Wasekjen PPP yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi atau Awiek menyoroti permasalahan Pemilu 2019 di Indonesia. Salah satunya adalah masalah daerah pemilih tetap (DPT) hingga tertinggalnya semarak pileg pada Pemilu 2019 karena kalah saing dengan pembahasan pilpres.
Hal itu diungkapkan Awiek dalam peluncuran bukunya yang berjudul 'Pemilu Serentak 2019: Catatan Pengalaman Indonesia' yang disiarkan secara online, Minggu (12/7/2020). Awiek mengatakan permasalahan DPT sering terjadi di setiap pemilu.
"Ini mungkin hampir selalu terjadi saat pemilu. Selalu berulang, mungkin karena pendataan di Indonesia. Data kependudukan berbeda yang dimiliki KPU. Ini akan menjadi persoalan, kemarin terbukti perbaikan DPT dilakukan sampai masuk 2019, bahkan di beberapa kecamatan ada penambahan DPT di luar kewajaran, semua terverifikasi dengan Bawaslu. Bisa dicermati DPT pemilu presiden DPT 2019, dengan pemilihan kepala desa pasti mengalami perubahan yang signifikan," ujar Awiek dalam diskusi itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awiek mengatakan data saat pilpres dengan data pilkada itu memiliki perbedaan yang lumayan jauh. Dia meminta KPU atau Bawaslu segera mengatasi masalah itu.
"Padahal pemilu presiden dan pilkades orangnya itu-itu saja. Kalau selisih 100-200 orang, itu masih toleransi. Kalau 1.000, itu pasti ada persoalan," katanya.
Selain itu, dia menyoroti terkait hilangnya semangat memilih para pemilih di Pileg 2019. Menurutnya, dengan digabungnya pilpres dan pileg, masyarakat berfokus pada pilpres saja, sehingga teori efek ekor jas dalam pemilu serentak tidak dirasakan oleh partai politik ataupun caleg koalisi capres-cawapres.
"Efek ekor jas terhadap partai pengusung itu tidak pernah ada. Yang merasakan langsung dampak pencalonan presiden itu bisa dilihat. Harus jujur diakui, mayoritas partai politik tidak merasakan dampak efek ekor jas. Mungkin hanya ada dua partai yang merasakan. Sisanya tidak bekerja ya, tidak mendapatkan suara maksimal," jelas Awiek.
"Satu sisi mikirin pileg, satu lagi pilpres. Belum lagi di daerahnya kehendak mayoritas masyarakat berbeda. Dapil Madura, partai kami mengusung Jokowi-Ma'ruf Amin. Tetapi kehendak publik masyarakatnya memilih Prabowo-Sandi. Itu pemilih fanatik di Madura, hasil pemilunya 80 persen dimenangi 02," sambungnya.
Menjawab kritik Awiek terkait DPT, komisioner KPU Ilham Saputra menyebut masalah DPT itu bukan sepenuhnya kewenangan KPU. Ilham mengatakan KPU hanya mendapat data penduduk yang sudah dimutakhirkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"KPU tidak bekerja sendiri. KPU hanya memutakhirkan data berdasarkan data Kemendagri, dan alhamdulillah saya kira UU 7/2017 mengatur secara lebih baik, karena DPT ini DPT yang dimutakhirkan secara berkelanjutan, walaupun tidak ada pemilu, walaupun tidak ada pilkada, sehingga data yang kami gunakan ini data yang lebih akurat dibandingkan dengan data sistem pemutakhiran DPT yang berkala, ini jadi catatan kami," ucap Ilham.
Tonton video 'Refly Harun Sebut Putusan MA Menangkan Gugatan Rachmawati Tak Manfaat':
Ilham juga mengaku bingung siapa penanggung jawab jika ada permasalahan tentang DPT. Dia mengatakan di negara-negara lain, KPU itu tidak mengurusi DPT sehingga dia meminta pemerintah membuat aturan tentang penanggung jawab DPT.
"Selalu menjadi masalah siapa sebetulnya penanggung jawab dari karut marut DPT ini, karena KPU--sekali lagi--hanya memiliki data hasil dari data pemerintah. Nah, ini selalu juga jadi kambing hitam, pengalaman diulang atau kemudian tidak ditetapkan berlarut-larut. Pilkada juga seperti itu, pemilu seperti itu. Ini jadi catatan kita bersama bagaimana membuat pemutakhiran data pemilih yang lebih akurat," katanya.
Terkait teori efek ekor jas capres pada Pilpres 2019 yang tidak dirasakan parpol dan caleg, peneliti LIPI Siti Zuhro membenarkan pendapat Awiek. Dia menilai efek ekor jas memang tidak dirasakan pada Pemilu 2019.
"Asumsi bahwa akan ada efek ekor jas itu ternyata tidak terbukti. Contoh kesulitan Mas Awiek di Madura. Untungnya Mas Awiek menang, tapi tidak untuk PPP. PPP mendapat suara bontot, jadi tidak dirasakan efek ekor jas oleh PPP," katanya.
Atas hal itu, Siti lantas menyebut ada opsi untuk memfokuskan kembali Pileg 2019. Salah satunya adalah memisahkan pileg dengan pilpres.
"Apakah perlu alternatif skema lainnya, misalnya pilpres mendahului pileg, jadi supaya sistemnya tetap memperkuat adalah sistem presidensial sehingga, bukan pilegnya didulukan, atau pilihan kedua, pemilu serentak nasional presiden, DPR dan DPRD, lalu pemilu lokal gubernur, wali kota, DPRD provinsi, kabupaten, atau pemilu legislatif DPR, DPD, DPRD vs pemilu eksekutif presiden, gubernur, wali kota. Jadi kita harus hitung simulasi atau perhitungkan dampak positif dan negatif. Jadi dampak positif negatif jauh lebih penting yang mana untuk kemaslahatan umum. Jangan sampai pemilu korelasi pemerintah besar sekali sehingga hasil pemilu tidak berikan dampak kontribusi positif 5 tahun ke depan," pungkas Siti.
(zap/gbr)