Arif juga menilai perlu diperhatikan juga konsekuensi yang muncul jika pemerintah memperbolehkan mudik. Menurutnya, ada beberapa konsekuensi selain yang diatur dalam draf pemerintah, yaitu potensi meningkatnya konflik untuk daerah tujuan mudik karena banyak komunitas menolak para pemudik.
Untuk itu, kata Arif, sebaiknya persetujuan dari daerah tujuan mudik juga menjadi dasar izin untuk mudik. Kalau pemudik tidak diterima komunitas tujuan mudik, jelas akan menimbulkan masalah sosial baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Potensi konflik juga akan terjadi saat arus balik. Contohnya di salah satu RT di Yogyakarta, ketua RT membuat perjanjian bagi warga diizinkan untuk mudik dengan catatan tidak boleh kembali lagi ke RT-nya sebelum wabah selesai," lanjut Arif.
Arif juga menyampaikan pernyataan bahwa adanya aturan soal pemudik berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan 'dapat' dikarantina 14 hari itu bersifat bias. Itu pun dengan catatan pemudik pulang pada 15 hari sebelum hari raya. Karena, jika tidak, pemudik malah akan menghabiskan waktu Lebaran di dalam karantina.
"Seharusnya kata 'dapat' diganti diganti 'wajib' dan pemerintah juga harus menerbitkan petunjuk teknis karantina warga pemudik itu beserta insentif fasilitas karantina. Sampai kampung dikarantina 14 hari di sebuah tempat karantina misalnya di tempat yang telah disediakan pemerintah," urainya.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan jangan sampai ormas dan tokoh agama diminta meyakinkan warga untuk tidak mudik, sementara pemerintah sendiri membolehkan dan tidak melarang warga mudik.
"Kalau memang pemerintah mengizinkan warga mudik, biarlah tokoh agama berhenti mengimbau warga, sehingga segala urusan COVID-19 menjadi sepenuhnya urusan pemerintah," katanya.
(sip/ams)