Penggunaan media sosial juga membuat proses radikalisasi jauh lebih masif dan cepat. Hal tersebut diutarakan, Mirra Noor Milla, anggota Tim Ahli Konsultasi Bidang Psikologi untuk program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dahulu, menurut Mirra, anak usia belasan agar bisa punya peran signifikan dalam sebuah kelompok teror membutuhkan waktu yang tak singkat. Mereka yang tertarik ajaran-ajaran kekerasan belum tentu bertemu dengan kelompok yang sesuai.
"Kalau ketemu kelompoknya pun belum tentu direkrut. Dulu kelompok radikal ini jauh lebih selektif merekrut orang untuk terlibat dalam aksi jihad atau apa pun," kata Mirra pada detikcom, Jumat (15/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Era ISIS, semua berubah. Proses radikalisasi yang sebelumnya lewat kamp-kamp pelatihan, kini kebanyakan terjadi lewat media internet. "Sekarang inkubatornya ada di medsos. Ini kemudian menjelaskan kenapa kemudian tren radikalisasi semakin mudah dan cepat," ujar Mirra.
Mirra yang belakangan 'menangani' dua remaja terpidana kasus terorisme di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Salemba, menyebut anak-anak muda di medsos mendapatkan diskusi soal paham ekstrem yang dibungkus dengan propaganda dalam bentuk narasi-narasi kegelisahan.
"Istilah psikologinya narasi itu meningkatkan persepsi ketidakadilan dan persepsi terancam. Bahwa dunia ini akan memburuk, penguasa yang punya peran besar di dunia jahat maka kita perlu melakukan sesuatu," ujar pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
"Untuk melakukan 'perbaikan' pada dunia itu, kelompok-kelompok radikal menyediakan peran bagi anak-anak muda ini. Kalau kamu mau jadi orang yang baik, kamu harus punya kontribusi."
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini