Ujian Serius Komitmen Iklim Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ujian Serius Komitmen Iklim Indonesia

Kamis, 20 Nov 2025 13:45 WIB
Randi Syafutra
Dosen Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung & Kandidat Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB University
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Perubahan dan Krisis Iklim
Foto: Ilustrasi perubahan iklim (Pixabay/Wilfried Pohnke)
Jakarta -

COP30 di BelΓ©m bukan sekadar konferensi tahunan. Pertemuan ini menjadi babak baru pertarungan diplomasi iklim dunia. Indonesia datang dengan ambisi besar: mendorong keadilan iklim, mempercepat transisi energi, memperkuat pasar karbon, dan mengamankan pendanaan untuk perlindungan hutan. Namun tantangan sesungguhnya justru dimulai setelah lampu panggung COP dimatikan.

Salah satu agenda yang paling mencuri perhatian adalah peluncuran Tropical Forest Forever Facility atau TFFF, sebuah fasilitas pendanaan global baru yang menjanjikan masa depan hutan tropis. Indonesia dan Brasil menjadi dua negara yang paling mendorong skema ini sebagai terobosan buat menyelamatkan hutan tropis yang terus tertekan ekspansi industri.

TFFF: Peluang Besar, Risiko Besar

TFFF dirancang sebagai model pendanaan multilateral yang menggabungkan dana publik dan swasta untuk diberikan langsung ke pihak yang menjaga hutan. Setidaknya 20 persen dari total dana dialokasikan untuk masyarakat adat dan komunitas lokal. Bank Dunia bertindak sebagai wali dana global, sementara di tingkat nasional kemungkinan besar akan dikelola melalui BPDLH.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi Indonesia, skema ini membuka peluang untuk mengakses miliaran dolar bagi konservasi hutan, restorasi gambut, dan implementasi FOLU Net Sink 2030. Pendanaan ini berpotensi menjadi penopang kebijakan hijau yang selama ini terhambat minimnya dukungan finansial.

Namun kritik langsung muncul. WALHI, Aliansi Sulawesi, dan jaringan masyarakat sipil menilai TFFF belum menyentuh akar masalah deforestasi. Mereka menyoroti eksploitasi hutan untuk industri skala besar yang terus berjalan, bahkan saat pembiayaan iklim global mengalir masuk. Kritik ini menunjukkan bahwa pendanaan saja tidak cukup. Tata kelola harus diperbaiki, terutama terkait transparansi dan distribusi manfaat ke tingkat tapak.

ADVERTISEMENT

Jalur Dana: Harus Langsung, Transparan, dan Terukur

Salah satu nilai jual TFFF adalah penyaluran dana langsung ke pihak yang melindungi hutan, tanpa birokrasi panjang. Mekanismenya masih disesuaikan, tetapi beberapa prinsip sudah jelas:

1. Dana akan disalurkan berdasarkan hasil perlindungan hutan yang diverifikasi.
2. Penyaluran akan melibatkan lembaga perantara lokal dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan dana benar-benar sampai ke masyarakat adat.
3. Tata kelola TFFF di tingkat nasional wajib memiliki perwakilan masyarakat adat agar keputusan pendanaan tidak terpusat di Jakarta saja.
4. Akses dana akan terkait dengan pengakuan formal hutan adat. Tanpa pengakuan, akses akan sulit.
5. Sistem pemantauan harus ketat, termasuk kriteria pengecualian agar dana tidak mengalir ke aktor yang terlibat perusakan hutan.

Skema ini menuntut transparansi penuh. Tanpa itu, potensi TFFF bisa berubah menjadi beban baru.

COP30: Momentum Politik dan Diplomasi Indonesia

Di luar TFFF, COP30 tetap menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menegaskan posisi globalnya. Beberapa agenda utama yang dibawa antara lain:

1. Keadilan iklim dan pendanaan seimbang: Indonesia menuntut negara maju menepati janji pendanaan iklim, termasuk pendanaan adaptasi dan mekanisme kerugian serta kerusakan. Pendanaan iklim selama ini masih berat sebelah pada mitigasi. Indonesia berupaya menyeimbangkan keduanya.
2. Transisi energi yang adil: Indonesia diminta menyusun peta jalan yang jelas untuk penghentian PLTU batu bara, mengembangkan energi surya, angin, dan panas bumi, serta menyiapkan pelatihan ulang untuk pekerja sektor batu bara. Transisi energi tidak boleh meninggalkan kelompok rentan.
3. Pasar karbon berintegritas: Indonesia mendorong pengakuan global atas unit karbon domestik. Target transaksi selama COP30 mencapai sekitar Rp 16 triliun. Tetapi integritas data, tata kelola, dan pembagian manfaat tetap menjadi sorotan. Pasar karbon tidak boleh menjadi sumber ketidakadilan baru.
4. Konservasi hutan dan ekosistem pesisir: Indonesia menegaskan kembali komitmen FOLU Net Sink 2030, perlindungan mangrove, gambut, dan lamun. Selain itu, pemerintah mengumumkan alokasi 1,4 juta hektar hutan adat, langkah penting bagi keadilan ekologis.


Peluang Besar Tapi Tidak Mudah

TFFF membuka potensi besar, tetapi implementasinya akan menentukan apakah skema ini memberi manfaat nyata atau hanya menjadi proyek global baru yang tidak menyentuh kebutuhan masyarakat adat. Tantangan utamanya ada di Indonesia sendiri: tumpang tindih regulasi, konflik tenurial (hak pengelolaan lahan), birokrasi lambat, dan pengawasan yang belum solid.

Di sisi lain, COP30 mendesak Indonesia mempercepat transisi energi, memperbaiki pasar karbon, dan memastikan bahwa semua kebijakan iklim benar-benar dirasakan rakyat, bukan hanya menjadi narasi diplomasi.

Penutup: Setelah COP30, Tidak Ada Alasan Untuk Menunda

Indonesia telah mendapatkan sorotan global dan peluang pendanaan besar. Tetapi semua itu tidak akan berarti tanpa perubahan nyata, dari hutan adat hingga sektor energi. Kapasitas diplomasi Indonesia sudah terbukti. Yang diuji sekarang adalah kemampuan melaksanakan kebijakan secara jujur, konsisten, dan berpihak pada masa depan bumi.

COP30 memberikan momentum besar. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian politik untuk bertindak.


Randi Syafutra. Dosen Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung & Kandidat Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB University.

Tonton juga video "Indonesia Jabarkan Ambisi Mitigasi Iklim di Depan Utusan Khusus China"

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads