RCTI dan iNews Tv menggugat UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan penyiaran yang menggunakan internet juga tunduk ke UU Penyiaran. Media milik Hary Tanoesudibjo itu menilai saat ini banyak konten internet yang sudah tidak terkontrol dan bertentangan dengan identitas bangsa.
Dalam persidangan, hakim konstitusi Saldi Isra menanyakan ke pemerintah soal kontrol konten internet. Sebab, jika tidak maka akan berbahaya bagi masa depan bangsa.
"Nah, oleh karena itu, menarik sebetulnya kira-kira yang perlu dijelaskan juga oleh Pemerintah ke kita, langkah apa sih sebetulnya yang diambil oleh Pemerintah untuk menjawab keresahan Pemohon ini?" kata Saldi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu tertuang dalam Risalah Sidang yang dikutip detikcom dari website MK, Jumat (28/8/2020). Sidang itu sendiri digelar pada Rabu, 26 Agustus 2020 lalu. Saldi mencontohkan langkah pemerintah dalam mengatur internet terkait pajak. Langkah itu dinilai sudah tepat. Tapi, menurut Saldi, belum ada langkah nyata soal pencegahan pemerintah soal konten-konten internet yang dinilai bertentangan dengan norma masyarakat.
"Bagaimana mengendalikan substansi?" ujar Saldi.
Menurut Saldi, permasalahan konten itu adalah problem besar bagi sebuah negara. Bahkan di beberapa negara, ada konten internet di-banned demi kepentingan nasional.
"Pemerintah tidak akan bisa menitipkan materi yang itu berfungsi untuk ketahanan nasional kita di media-media yang dipersoalkan oleh Pemohon ini. Bagi kita kan, sebetulkan penting seperti itu, ada saluran yang peminatnya banyak, peminatnya besar, tapi kalau tidak bisa Pemerintah menitipkan konten yang itu bisa memelihara keberagaman kita misalnya, itu kan untuk masa depan Republik ini berbahaya," sambung guru besar Universitas Andalas, Padang itu.
Mendapati pertanyaan itu, pemerintah yang diwakili Dirjen PPI Kominfo, Ahmad Ramli menyatakan sudah ada pengaturannya di UU terkait. Seperti ditindak dengan UU ITE hingga UU Pornografi.
"Sebetulnya mengatasi konten-konten negatif di OTT itu jauh lebih mudah daripada menindak mereka yang ada di penyiaran, seperti itu. Kenapa lebih mudah? Karena Undang-Undang ITE membolehkan kita me-take down bahkan menutup saluran dari OTT dimaksud. Jadi, sudah ratusan saluran-saluran OTT yang ditutup oleh Kominfo karena menyiarkan hal-hal yang tidak benar. Boleh juga kita semua bisa melihat banyak juga misalnya yang tadinya bisa diakses, tapi tiba-tiba ditutup karena terkait dengan konten-konten negatif atau radikalisme," jawab Ahmad Ramli.
Sebagaimana diketahui, permohonan judicial review itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi:
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar-penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu.