Tulisan,'Cuti nonton Drakor karna di DPR lebih banyak drama', dan bahkan 'Pak Presiden sahkan saja saya dengan Anya Geraldine. Jangan RUU nya', jadi ungkapan menghibur, yang tak kehilangan substansi tuntutannya. Dan tak jarang pula, keseriusan menyampaikan pendapat teralihkan oleh munculnya tawaran 'Jasa penggarapan skripsi', maupun 'Tersedia kost putri, hubungi nomor berikut' di tengah kerumunan.
Ada pula poster yang berbunyi, 'Ada yang punya power bank?' atau 'Woi bagi link dong'. Selain menggelitik, tentu ini adalah gambaran pesan yang kontekstual, di era yang sangat bergantung pada perangkat digital.
Poster-poster itu muncul lewat 'ideologi' dalam arti kasual yang dominan dianut anak-anak muda penghuni kampus Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini era teknologi informasi. Suara mahasiswa juga tak bisa dilepaskan dari teknologi yang mereka pakai itu. Mereka juga menggemakan tuntutan dan aksinya di jagat media sosial internet. Poster-poster lucu itu tersebar lewat Instastory, YouTube, Facebook, maupun grup-grup WhatsApp. Konten tuntutan cepat menyebar dan menular bak virus (viral). Memang itulah tujuannya. Poster lucu itu bisa efektif menyasar tujuan.
"Implikasinya, tak usah diragukan. Ini terlihat, Presiden sampai harus mengundang tokoh masyarakat untuk dimintai pendapat: apa yang dapat dilakukan untuk meredakan tekanan mahasiswa ? Pertemuan Presiden dengan tokoh masyarakat, dilakukan setelah beberapa menteri tampil untuk meredakan gelombang unjuk rasa," tutur Firman.
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini