Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sedang mengajukan praperadilan atas status tersangka kasus korupsi Rp 46 miliar. Prof Hibnu Nugroho menegaskan seorang buron tidak bisa mengajukan praperadilan.
"Status buron tidak dapat melakukan praperadilan," kata guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu saat berbincang dengan detikcom, Rabu (26/2/2020).
Pendapat Hibnu dilontarkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 yang ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 23 Maret 2018, buron dilarang mengajukan praperadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika permohonan praperadilan tersebut tetap dimohonkan oleh penasihat hukum atau keluarganya, maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima," demikian bunyi SEMA itu.
Surat Edaran tersebut dibuat untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pengajuan praperadilan bagi tersangka berstatus buron. Mengapa lahir SEMA itu?
"Dalam praktik peradilan akhir-akhir ini, ada kecenderungan permohonan praperadilan diajukan tersangka dalam status DPO. Akan tetapi, hal tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-undangan," demikian tertulis dalam Surat Edaran itu.
Simak Video "Jejak Kelam Eks Sekjen MA Nurhadi 'Si Buronan' KPK"
Praperadilan Nurhadi vs KPK seharusnya digelar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Senin (24/2) kemarin. Namun PN Jaksel menunda dua pekan karena KPK sebagai termohon tidak hadir.
Nah, versi pengacara Nurhadi, Maqdir Ismail, praperadilan yang diajukan kliennya tidak bisa masuk rumusan SEMA Nomor 1 Tahun 2018. Alasannya, praperadilan didaftarkan ke PN Jaksel sebelum Nurhadi menjadi buron.
"KPK harus juga menghargai dong upaya praperadilan yang diajukan Pak Nurhadi, Rezky, dan Hiendra. Jangan tiba-tiba KPK memasukkan sebagai DPO (daftar pencarian orang). Praperadilan kan hak tersangka, harusnya juga hak itu dihargai sama penyidik," kata Maqdir.
Sebagaimana diketahui, Nurhadi ditetapkan jadi tersangka korupsi karena menerima gratifikasi-suap senilai Rp 46 miliar. Korupsi itu diduga terkait kasus sengketa perdata hingga perwalian. KPK menduga korupsi itu diterima sepanjang Nurhadi menjadi Sekretaris Mahkamah Agung (MA) atau setidak-tidaknya saat menjadi PNS di Mahkamah Agung (MA).