Dilansir AFP, Selasa (9/11/2021), Entisar al-Hammadi (sering pula disebut Entesar al-Hammadi) yang memiliki ibunda asal Ethiopia dan ayah asal Yaman ini diketahui memiliki ribuan follower di Instagram dan Facebook.
Entisar al-Hammadi dijatuhi vonis lima tahun penjara oleh kelompok Houthi. Dia dinyatakan bersalah karena penyalahgunaan narkoba dan prostitusi.
Entisar al-Hammadi ditangkap pada Februari lalu, saat dalam perjalan ke lokasi pemotretan di ibu kota Sana. Houthi yang didukung Iran menguasai Sanaa sejak 2014 dan menerapkan kampanye moralitas, khususnya terhadap perempuan.
Kantor berita milik Houthi, Saba, melaporkan bahwa Hammadi dijatuhi vonis lima tahun penjara oleh pengadilan di Sanaa pada Minggu (7/11) waktu setempat. Vonis itu ditolak oleh pengacara Hammadi dan oleh kelompok hak asasi manusia (HAM) internasional.
Kelompok pembela HAM: Hukuman itu tak adil
Persidangan terhadap Entisar al-Hammadi digelar sejak Juni lalu, dengan prosedur yang disebut oleh Human Rights Watch (HRW), penuh 'penyimpangan dan penganiayaan'.
Menurut pengacaranya, popularitas Entisar al-Hammadi di media sosial, di mana dia memiliki ribuan follower, menjadi alasan sebenarnya di balik penangkapannya.
Salah satu peneliti Yaman di HRW, Afrah Nassar, mengecam vonis terhadap Entisar al-Hammadi. "Hukuman itu tidak adil dan bermotivasi politik," sebutnya.
 This undated handout picture obtained on April 21, 2021 from the Facebook page of Entisar al-Hammadi shows her posing for a "selfie" at an unknown location - FACEBOOK/AFP/File Foto: FACEBOOK/AFP/File |
Menurut salah satu kelompok HAM dan pengacaranya, Entisar al-Hammadi sempat berupaya bunuh diri di dalam tahanan yang dikelola Houthi pada Juli lalu.
Di media sosialnya, Entisar al-Hammadi memposting banyak foto dirinya memakai pakaian tradisional, jeans atau jaket kulit, baik dengan atau tanpa mengenakan hijab. Menurut HRW, Hammadi bekerja sebagai model selama empat tahun dan pernah berakting di dua serial televisi Yaman tahun lalu.
Selanjutnya, Hammadi sempat dianiaya, sekilas tentang Houthi:
Hammadi sempat dianiaya
Dalam pernyataan pada Mei lalu, Amnesty International menyebut Hammadi 'diinterogasi sambil ditutup matanya, dianiaya secara fisik dan verbal, menjadi sasaran penghinaan rasis dan dipaksa mengakui beberapa pelanggaran -- termasuk kepemilikan narkoba dan prostitusi'.
Kekerasan terhadap perempuan, khususnya di area-area yang dikuasai Houthi, mengalami peningkatan sejak Yaman dilanda perang sipil tahun 2014 lalu. Houthi menguasai sebagian besar wilayah utara Yaman, dengan pemerintahan Yaman yang diakui internasional mendapat dukungan koalisi militer pimpinan Arab Saudi.
Sekilas soal Houthi
Dilansir Deutsche Welle (DW) lewat beritanya yang bertanggal 1 Oktober 2019, Houthi adalah kelompok yang berasal dari provinsi Saada yang berada di bagian utara Yaman, berbatasan dengan Arab Saudi.
Houthi muncul pada 1980-an, terbentuk oleh aliansi kesukuan di bagian utara Yaman. Basisnya adalah kebangkitan Zaidisme, satu cabang Syiah. Mereka mempunyai posisi berlawanan dengan Salafisme.
Syiah Zaidiyah sendiri lahir dari perselisihan suksesi kepemimpinan (imamah) dan, seperti ditulis DW, cenderung lebih dekat ke Sunni ketimbang aliran Syiah 12 Imam yang dianut di Iran, Irak, dan Lebanon. Meski begitu, tidak semua penganut Zaidi otomatis adalah Houthi.
Selain itu, mereka juga terdorong oleh diskriminasi ekonomi yang ada. Secara ideologi politik, Houthi anti-imperialisme, anti-Israel, anti-AS, dan anti-Arab Saudi. Pada tahun 2000-an, mereka berubah menjadi milisi dan perang terus dari 2004 sampai 2010 melawan tentara Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh.
Musuh utama Houthi adalah Arab Saudi dan koalisinya, koalisi yang didukung Amerika Serikat (AS). Bagi Saudi, Houthi adalah proksi Iran semata. Iran sendiri juga memang mendukung Houthi.
Pengaruh Houthi berkembang setelah penentangan mereka terhadap Presiden Ali Abdullah Saleh pada 2004. Houthi mengambil alih Sanaa 10 tahun kemudian.
Soal kemampuan militer, menurut laporan Renad Mansour dan Peter Salisbury, tentara Houthi terdiri dari 180 ribu hingga 200 ribu pria bersenjata dengan akses ke sistem persenjataan, mulai dari tank, kendaraan teknis, hingga ke misil antitank dan misil balistik jarak jauh.
60% Tentara Houthi adalah mantan tentara Ali Abdullah Saleh. Houthi mendapat persenjataan dari negara saat merebut Sanaa pada 2014.