Pemerintah mengusulkan istilah makar dalam revisi KUHP atau RKUHP diketatkan dengan definisi lebih mudah dipahami. Usulan itu disepakati Komisi III DPR RI dan akan dibawa ke rapat paripurna DPR RI.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej sebagai wakil pemerintah mengusulkan pengertian istilah makar di RKUHP diubah menjadi niat untuk melakukan serangan. Hal tersebut dilakukan supaya tak ada penafsiran ganda.
"Pasal 160 poin 8 kita merubah istilah makar, makar adalah niat untuk melakukan serangan yang telah diwujudkan dengan persiapan perbuatan tersebut," kata Eddy saat rapat kerja bersama Komisi III di kompleks parlemen, Jakarta Pusat, Kamis (24/11).
Eddy mengatakan definisi diubah lebih ketat. Hal ini sesuai dengan Putusan MK 7/PUU-XC/2017 halaman 15, poin 3.13.9.
"Sehingga lebih strict lebih ketat, tidak menimbulkan penafsiran ganda," kata Eddy.
"Sebab apabila kata 'makar' begitu saja dimaknai sebagai 'serangan' tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain yang ada pada pasal-pasal yang diminta pengujian oleh pemohon, terutama Pasal 87 KUHP, hal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum," tulis penjelasan Wamenkumham di monitor presentasi.
Berdasarkan keputusan itu, penegak hukum baru dapat melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan makar apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan serangan dan telah nyata timbul korban.
"Lain halnya dengan dengan rumusan yang telah ada seperti pada tindak pidana makar seperti saat ini yang harus dikaitkan antara Pasal 87 ataupun Pasal 53 KUHP," tulisnya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Taufik Basari mengapresiasi definisi makar di RKUHP diperketat. Menurutnya, hal tersebut sebagai bentuk baik menjaga demokrasi.
"Poin 8, Pasal 160 terima kasih sekali lagi masukan yang kami sampaikan ke pemerintah sudah bisa diakomodir, sehingga makar sesuai dengan maksud dari orisinalitasnya, yaitu serangan," kata Taufik Basari atau Tobas di rapat kerja yang sama.
Tobas menilai perubahan tersebut merupakan suatu kemajuan. Menurutnya, pengetatan istilah itu bisa menjaga demokrasi.
"Menurut saya, kita harus berikan apresiasi kepada pemerintah dengan mengakomodasi untuk mengganti, bukan mengganti, menjelaskan. Kata makar sebagai serangan ini bentuk itikad baik menjaga demokrasi, supaya jelas publik terkait perubahan-perubahan ini," katanya.
Hal serupa disampaikan anggota Komisi III Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan. Ia setuju dengan perumusan kata 'makar' yang berganti.
"Butir 8 pasal 160 kami juga sepakat ini karena isu tentang makar panjang sekali sejarah dan ceritanya. Akan sangat bergantung kepada siapa yang berkuasa sehingga seringkali menjadi subjektif," kata dia.
Lihat juga video 'Penyelesaian RKUHP Terganjal Pasal yang Belum Tersinkronisasi':
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya:
(rfs/fas)