Recep Tayyip Erdogan belum terkalahkan. Hasil pilpres dan pemilu legislatif Turki yang digelar 24 Juni 2018 setelah 99 persen suara masuk mengokohkan kemenangannya (52,5 persen). Di sisi lain, partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) juga yang tertinggi, 42,5 persen. Apa makna penting kemenangan kembali Erdogan dan AKP? Jelas mereka akan memerintah kembali sejak berkuasa pada 2002. Merujuk panjangnya kekuasaan, kemenangan kali ini menegaskan eksistensi Erdogan lebih tegas dalam sistem presidensial. Dampak lainnya, corak politik luar negeri Turki juga belum akan berubah drastis ke depan.
Bagaimana kemenangan Erdogan dan AKP dapat dijelaskan? Kendatipun berbagai pemberitaan menyebut kemenangan mereka selalu diikuti komentar oposisi tentang kecurangan, pemilu di Turki damai dan mengesankan. Maka, masalahnya bukan isu kecurangan atau rekayasa AKP. Pemilunya terpantau luas. Klaim adanya rekayasa AKP juga kurang mendapat bukti, misalnya ketika justru Partai Demokrat Rakyat (HDP) yang tak dikehendaki masuk parlemen, malah sebaliknya. HDP yang pro-Kurdi memperoleh dukungan suara 12 persen, menembus batas ambang batas parlemen sepuluh persen.
Pemilu juga ditandai dinamika politik yang mengubah konstelasi. Koalisi semakin cair. Isu Islam versus sekuler kurang relevan. AKP mampu membentuk koalisi kerakyatan (cumhur ittifaki) dengan MHP yang berhaluan ultra-kanan nasionalis sekuler dan Partai Persatuan Besar (BBP) yang ultra-kanan. Lawannya, koalisi kebangsaan (milli ittifaki) digerakkan oleh Partai Rakyat Republik (CHP) yang haluannya sosial demokrat. Koalisi ini dukung Partai Kebaikan (IYI) yang liberal-konservatif, dan Partai Demokrat (DP) dengan haluan kanan-tengah. Yang unik Partai Saadet (SP) yang ultra-kanan Islamis memilih koalisi oposisi. Hal ini sekali lagi menegaskan konstestasi besar di Turki bukan antara kekuatan politik Islam (quasi-Islamis) versus sekuler.
Sebagaimana pemilu dipercepat 2007, secara strategi kubu Erdogan dalam memperebutkan pemilih selangkah lebih maju ketimbang kesiapan oposisi. Pada 2007, ketika proses pencapresan Abdullah Gul dari AKP terhambat di parlemen, Perdana Menteri Erdogan memutuskan pemilu dipercepat dengan memanfaatkan momentum sentimen anti-kudeta dan keterlibatan tentara dalam politik, menyusul kasus e-memorandum.
Salah satu pertimbangan pemilu dipercepat dari rencananya 2019, selain memburuknya nilai tukar Lira, untuk mengakhiri kerancuan dwi sistem politik pasca-referendum 2017. Referendum mengubah sistem pemerintahan di Turki dari parlementer ke presidensial. Maka, harus ada pilpres kembali sehingga posisi presiden secara legitimasi konstitusi kuat, karena posisi perdana menteri terhapus. Transisi harus diakhiri melalui pemilu. Erdogan mampu mengesankan paling siap meneruskan keberlangsungan pembangunan, terutama menyelesaikan masalah ekonomi negerinya.
Di sisi lain, oposisi belum menemukan tokoh kuat. Capresnya masih konvergen, terpecah ke lebih dari satu. Karenanya, juga dapat dicatat Erdogan menang di tengah realitas fragmentasi politik yang tajam. Pemilih anti-Erdogan dihadapkan banyak pilihan apakah ke Muharrem Ince (CHP), Meral Aksener (IYI), Temel Karamollaoglu (SP), atau capres oposisi di luar koalisi, Selahattin Demirtas (HDP), dan Dogu Perincek dari Partai Patriotik (VP). Kekuatan kubu Erdogan juga karena pihaknya petahana yang berpeluang memanfaatkan instrumen-instrumen politik pasca-kudeta 2016, antara lain keadaan darurat dan pembatasan kebebasan pers.
Kritik oposisi tak lepas konteks tersebut, kendati sekadar catatan kaki. Dalam konteks ini, menarik menyimak komentar kolomnis Turki Mustafa Akyol dalam cuitannya di Twitter, "The problem in Turkey is not the ballots, but everything outside: intense polarization, a century-old sense of revenge, almost single-handed control of mainstream media, consolidation of voter base with alternative facts and conspiracy theories, and a reign of hate and fear". Paradoks demokrasi Turki masih terasa, bahwa satu sisi Erdogan menegaskan dunia harus menengok keberhasilan demokrasi di Turki, tetapi justru ketika masalah-masalah substansialnya yang tak terelakkan.
Pasca-pemilu ini, untuk pertama kalinya seorang presiden di Turki memiliki posisi politik paling kuat dalam pemerintahan. Hal ini dapat dipahami mengingat, dalam sistem presidensial, presiden merupakan kepala negara sekaligus pemerintahan. Dia bisa memilih langsung hakim dan pejabat pemerintahan dan birokrasi, menunjuk langsung menteri-menteri kabinet, mengusulkan anggaran negara, hingga menetapkan keadaan darurat. Posisi itu kini untuk lima tahun ke depan dipegang Erdogan. Bahkan dia masih punya hak untuk ikut sebagai peserta kembali pada pilpres berikutnya. Maka, kalau tidak ada aral melintang, usia kepolitikan Erdogan masih akan cukup panjang.
Erdogan ialah fenomena orang kuat di Turki. Ketokohannya masih paling berpengaruh sejak kemenangan AKP pada pemilu 2002. Erdogan bukan semata sosok magnetis bagi pendukung populernya yang mayoritas, tetapi juga telah menjadi simbol kuat Turki pasca-Mustafa Kemal, dan lebih dari itu menandai kultur dan sistem politik Turki masa kini. Dia nyaris demikian identik dengan keorganisasian partainya. Posisi sentralnya di AKP sangat historis, bahkan ketika partai ini tengah disiapkan dan dideklarasikan pada 2001, jajak pendapat menunjukkan dukungan rakyat yang tinggi. AKP fenomenal di tengah kriris ekonomi dan kegagalan pemerintahan sebelumnya.
Pemerintahan AKP pun tak lepas kontestasi politik yang tajam, tak luput pula dari ketegangan ideologis dan perlawanan militer. Namun, dengan bertumpu pada kekuatan besar Uni Eropa, rezim AKP mampu membuat perubahan penting dalam proses peminggiran militer dari politik, sebagai modal penting dalam mendorong proses perubahan sistem politik melalui amandemen konstitusi. Setelah menang kembali pada 2007 hingga dewasa ini, konsolidasi kekuatan politik AKP berjalan baik. Sistem berubah, tetapi konstelasi politik juga berkembang, sehingga AKP harus pandai berkoalisi.
Reerdoganisasi
Kenyataannya Erdogan menang kembali dan pengaruh politiknya masih yang terkuat. Masa depan Turki masih akan ditentukan era Erdogan sebagai orang kuat. Karenanya, kemenangannya menegaskan kembali re-Erdogan-isasi Turki. Erdogan telah melebihi sosoknya sebagai politisi kuat dan pemimpin nasional berpengaruh, dan hadir sebagai kultur dan sistem yang khas. Semua itu tak lepas dari konteks historisnya.
Sebagai kultur politik, dia hadir dari ranah demokrasi populer yang meniscayakan eksploitasi populisme. Mantan walikota Istanbul ini piawai dalam memainkan sentimen populisme politik. Kemampuan retorikanya yang hebat, disertyai kemampuannya membuat kebijakan-kebijakan pemerintahan yang populis di satu sisi dan mengikat kelompok mapan di sisi lain untuk tetap menaruh harapan kepadanya.
Sebagai sistem, faktor Erdogan sangat penting bagi proses perubahan sistem politik di Turki sejak 2002. Berbagai pihak menilai perubahan sistem parlementer ke presidensial, tak luput dari kepentingan perpanjangan kekuasaan politik Erdogan di pentas nasional. Erdogan sebagai sistem juga terkait dengan implikasi kebijakan-kebijakannya di dalam dan luar negeri.
Pengamat politik Soner Cagaptay mengulas fenomena Erdoga dari perspektif sultan baru (new sultan), suatu pendekatan yang bercorak orang kuat yang menonjolkan romantisme Usmaniyah. Ini juga mengingatkan pada karakter oligarki sultanistik versi Jeffrey Winters. Bahwa pengelolaan Turki tak luput dari karakter semi-otoritarian model Erdogan.
Namun, ketika secara politik kuat, justru perkembangan ekonomi bisa mewujud oposisi yang sebenarnya. Apakah segera setelah ini ekonomi Turki akan membaik kembali? Ataukah, Turki akan terjebak pada labirin ekonomi dan politik regional yang semakin bertele-tele? Kepemimpinan Erdogan dan pemerintahan AKP pun diuji kembali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)