"Sekarang Bung! Malam ini juga kita kobarkan revolusi," ujar Chaerul Saleh. Bung Karno menolak dan marah. Kemarahan itu diakui Sukarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Gagal mendesak Bung Karno, para pemuda itu pulang dalam keadaan marah juga. Kamis dini hari, para pemuda termasuk Chaerul nekat menjalankan rencana cadangan, yakni menculik dan membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang.
Aksi tersebut dilakukan karena Sukarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Sukarno-Hatta akhirnya bersedia meneken proklamasi yang disiapkan di rumah Laksamana Maeda. Namun, setelah kemerdekaan Chaerul justru berada di luar pemerintahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat dikeluarkan kebijakan restrukturisasi-renasionalisasi untuk mengurangi jumlah personel angkatan perang. Chaerul menolak. Rezim Sukarno akhirnya menangkapi Chaerul dan anggota laskarnya. Dalam buku Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan karya Restu Gunawan, Chaerul ditangkap setelah melawan tentara Indonesia dan tentara Belanda di daerah Banten. Chaerul lantas dijebloskan ke Nusakambangan.
![]() |
Tak berapa lama ditahan, suami dari Johanna Siti Menara Saidah ini "dibuang" ke Jerman untuk kuliah hukum di Universitas Bonn, Jerman Barat, dari 1952 hingga 1955. Dia melanjutkan studi hukum yang tidak diselesaikannya di Recht Hooge School (RHS) Betawi. Pulang dari Jerman, sebagai tokoh dari Partai Murba Chaerul dipercaya menjadi Menteri Negara Urusan Veteran, Kabinet Djuanda pada 1957 dan kemudian Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (1959-1960).
Saat berada di Kabinet Kerja I itu, Sukarno juga mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Salah satu isinya, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Chaerul pun diangkat jadi ketua pertama lembaga tersebut.
MPRS bertahan sampai 1971 dengan ketuanya Abdul Haris Nasution. Setelah itu jabatannya digabung dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tokoh Nahdlatul Ulama Idham Chalid jadi ketuanya. Setelah itu praktis sepanjang Orde Baru, Ketua DPR/MPR jatuh ke Golongan Karya (Golkar). Harmoko jadi tokoh Golkar terakhir duduk di posisi tersebut di era Orba.
Terpilihnya Harmoko tak lepas dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar pada 1993. Menteri Penerangan tiga periode itu ditunjuk mempimpin MPR pasca Pemilu 1997. Tentu saja atas restu Soeharto. Ternyata pilihan itu jadi bumerang bagi penguasa Orba itu. Di bawah tekanan besar massa pada 16 Mei 1998 pagi, Harmoko membawa para pimpinan DPR ke Istana Merdeka.
Saat itu Soeharto menyaksikan anak didiknya itu berpaling. Harmoko meminta Presiden Soeharto mundur. Dalam sebuah wawancara dengan detikcom sekitar 10 tahun lalu, Harmoko mengungkapkan pernyataannya pada Soeharto. "Rakyat memohon Bapak untuk mengundurkan diri," ujar Harmoko. Soeharto menjawab, "Silakan. Terserah fraksi-fraksi di DPR".
![]() |
Aksi mahasiswa semakin besar. Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, Sabtu, 18 Mei 1998. Tuntutan utama mereka Soeharto mundur. Harmoko didampingi pimpinan parlemen lainnya, yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid mengadakan konferensi pers. "Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," ujar Harmoko saat itu.
Baca juga: Bambang Soesatyo dan Jejak Harmoko di Golkar |
Kisah Harmoko berulang pada Amien Rais yang terpilih jadi Ketua MPR pada 3 Oktober 1999. Berkat dukungan yang kuat dari Poros Tengah yang dimotori Amien Rais, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih sebagai presiden keempat. Namun masa mesra Gus Dur dan Amien Rais tak berlangsung lama. Belum genap dua tahun, Amien lalu menggalang Sidang Istimewa MPR untuk memberhentikan Gus Dur.
Akhir Juli 2001, Sidang Istimewa itu benar-benar berjalan. Gus Dur mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR, namun tak mendapat dukungan. Amien akhirnya memimpin pemakzulan Gus Dur dan mengangkat Megawati Sukarnoputri sebagai penggantinya.
![]() |
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini