Titi juga menilai isu Pilkada akan tenggelam jika disatukan dengan Pilpres dan Pileg pada 2024. Maka, kata dia, hal ini bisa berdampak pada salah pilih pimpinan daerah hingga tindakan-tindakan ilegal seperti politik uang, politik SARA, hingga politik identitas.
"Pileg dan Pilkada akan sangat mungkin tenggelam dengan Pemilu Presiden, akibatnya, karena isu terlalu banyak dan Pemilu Presiden terlalu dominan, pemilih tidak dapat cukup bekal untuk dapat keputusan dalam Pemilihan Legislatif dan Pilkada, ini akhirnya bisa membuat pemilih tidak menggunakan hak pilihnya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, yakni berdasarkan visi, misi, dan program, atau berdasarkan politik gagasan, dan ini karena persaingan yang ketat bisa memicu tindakan-tindakan ilegal dari praktik pemilihan, yaitu digunakannya politik uang, politisasi SARA, dan juga politik identitas," ujar Titi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Titi juga menyebut ada kemungkinan fokus masyarakat akan tersedot pada Pilpres jika semuanya dilakukan beririsan sehingga nantinya ini bisa berdampak pada tingginya suara tidak sah pada Pileg dan Pilkada.
"Yang juga jadi pelajaran dari Pemilu 2019 karena Pileg-Pilpres, tetapi membuat fokus konsentrasi semua tersedot ke Pemilu Presiden akhirnya membuat suara tidak sah DPR dan DPD jadi sangat besar, atau invalid vote atau suara tidak sah, DPD itu bahkan sampai 27 juta atau setara 19 persen, DPR sampai 17 juta atau setara dengan 13 persen, itu angka yang sangat tinggi sekali dan itu ditengarai karena konsentrasi pemilih terlalu besar ke Pilpres," imbuhnya.
(maa/tor)