Lika-liku Palupi Menjadi Relawan Pendampingan Anak Putus Sekolah d Surabaya

Lika-liku Palupi Menjadi Relawan Pendampingan Anak Putus Sekolah d Surabaya

Rahma Lillahi Sativa - detikNews
Kamis, 10 Nov 2016 13:01 WIB
Palupi bersama salah satu adik asuhnya/Foto: Rahma Lillahi Sativa
Surabaya - Menjadi relawan program Campus Social Responsibility (CSR) Dinas Sosial Kota Surabaya banyak tantangannya. Salah satu relawan yang sudah merasakan adalah Dwi Palupi.

Rasa kepedulian sosialnya yang cukup besar membuatnya bergabung di CSR. Bergabungnya ke CSR, maka mahasiswi Universitas dr Soetomo, Surabaya, tidak lagi harus mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata).

CSD adalah program pendampingan bagi anak putus sekolah dan rentan putus sekolah dengan melibatkan mahasiswa berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta.

"Memang kalau udah ikut ini jadi bebas KKN. Programnya berupa pendampingan masyarakat," ungkap Palupi memulai cerita saat ditemui detikcom, Kamis (10/11/2016).

Gadis berusia 20 tahun itu mengaku mendengar program ini dari kakak tingkatnya. Kebetulan ketika pertama kali ia masuk, program ini baru memasuki tahun pertama. Sejak awal memang sudah tertarik pada program ini, Palupi lantas memutuskan mencari informasi sendiri.

Baca Juga: Mengintip Resep Rahasia Kota Surabaya Mengatasi Anak Putus Sekolah

Begitu tahu detail tentang program ini, rasa galau pun menyelimuti diri Palupi. Bagaimana tidak, di kota sebesar Surabaya masih banyak anak yang putus sekolah, kebanyakan karena persoalan himpitan ekonomi.

Tak berlama-lama, Palupi pun langsung mendaftar sebagai kakak pendamping dan mengikuti seleksi. Ia diterima dan mulai 'bertugas' pada bulan Maret 2016 silam. Ia diminta mendampingi seorang anak dari Kecamatan Dukuh Pakis.

Begitu ketemu, mereka memetakan persoalan yang dihadapi masing-masing adik asuh. "Makanya kita selalu ditempatkan sebelum daftaran sekolah dibuka, Maret-April gitu. Jadi begitu tahu anak ini butuh sekolah misalkan, segera dicarikan sekolah lalu didaftarkan," urainya.

Namun karena letaknya yang jauh dari rumah di kawasan Bendul Merisi, Palupi diminta berpindah ke adik asuh lain. Adik asuh kedua merupakan anak SMK kelas 1 yang cukup bengal.

"Pernah ya mbak, paginya mau didaftarkan sekolah, malemnya anaknya nggak pulang. Saya sama orangtuanya bingung nyariin, ternyata tidur di tempat temannya," urai Palupi.

Selain suka membolos, si anak juga pernah dilaporkan mencuri dan mengonsumsi alkohol. Suatu ketika ibu si anak bingung karena putranya tidak diterima di sebuah sekolah.

Baca Juga: Gebrakan Risma, Siswa dari Keluarga Kurang Mampu Bisa Sekolah Pilot Gratis

"Saya dateng ke sekolah untuk nanya. Ternyata kepala sekolahnya itu ya tetangganya sendiri, jadi tahu dia kayak apa kalau di rumah, ya lingkungannya itu emang nggak bagus," katanya.

Namun pendampingan ini dirasa kurang membuahkan hasil. Adik asuh tersebut kemudian di asuk oleh rekan Palupi. Sebagai gantinha, Palupi diarahkan kepada anak lain bernama Orlana, yang duduk di bangku kelas 1 SMP.

"Bapaknya sudah meninggal sejak 4 tahun lalu. Tinggal ibunya yang penjahit tapi harus menanggung dua anak," ungkap Palupi.

Tak berapa lama berselang, satgas dari kecamatan mengajukan satu nama lagi untuk dimintakan pendampingan kepada Palupi. Lumrahnya, satu kakak pendamping mendapatkan satu adik asuh agar dapat memberikan pendampingan secara terfokus. Tetapi di lapangan, jumlah adik asuh jauh lebih banyak dari jumlah kakak damping.

"Yang kedua ini namanya Aulia (6). Bapaknya juga baru meninggal satu tahun lalu, kecelakaan. Kalau ibunya itu mengalami gangguan mental, jadi kadang kenal anaknya kadang nggak. Aulia nangis gitu ya didiemin," cerita Palupi.

Sang ibu juga masih berobat jalan ke RS Jiwa Menur. Kondisi ini menjadikan Aulia rentan mendapatkan pengabaian. Juga karena iba, ia pun diasuh oleh kerabat dari pihak ayah.

Tak hanya Aulia, adik Aulia yang masih berusia tiga tahun juga tinggal bersama anggota keluarga yang lain karena ketidakmampuan ekonomi keluarga dan risiko penelantaran yang tinggi.

Baca Juga: Cerita Eks Pengamen di Surabaya Berhasil Ikut Balap Sepeda Internasional

"Itu udah sejak Aulia lahir (gangguan mental, red). Mungkin karena kesulitan ekonomi jadi stres, apalagi dia nggak kerja," lanjutnya.

Menjadi seorang kakak damping diakui Palupi memang menyita waktunya. Padahal di tengah kesibukannya kuliah, ia juga aktif berorganisasi dan bekerja sebagai freelance.

"Sering pulang jam 1-2 pagi. Saya juga kayak cuma nunut mandi sama makan di rumah. Sampai ditegur sama orangtua, kowe kok nggak tau ning omah sih nduk (kamu kok nggak pernah di rumah sih dik," tuturnya sembari tertawa.

Tiap seminggu sekali, Palupi berkunjung ke kedua adik asuhnya. Kecuali jika sedang sibuk, kunjungan baru bisa dilakukan dua minggu sekali. Namun ia melakukan komunikasi secara intensif lewat anggota keluarga yang ada, yaitu telepon.

Saat berkunjung, ia biasanya memberikan bimbingan belajar dan memastikan keperluan si anak agar tetap mau sekolah, termasuk menyisipkan motivasi dalam perbincangan mereka.

Untungnya kedua orang tua Palupi juga mendukung, Walaupun sempat muncul kekhawatiran ketika Palupi terlibat dalam persoalan seperti saat menangani adik asuhnya yang kedua. Di sisi lain, gadis asal Ngawi ini menunjukkan bahwa ia mampu berbuat sesuatu untuk sesama.
Halaman 2 dari 1
(lll/ugik)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.