Anggapan Mahkamah Agung (MA) kerap memangkas vonis koruptor mungkin tak asing di telinga publik. Bagaimana respons MA dicap sebagai lembaga tukang pangkas hukuman koruptor?
Ketua MA Syarifuddin merespons dengan santai, sambil tertawa. Tapi tetap menegaskan anggapan tersebut tidak benar.
"Jadi tidak benar MA tukang menyunat, mendiskon pidana," kata Syarifuddin dengan tertawa dalam refleksi akhir tahun yang disiarkan di kanal YouTube MA, Rabu (30/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak ada yang bisa mengintervensi hakim yang mengadili. Begitu penegasan Syarifuddin. Sekelas dia pun tidak boleh bertanya.
"Mengenai pengurangan pidana, itu merupakan independensi, kewenangan, memenuhi rasa keadilan dari hakim yang mengadili perkara itu. Saya sebagai ketua saja tidak boleh bertanya mengenai itu. Itu sepenuhnya kewenangan hakim yang mengadili," tegas Syarifuddin.
Memang bukan tanpa data Syarifuddin menepis anggapan MA tukang diskon vonis koruptor. Menurut Syarifuddin, MA justru menolak 92 persen perkara yang ditangani.
"Yang diberitakan 8 persen, ya jadi masalah," sebut Syarifuddin.
Setahun belakangan, MA memang dikenal garang dengan koruptor. Apalagi jika Artidjo Alkostar yang mengadili perkaranya.
Tapi Artidjo sudah pensiun. MA menepis kegarangan MA hilang selepas Artidjo pensiun.
"Nggak ada sangkut pautnya (dengan pensiunnya) Pak Artidjo. Pak Artidjo masih di sini pun tidak bisa mempengaruhi. Para ketua kamar, saya sebagai ketua ndak boleh mencampuri," tegas Syarifuddin.
Syarifuddin menyebut MA tak sedikit memperberat vonis yang sebelumnya ditetapkan. Setelahnya Syarifuddin menyinggung tren pemberitaan.
"Berapa banyak juga di MA, di tingkat MA onslag (lepas, red), di MA justru dihukum. Banyak yang seperti itu. Ya mungkin itu berita yang kurang menarik ke permukaan. Jadi tidak benar MA tukang menyunat, mendiskon pidana," pungkas Syarifuddin.
Lantas, dari mana anggapan MA kerap pangkas vonis koruptor muncul? Baca di halaman berikutnya.