Tahun 2007 lalu, sebuah pengadilan Prancis menolak tuduhan oleh kelompok Islamis bahwa penerbitan karikatur itu menghasut kebencian terhadap muslim.
Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron tak mau mengecam rencana majalah itu, karena menurutnya Prancis memiliki kebebasan berekspresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak menjadi tempatnya bagi seorang presiden Republik ini untuk menilai pilihan editorial seorang jurnalis atau ruang redaksi, tidak pernah. Karena kita memiliki kebebasan pers," kata Macron.
Hal sebaliknya disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Pakistan. Pakistan mengecam keputusan Charlie Hebdo itu.
"#Pakistan mengecam keras keputusan majalah Prancis, Charlie Hebdo, untuk menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad (SAW) yang sangat ofensif," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Pakistan, seperti dilansir AFP, Rabu (2/9/2020).
"Tindakan yang disengaja untuk menyinggung sentimen miliaran umat Muslim tidak bisa dibenarkan sebagai praktik kebebasan pers atau kebebasan berekspresi," tegas Kementerian Luar Negeri Pakistan.
"Tindakan tersebut merusak aspirasi global untuk hidup berdampingan secara damai serta aspirasi untuk keselarasan sosial dan antaragama," imbuh pernyataan tersebut.
Di bawah undang-undang antipenghujatan agama yang ketat, tindakan menghina Nabi Muhammad memiliki ancaman hukuman mati.
Dalam unjuk rasa tahun 2015 lalu di Pakistan, para demonstran meneriakkan berbagai slogan termasuk "Matilah Prancis", kemudian "Matilah para penghujat" dan "Siap mengorbankan nyawa untuk Nabi Muhammad".
(rdp/rdp)