Setiap tanggal 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional. Tema krusial dalam peringatan ini yaitu pelaksanaan Reforma Agraria, sebuah amanat konstitusi yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, terkhusus petani.
Hari Tani ditetapkan oleh Presiden Sukarno untuk mengenang peristiwa bersejarah pada 24 September 1960, saat pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA 1960 menjadi tonggak penting dalam upaya merombak struktur agraria warisan kolonial yang tidak adil.
Reforma Agraria didahului dengan reforma tanah (land reform). Menurut Michael Lipton (2009), Reforma Agraria sebagai hukum dan kebijakan yang tujuan utamanya untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara meningkatkan secara substansial proporsi tanah pertanian yang dikuasai oleh kaum miskin terkhusus petani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian Reforma Agraria akan meningkatkan perekonomian, mengurai ketimpangan, membagi kekuasaan, dan mengangkat status.
Landasan Asta Cita
Prabowo Subianto dalam Paradoks Indonesia dan solusinya menuliskan bahwa kekayaan yang hakiki adalah kepemilikan tanah. Sementara kondisi di lapangan lebih dari 75% petani, atau lebih dari 28 juta petani tidak punya lahan sendiri.
Petani pemilik tanah sendiri hanya 9 juta petani, itupun luas lahannya kecil-kecil, atau gurem. Oleh karena itu, pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi momentum untuk melakukan "Rediscovery of Genuine Agrarian Reform".
Presiden RI dan Wakil Presiden RI 2024-2029 Prabowo-Gibran, dalam visi 'Asta Cita' menempatkan kata Reformasi Agraria ke dalam sub-Swasembada Pangan. Secara substansi hal ini dipandang tepat, bahwa reforma agraria sebagai syarat utama mewujudkan kedaulatan pangan. Namun yang harus menjadi perhatian khusus bagi kita semua yakni pada tahap implementasi.
Terutama dalam memadukan pendekatan bottom-up dan top-down pada pelaksanaan reforma agraria untuk kedaulatan pangan.
Pada awal 2025, Kementerian ATR/BPN mengklaim telah menyelesaikan 2.161 kasus pertanahan dari 5.973 kasus yang diterima sepanjang 2024. Kasus-kasus yang diselesaikan tersebut mencakup 936 sengketa, 32 konflik, dan 1.193 perkara pertanahan.
Namun bukan berarti penyelesaian kasus pertanahan sejurus dengan keadilan agraria. Hal ini terungkap dari capaian redistribusi tanah dalam program prioritas reforma agraria yang jauh lebih rendah dari sekadar legalisasi aset.
Kemudian terkait masih marak privatisasi sumber agraria yang serampangan. Kondisi demikian tentu berimbas langsung pada permasalahan iklim. Karena itu pemerintah sedang melakukan penyelamatan kekayaan agraria dari hutan hingga laut.
Presiden Prabowo sesungguhnya telah mencermati hal ini, dalam Visi 'Asta Cita' pemerintah akan melakukan percepatan pencapaian target Net Zero emisi Gas Rumah Kaca melalui upaya carbon sink (menyerap dan menyimpan karbon), carbon offset (mengurangi karbon), dan penurunan jejak karbon. Komitmen iklim pemerintah ini dilakukan dalam kerangka Ekonomi Hijau.
Bahkan dalam waktu dekat akan disahkan perubahan Perpres 98/2021 terkait Nilai Ekonomi Karbon, dan pembaruan komitmen iklim Indonesia melalui penetapan Second NDC (Nationally Determined Contribution).
Seiring Sejalan
Keadilan agraria dan keadilan iklim sesungguhnya bukan dua tema yang bertolak belakang. Melainkan saling terkait erat satu sama lain, dan memiliki implikasi signifikan bagi perubahan secara struktural di Indonesia. Keadilan agraria mulanya merupakan judul pamflet yang ditulis Thomas Paine, seorang filsuf politik yang diterbitkan pada tahun 1797.
Keadilan agraria bisa dikatakan sebagai manifesto keadilan sosial sebagai anti-tesa liberalisasi yang tidak menghendaki nasionalisasi tanah atau membatasi kepemilikan tanah, dan sumber-sumber agraria lainnya. Teori keadilan agraria lalu dikembangkan Henry George dan Gunnar Myrdal, yang menekankan keadilan terhadap sumber-sumber agraria terkhusus tanah, sebagai dasar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pada konteks Indonesia, keadilan agraria berarti menjalankan mandat Pasal 33 UUD NRI 1945 dan UUPA 1960, tema yang kerap diungkap Presiden Prabowo.
Keadilan agraria secara internasional akan dibahas dalam Konferensi Internasional ke-2 tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (ICARRD+20), yang dijadwalkan berlangsung di Kota Cartagena de Indias, Kolombia, pada 24 Februari 2026 mendatang. Menurut laporan The Guardian, sejak tahun 1980 dunia terus mengalami ketimpangan tanah.
Sebanyak 70% lahan pertanian dunia (lahan yang cocok untuk menanam tanaman) kini dikuasai oleh hanya 1% dari pertanian terbesar (kebanyakan monokultur) yang memproduksi beberapa komoditas pertanian. Sementara itu, pertanian dengan luas kurang dari dua hektar menyumbang 84% dari total pertanian, namun hanya mengolah 12% dari lahan pertanian di dunia.
Sehubungan dengan itu, agraria sangat erat dengan iklim. Konsep keadilan iklim yang dipopulerkan oleh gerakan lingkungan hidup berfokus pada distribusi yang adil dari dampak perubahan iklim dan manfaat dari upaya mitigasi dan adaptasi. Terutama untuk pihak yang terpengaruh oleh usaha-usaha mitigasi seperti petani, masyarakat adat, nelayan, komunitas lokal, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
Pada tanggal 11-24 November 2024, Konferensi Para Pihak (COP) Perubahan Iklim ke-29 di Baku, Azerbaijan, menyepakati fokus utama antar negara tentang keuangan iklim. Semangat keadilan iklim akan dilanjutkan dalam COP Perubahan Iklim ke-30 tanggal 10-21 November 2025 di Belem, Brazil. Adapun tema utama pebahasan antara lain mengurangi emisi gas rumah kaca, adaptasi, pembiayaan iklim, teknologi energi terbarukan, keadilan iklim, serta pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati.
Sementara itu, COP Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) ke-16 di Cali, Kolombia, pada 21 Oktober-1 November 2024, juga menyepakati keputusan-keputusan yang penting. Semisal pembentukan Subsidiary Body Article 8j yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat dan komunitas lokal. Badan pendukung yang bersifat permanen ini bertugas melindungi pengetahuan tradisional, inovasi, dan praktik masyarakat adat dan komunitas lokal.
Refleksi atas implementasi kesepakatan tersebut akan ditinjau pada COP CBD ke-17 di Armenia pada Oktober 2026.
Pijakan Keyakinan
Tantangan utama dalam mencapai keadilan agraria dan keadilan iklim ditingkat nasional dan internasional, ialah menyelaraskan berbagai kepentingan yang seolah saling bertentangan. Pada satu sisi, ada kebutuhan tanah untuk mencapai swasembada pangan dan menggerakkan perekonomian. Disisi lain ada urgensi untuk melindungi hutan dan lingkungan hidup.
Di tengah itu market externalities dengan skema konservasi lahan dan model ecosystem services terus menguat. Sehingga keadilan agraria sekaligus keadilan iklim dinilai suatu yang paradoks. Padahal oknum perusak alam kerap menunjuk dirinya sebagai agen konservasionis, sehingga mendapatkan keuntungan dari kerusakan yang telah diciptakan. Baik dalam bentuk peningkatan eskalasi konflik agraria maupun krisis ekologi.
Pemerintah yang dipimpin Presiden Prabowo memahami kondisi dan situasi tersebut. Adopsi pendekatan yang lebih holistik dan partisipatif sedang dikerjakan. Perpres 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan tengah bekerja mengamankan kembali kekayaan agraria nasional. Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sementara ini telah berhasil mengamankan tanah mencapai 3,3 juta hektare dari korporasi sawit di kawasan hutan.
Kemudian dalam tahap menyasar pembukaan tambang tanpa izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dengan luas sekitar 4,2 juta hektare. Satgas PKH harus menghempas kejahatan hutan dan tambang, bukan mengusir dan menggusur rakyat dari kawasan hutan. Tanah-tanah yang diamankan mesti segera menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), indikatif Perhutanan Sosial, dan area konservasi. Karena itu, Kementerian Kehutanan didorong lebih terlibat aktif.
Presiden Prabowo juga diharapkan meninjau ulang Perpres 62/2023 tentang percepatan pelaksanaan reforma agraria. Sebab belum berjalan sesuai harapan karena terbukti tak mampu mengurai ketimpangan dan menyelesaikan konflik, baik secara kelembagaan maupun pelaksanaan di lapangan. Meskipun Kementerian ATR/BPN telah membentuk mitra strategis. Kemudian Presiden perlu menimbang pemberlakukan pajak karbon yang sudah tertunda sebanyak dua kali.
Tugas keadilan agraria dan keadilan iklim tentu tidak hanya disandarkan pada eksekutif. Akan tetapi juga dukungan dari legislatif yang bertugas untuk bekerja mengesahkan Undang-Undang terkait dengan agraria dan iklim dalam waktu dekat ini.
Semisal Perubahan UU Kehutanan, RUU Energi Baru/Energi Terbarukan, Perubahan UU Pangan, RUU Komoditas Strategis, RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, dan RUU Masyarakat Hukum Adat. Kolaborasi antar lembaga negara menjadi pijakan keyakinan untuk mewujudkan keadilan agraria sekaligus keadilan iklim. Sehingga kesenjangan antara aspirasi dan implementasi bisa diurai.
Angga Hermanda. Ketua Bidang Diklat dan Kajian Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (IKA Faperta Untirta).
Lihat juga Video Di Hari Tani, Cak Imin Minta Maaf PKB Belum Beri Kesejahteraan Petani