"Karena ada permasalahan yang sifatnya mendiskreditkan warga atau nonmuslim dan karena sudah melanggar peraturan undang-undang, kami sepakat aturan itu (pendatang nonmuslim dilarang bermukim di Dusun Karet) kami cabut. Serta permasalahan sama Pak Slamet sudah tidak ada," ujar Kepala Dusun Karet, Iswanto, saat dihubungi wartawan, Selasa (2/4/2019).
Lanjut Iswanto, perihal rencana kepindahan Slamet dari Dusun Karet tidak bisa dihambat oleh warga. Dengan dicabutnya aturan ini, tak ada juga alasan yang menghalangi Slamet untuk pindah dari rumah yang disewanya seharga Rp 4 juta per tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masalah tinggal, karena Pak Slamet sudah mau pindah dan punya tempat lain, itu terserah. Yang jelas, aturan sudah dicabut karena pertimbangan dari kami aturan tidak tidak sesuai dengan UUD 1945," ucapnya.
Iswanto mengatakan aturan tersebut bermula saat 30 warga berkumpul dan membuat kesepakatan. Hal itu dikarenakan permasalahan pemakaman di Dusun Karet.
"Peraturan itu dibuat tahun 2015 karena pertama kali masalah makam dan merembet ke masyarakat. Maksudnya dari warga gitu karena belum ada nonmuslim yang dimakamkan di situ, jadi maksud warga saat itu mengantisipasi saja sebetulnya," katanya.
Seperti diketahui bersama, seorang pemeluk agama Katolik, Slamet Jumiarto (42), harus mencari rumah kontrakan baru karena terbentur aturan RT 08 Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul. Khususnya aturan yang mengatur bahwa orang non-Islam dilarang tinggal di dusun tersebut.
![]() |
Warga asli Semarang, Jawa Tengah, yang sudah ber-KTP Yogyakarta ini menceritakan awalnya ia mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal keluarga kecilnya. Akhirnya, bapak dua anak ini menemukan iklan rumah kontrakan dari medsos.
Mengingat harga sewa rumah yang ditawarkan Rp 4 juta per tahun, Slamet pun menghubungi pengiklan rumah kontrakan tersebut. Setelah menghubungi dan tercapai kesepakatan, Slamet mulai memboyong barang-barang dari rumah kontrakan sebelumnya di Kota Yogyakarta ke rumah kontrakan barunya.
"Pindah ke sini (Dusun Karet) karena lebih luas dan harganya lebih murah. Terus hari Sabtu (30/3) saya mulai menempati rumah ini," ujar Slamet saat ditemui di rumah kontrakannya, RT 08 Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Selasa (2/4).
"Sebelum menempati (rumah kontrakan), kita juga konfirmasi dulu kepada pemilik rumah dan yang mencarikan (rumah kontrakan) kalau saya nonmuslim, dan katanya (calo dan pemilik rumah kontrakan) tidak apa-apa nonmuslim," imbuhnya.
Pria yang sudah 19 tahun berdomisili di Yogyakarta ini melanjutkan, karena perbedaan agama tidak dipermasalahkan, keesokan harinya, Minggu (31/3), Slamet menemui Ketua RT 08 Dusun Karet. Hal itu untuk meminta izin bahwa ia dan keluarganya menempati rumah kontrakan tersebut.
"Hari Minggu saya menemui Pak RT (RT 08) untuk izin dan sekalian memberikan fotokopi KTP, KK, dan surat nikah. Tapi begitu dilihat (fotokopi KTP, KK, dan surat nikah) dan tahu kami nonmuslim, kami ditolak (tinggal di rumah kontrakan) sama Pak RT," ucapnya.
Karena penolakan tersebut, keesokan harinya, Senin (1/4) Slamet berupaya menemui ketua kampung setempat. Namun upayanya tidak membuahkan hasil dan Slamet beserta keluarganya tetap ditolak tinggal di RT 08 Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul.
"Baru kali ini dan di tempat ini (Dusun Karet) saya mendapatkan penolakan hanya gara-gara nonmuslim, karena pas ngontrak di Kota (Yogyakarta) tidak ada masalah. Terus saya rasa ini ironis dan aneh ya, karena harusnya intoleransi seperti ini perlu dihindari supaya di mata nasional Yogyakarta dipandang baik," kata Slamet. (sip/jbr)