, 50 meter persegi, hingga hampir 1 hektare. Laju radiasi pada masing-masing lokasi dan titik juga bervariasi. Misalnya di lokasi A, ada titik yang terdeteksi 250 μSv/jam, sementara di lokasi B ada titik yang terdeteksi hingga 10 ribu μSv/jam.
Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup sekaligus Ketua Satgas Mitigasi dan Penanganan Dekontaminasi Cesium-137 Rasio Ridho Sani menjelaskan, selain variasi laju radiasi di tingkat permukaan, terjadi juga pada tingkat kedalaman. Oleh karena itu, proses dekontaminasi harus dilakukan dengan stripping atau pengupasan lapisan permukaan tanah.
Selain itu, pihaknya melakukan pemeriksaan tingkat radiasi kendaraan-kendaraan yang terkontaminasi cesium-137 dengan menggunakan radiation portal monitoring (RPM). Dari 61.414 kendaraan yang diperiksa menggunakan RPM, 48 kendaraan terkontaminasi cesium-137. Saat ini semua kendaraan itu diklaim telah dibersihkan dari paparan radiasi.
Rasio juga memastikan pabrik yang terkontaminasi cesium-137 telah dilakukan dekontaminasi pada batas aman. Dari 12 lokasi zona merah, lima lokasi telah didekontaminasi dengan stripping dan telah dinyatakan aman dari bahaya radiasi. Adapun lokasi-lokasi lainnya sedang dalam tahap penyemenan dengan beton guna memastikan keamanan radiasi setelah dekontaminasi.
Sementara itu, penanganan timbunan slag di belakang PT VP sedang dipersiapkan dengan metode containment. Per 20 November 2025, telah dilakukan pemindahan material teradiasi sejumlah 1.087,8 ton, yang disimpan dalam interim storage di PT PMT.
Menurut paparan KLH kepada detikX, pengelolaan dan pemanfaatan slag atau limbah peleburan logam memerlukan persyaratan secara khusus guna meminimalkan potensi dampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
"Slag yang mengandung radioaktif seperti yang terjadi di Cikande saat ini diminta tidak digunakan sebagai material urukan karena akan berdampak terhadap kesehatan dan lingkungan hidup," papar Rasio.

Sebaran radiasi radionuklida data dari Kemenperin, berdasarkan nilai tertinggi survei BRIN dan Bapeten dengan satuan (uSv/jam).
Ilustrasi : Dedi Arief Wibisono
Buntut Aturan Era Joko Widodo
Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) Dr Daru Setyorini mengatakan impor limbah scrap atau scrap besi/baja telah dilarang dalam regulasi Indonesia. Tindakan tersebut juga masuk kategori pembuangan limbah B3 secara sembarangan, yang dapat dikenai pidana berat. Terlebih terkait limbah peleburan logam radioaktif di Cikande yang ditimbun begitu saja di area terbuka tanpa perlindungan apa pun.
"Di Undang-Undang 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, itu juga ada pasal yang dilanggar (karena) itu ada mengandung limbah B3. Dendanya maksimal Rp 15 miliar dan ancaman 15 tahun penjara," kata Daru kepada detikX pekan lalu.
Daru menilai pemerintah ikut bertanggung jawab karena lalai melakukan pengawasan, baik di tingkat kementerian maupun di level lokal. Padahal tumpukan limbah semacam itu semestinya mudah terdeteksi oleh aparat setempat sehingga tidak menimbulkan dampak sebesar sekarang.
"Aduh, itu bahaya banget. Itu daerah situ harus benar-benar dilokalisir dan dimonitor. Mulai tanahnya, air sumurnya, juga limbahnya itu sendiri ya," ucapnya.
Penanganan yang benar, menurut Daru, semestinya mengikuti prosedur limbah B3 yang ketat. Diperlukan izin dan prosedur khusus yang aman untuk mengolah sisa peleburan logam. Selain sanksi tegas ke perusahaan, Daru juga mendorong agar pemerintah melakukan investigasi gabungan dengan negara asal limbah radioaktif tersebut.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung, mengatakan slag peleburan logam sejatinya tergolong dalam limbah berbahaya. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, slag baja masuk kategori limbah B3. Untuk itu, ia harus diolah dan dipastikan aman dengan standar tertentu.
Sayangnya, pada lampiran PP 22/2021, turunan UU Cipta Kerja, slag besi/baja dikecualikan atau dicabut statusnya alias tak lagi termasuk limbah B3. Untuk itu, sejak aturan itu, perusahaan memiliki kelonggaran dalam mengelola slag. Menurut Sawung, aturan itu memang diniatkan untuk mempercepat investasi dan mempermudah pabrik beroperasi. Peraturan tersebut diteken oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
"Nah, itu juga sebenarnya kan kenapa misalnya Walhi menolak mengeluarkan slag dari daftar B3. Karena kita tahu bahwa beberapa limbah yang masuk itu nggak murni. Misalnya scrap metal gitu ya, nggak murni misalnya scrap metal semua. Pasti sering kali ada bahan lain ataupun ada limbah B3 masuk ke dalam scrap metal itu,” kata Sawung kepada detikX pekan lalu.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim