Aktivis Pertanyakan Kenapa Juliari Bukan Dituntut Seumur Hidup
Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Tuntutan ini dinilai terlalu ringan mengingat korupsi dilakukan di tengah pandemi Corona (COVID-19).
Juliari dinyatakan jaksa bersalah melanggar Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bunyi Pasal 12 huruf b sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000:
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Dalam penerapan pasal di atas, diketahui jaksa KPK tidak menuntut Juliari dengan hukuman maksimal, yakni penjara seumur hidup. Jaksa hanya menuntut Juliari 11 tahun penjara.
Padahal, Juliari selaku Mensos RI saat itu memegang tanggung jawab penuh terkait bansos Corona. Program bansos juga merupakan atensi dari presiden guna membantu rakyat kurang mampu yang terdampak Corona.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, menilai seharusnya jaksa KPK menuntut Juliari dengan hukuman seumur hidup. Hal ini diharapkan bisa memberi efek jera kepada pelaku korupsi yang memanfaatkan pandemi Corona.
"Sebenarnya kalau korupsi terkait kebutuhan sosial masyarakat apalagi di tengah pandemi memang ancaman hukuman minimal seumur hidup atau hukuman mati," kata Feri saat dihubungi, Rabu (28/7/2021).
Feri mengatakan hukuman seumur hidup pernah diterapkan di masa terpidana Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Semestinya, lanjut Feri, jaksa menuntut Juliari pada hukuman Akil Mochtar.
"Seingat saya hukuman seumur hidup memang pernah diterapkan dalam kasus Akil Mochtar, misalnya, dan itu bagi saya menjadi penting untuk kemudian timbul penjeraan bagi tindak pidana korupsi," ucapnya.
Dosen Universitas Andalas ini juga menyayangkan pidana tambahan yang dijatuhkan jaksa, yakni pencabutan hak dipilih selama 4 tahun. Feri menilai seharusnya jaksa KPK menuntut pencabutan hak dipilih itu selama 1 atau 2 periode politik.
"Lebih menarik kalau sanksi menghilangkan hak politik diganjar 1 periode hak politik, atau 2 periode politik. Jadi dia tidak akan dapat gunakan hak politik, termasuk di kekuasaan pemerintahan dan pelayanan publik agar bisa 2 periode dan itu berdampak betul bagi pelaku," sebutnya.
Hal senada dikatakan pengamat tata negara, Bivitri Susanti. Dia menilai hukuman Juliari terlalu rendah. Menurutnya, Juliari pantas dituntut hukuman lebih tinggi.
"Tapi kan ada hukuman pidana penjara maksimum 20 tahun, harusnya itu yang digunakan, yang semaksimal mungkin," katanya.
"Pada akhirnya nanti hakim yang akan memutus, tetapi besarnya tuntutan jaksa sangat penting sebagai pertimbangan hakim dalam memutus nanti, dan juga merespons kemarahan masyarakat bagi orang-orang seperti Juliari yang keji sekali mengkorupsi bantuan dalam kondisi bencana seperti ini," lanjutnya.
(yld/dhn)