Briptu Ima pun menceritakan pengalamannya saat sempat mendapatkan ancaman dari kelompok bersenjata. Kala itu, ia bersama rekan-rekannya tengah berpatroli.
"Ada juga kejadian di mana saat patroli terdapat serangan dari kelompok bersenjata, dihentikan dan juga meminta imbalan secara langsung. Tapi kami coba berkomunikasi dan kami dibebaskan. Kami dibantu UN juga," kenangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sempat tersandera di dalam mobil tapi dengan komunikasi dan memberikan pengertian ke kelompok bersenjata akhirnya dibebaskan," tambahnya.
Penyerangan, kata dia, juga kerap terjadi. Bahkan ia mengenang sempat berada di tengah-tengah kelompok bersenjata yang sedang baku tembak.
"Banyak kejadian tersebut ada pleton atau kelompok berada di tengah-tengah kelompok bersenjata yang saling menembak. Jadi terjadi baku tembak dan kami berada di tengah-tengah itu tapi semua bisa pulang dengan selamat dan sehat," kata alumni SMAN 1 Sewon, Bantul, ini.
Selama bertugas, ia mendapati bahwa masyarakat di sana masih kerap membawa senjata. Namun, ada kebijakan dari UN untuk meminimalisir penggunaan senjata.
"Tapi untuk serangan senjata, penembakan, memang banyak terjadi. Bahkan masyarakat di sana pada umumnya masih membawa senjata," katanya.
"Tapi dari UN mulai meminimalisir pembawaan senjata, UN melakukan untuk mengurangi itu jadi setiap kami patroli setiap orang yang membawa senjata harus disita. Tapi ini sudah kesepakatan. Tapi itu berisiko hanya saja tidak ada serangan hanya ancaman-ancaman saja yang masih sering terjadi," sambungnya.
Baginya, menjalankan misi di Afrika Tengah ini sepenuhnya misi kemanusiaan. Ia pun merasa usai pulang ke Indonesia lebih bersyukur dengan kondisi Indonesia dibandingkan keadaan di Afrika.
"Ini pengalaman yang lebih ke misi kemanusiaan. Kita harusnya banyak bersyukur dengan keadaan Indonesia. Karena di Afrika Tengah serba kekurangan, tidak ada sekolah, belanja susah, minum air susah, anak kekurangan gizi dan lain sebagainya," pungkasnya.
(rih/sip)