Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menggelar sosialisasi rancangan revisi undang-undang paten No. 13 Tahun 2016 (UU Paten). Sosialisasi ini menjadi langkah transparansi pemerintah dalam menyusun revisi UU Paten.
Adapun kegiatan sosialisasi yang dilakukan dengan para pemangku kepentingan terkait ini berlangsung virtual pada Rabu (18/8). Kegiatan ini dilakukan dengan harapan revisi UU Paten dapat mengakomodir para pemangku kepentingan di bidang paten.
Direktur Paten, DTLST dan Rahasia Dagang, Dede Mia Yusanti mengatakan sosialisasi ini dilakukan untuk menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan dari amandemen UU Paten.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perubahan tentang UU Paten ini tentunya untuk menyesuaikan apa yang ada di UU Cipta Kerja, dan menyesuaikan dengan aturan yang terkait dengan standar internasional, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional," jelas Dede dalam keterangan tertulis, Kamis (19/8/2021).
Ia menambahkan revisi UU Paten juga mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memerlukan pelindungan paten. Serta bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di bidang paten.
Adapun perubahan-perubahan dalam revisi UU Paten ini antara lain.
1. Pasal 4 huruf d terkait dengan paten dalam program komputer
Dede menjelaskan jika melihat Pasal tersebut, dinyatakan bahwa program komputer yang semata-mata program komputer merupakan invensi yang tidak dapat dipatenkan. Akan tetapi menurutnya di dalam penjelasan dari pada Pasal tersebut jelas dinyatakan kalau program komputer yang semata-mata tidak program komputer tetapi ada efek teknis, ada karakter teknis di dalamnya maka program komputer tersebut dapat dipatenkan.
"Yang biasa kita sebut sebagai computer implemented invention atau computer related invention," ujarnya.
2. Pasal 4 huruf f terkait invensi yang berupa temuan (discovery)
Dede menyebut Pemerintah akan menghapus ketentuan dari Pasal 4 huruf f ini. Tujuannya, memberikan kesempatan dan mendorong serta membuka inovasi nasional yang seluas-luasnya.
"Karena ternyata banyak invensi inovasi nasional yang berkaitan dengan ketentuan dari pada Pasal 4 huruf f ini," ucap Dede.
3. Pasal 6 ayat (1) terkait grace period atau masa tenggang terhadap publikasi ilmiah
Pemerintah akan mengubah ketentuan dari pasal ini dengan menambahkan waktu dari sebelumnya 6 (enam) bulan, menjadi 12 (dua belas) bulan masa grace period yang diberikan sebelum penerimaan invensi.
Menurut Dede, tujuan pengubahan ini untuk memberikan kesempatan waktu yang lebih lama khususnya kepada para peneliti dan inventor yang biasanya memerlukan publikasi ilmiah terhadap hasil penelitiannya tetapi mereka juga memerlukan pelindungan patennya.
4. Pemindahan Pasal 9 huruf c yaitu teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika ke dalam Pasal 4 huruf c
Dede menjelaskan sebetulnya ketentuan ini ada di Pasal 9 huruf c yang terkait dengan invensi yang tidak dapat diberi paten.
"Jadi ini adalah pemindahan Pasal saja dari 9 (sembilan) dimasukkan ke dalam Pasal 4 huruf c," terangnya.
5. Penambahan Pasal 19 ayat (1) terkait memberi izin melaksanakan paten yang dimilikinya kepada pihak lain
Dede mengungkapkan penambahan Pasal 19 ayat (1) sesuai dengan UU Cipta Kerja. Sebab menurutnya pelaksanaan paten tidak hanya semata-mata memproduksi, tetapi juga memberikan izin untuk melaksanakan paten tersebut kepada pihak lain.
"Karena kalau kita lihat di Pasal 28 ayat (2) TRIPS ada dinyatakan bahwa selain hak eksklusif maka disebutkan juga hak untuk mengalihkan paten dan lisensi. Yang mana Pasal 28 ayat (2) TRIPS tersebut sebelumnya tidak muncul di Pasal 19 ayat (1) UU Paten saat ini," ungkapnya.
6. Pemerintah mengusulkan adanya Pasal baru yaitu Pasal 20A
Ia mengungkap Pasal 20A yang berbunyi 'Pemegang Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib membuat pernyataan pelaksanaan Paten di Indonesia dan memberitahukannya kepada Menteri setiap akhir tahun setelah diberi Paten'.
"Jadi yang bersangkutan tidak perlu melaksanakan atau membuat patennya di Indonesia, tetapi pemegang paten wajib membuat pernyataan pelaksanaan Paten di Indonesia," jelasnya.
7. Perubahan Pasal 26 yang terkait penetapan sumber daya genetik (SDG)
Dede menyebutkan Pasal 26 yang berbunyi 'jika terdapat invensi yang berkaitan dengan SDG, harus disebutkan dengan jelas dan benar asal SDG tersebut di dalam deskripsi serta informasi tersebut harus mendapat pengesahan dari lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah'.
"Nah itu kita ubah, walaupun disebutkan dan diungkapkan dalam deskripsi dan formulir permohonan paten, hal ini akan dicatat dan diumumkan secara elektronik," ucapnya.
Ia menambahkan, artinya jika di dalam formulir permohonan paten itu menyebutkan sumber daya genetik, maka DJKI akan mencatat dan mengumumkannya secara elektronik.
8. Penambahan ayat baru di Pasal 25
Penambahan ayat tersebut berbunyi 'Surat pernyataan asal Sumber Daya Genetik dan/ atau Pengetahuan Tradisional jika invensi berkaitan dengan Sumber Daya Genetik dan/ atau Pengetahuan Tradisional'.
"Jadi surat pernyataan ini menggantikan surat validasi atau verifikasi yang dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk. Karena sampai sekarang memang lembaga yang ditunjuk untuk memverifikasi asal SDG ini belum ada," paparnya.
9. Penambahan ayat baru pada Pasal 24
Bunyi ayat baru tersebut adalah 'Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dengan jumlah klaim lebih dari 10 (sepuluh), terhadap kelebihan klaim tersebut dikenai biaya'.
10. Penambahan ayat baru pada Pasal 28
Bunyi ayat baru tersebut adalah 'Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyatakan dan memilih alamat Kuasa sebagai domisili hukum di Indonesia'.
Bunyi ayat baru tersebut adalah 'Dalam hal Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, Permohonan tetap dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 4 (empat) bulan sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan Hak Prioritas dengan membayar biaya'.
12. Penambahan ayat baru pada Pasal 34
Bunyi ayat baru tersebut adalah 'Dalam hal deskripsi tentang Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b ditulis dalam bahasa asing berlaku ketentuan a. Bahasa asing selain bahasa Inggris, deskripsi wajib dilengkapi dengan terjemahan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia; atau b. Bahasa Inggris, deskripsi wajib dilengkapi dengan terjemahan dalam Bahasa Indonesia'.
13. Penambahan ayat baru pada Pasal 36
Bunyi ayat baru tersebut adalah 'Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan permohonan kembali dengan dikenai biaya'.
14. Adanya konsep baru yaitu Pasal 51A
Konsep ini berbunyi 'Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dapat dilakukan pemeriksaan substantif pendahuluan dengan dikenai biaya'.
15. Adanya konsep baru yaitu Pasal 57A
Konsep baru dalam Pasal 57a berbunyi 'Pemohon dapat mengajukan permohonan percepatan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 setelah selesainya masa pengumuman dengan dikenai biaya'.
16. Adanya konsep baru yaitu Pasal 63A
Konsep tersebut berbunyi 'Permohonan pemeriksaan substantif kembali diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dikenai biaya'.
17. Penambahan ayat baru pada Pasal 67
Bunyi ayat baru dalam pasal ini adalah 'Dalam hal permohonan banding sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c, pemohon banding dan termohon banding yang tidak bertempat tinggal atau tidak berkedudukan tetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diajukan melalui Kuasanya di Indonesia'.
18. Penambahan ayat baru pada Pasal 68
Bunyi ayat baru tersebut adalah 'Permohonan banding terhadap penolakan permohonan diajukan paling lama 3 ( tiga ) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan Permohonan atau surat pemberitahuan penolakan pemeriksaan substantif kembali'.
19. Penambahan ayat baru pada Pasal 72
Ayat ini berbunyi 'Gugatan ke Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan setelah permohonan banding diperiksa dan ditetapkan oleh Komisi Banding'.
20. Adanya konsep baru yaitu Pasal 84A
Konsep ini berbunyi 'Ketentuan Pemberian Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) dan Pasal 84 ayat (1) huruf b dikecualikan dalam hal terdapat Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang telah berkekuatan hukum tetap bahwa pelaksanaan paten terbukti mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat'.
21. Penambahan ayat baru pada Pasal 103
Bunyi ayat baru tersebut adalah 'Pemberian Lisensi wajib ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya pelaksanaan Paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat dalam waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberian Lisensi wajib yang bersangkutan atau sejak tanggal pemberian Lisensi wajib pertama dalam hal diberikan beberapa Lisensi wajib'.
22. Penambahan ayat baru pada Pasal 109.
Ayat tersebut berbunyi: Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pelaksanaan Paten hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Paten dengan persetujuan Pemerintah.
23. Adanya konsep baru yaitu Pasal 111A
Konsep ini berbunyi 'Menteri dapat memutuskan pelaksanaan Paten oleh pemerintah atas impor pengadaan produk farmasi yang diberi paten di Indonesia tetapi belum dapat diproduksi di Indonesia guna pengobatan penyakit pada manusia'.
24. Penambahan ayat baru pada Pasal 112.
Ayat tersebut berbunyi 'Dalam hal Pemegang Paten tidak dapat melaksanakan hak eksklusifnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Pemegang Paten dibebaskan dari kewajiban untuk membayar biaya tahunan'.