Pada akhirnya proyek itu disetujui. Namun proyek itu justru membawa mereka ke balik jeruji. KPK menyebut para anggota DPRD Kota Malang diduga menerima duit suap Rp 700 juta dan gratifikasi Rp 5,8 miliar.
Sekda Malang Wasto turut dipanggil KPK sebagai saksi dari kasus korupsi massal yang ditangani KPK, Jumat (31/8/2018) lalu. Pemanggilan Wasto terkait jabatannya di tahun 2015, yakni sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Malang. Sebelumnya Wasto menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang.
Sementara Kota Malang memiliki beragam model yang dijalankan. Paling bombastis adalah pengelolaan sampah dengan sistem Sanitary Landfield di TPA Supiturang di Mulyorejo, Sukun, Kota Malang.
Sejak 2012, Wasto selaku Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang merencanakan perluasan lahan TPA Supiturang, sebagai bentuk komitmen Pemkot Malang dalam kerjasama bersama perbankan Jerman tersebut.
Subur Triono salah satu dari 5 anggota DPRD Kota Malang yang lolos korupsi massal mengungkap, jika proyek pengelolaan sampah bekerjasama dengan Jerman tersebut, pernah dibahas di DPRD sebanyak dua kali. "Kalau tidak salah, dulu ditolak," ungkap Subur.
Lantas seperti apa sih pengelolaan sampah dengan sistem ini?
Kepala UPT TPA Supit Urang, Turut Setiaji menjelaskan, Kota Malang salah satu dari sekian daerah di Indonesia yang terpilih untuk menjalankan proyek tersebut. Selain Kota Malang, ada pula Jombang, Sidoarjo dan Jambi.
"Yang sekarang sudah jalan adalah Jambi, kita (TPA Supit Urang), baru mobilisasi peralatannya. Rencana pada 2020 nanti, baru akan berjalan," ungkap Turut saat berbincang dengan detikcom, Rabu (5/9/2018).
Sebagai daerah yang terpilih, Kota Malang dituntut harus memenuhi komitmen berupa penyediaan lahan hingga seluas 30 hektare. Area TPA Supit Urang yang berada di Mulyorejo, Sukun, Kota Malang sendiri sudah terbatas karena overload sehingga pemkot sempat melakukan perluasan TPA hingga memenuhi persyaratan. Area TPA Supit Urang saat ini hanya seluas 15 hektare.
Menurut Turut, Pemkot Malang telah menyediakan lahan untuk pengelolaan sampah dan kini area seluas 16 hektare sudah disiapkan.
"Kami sudah siap lahannya. Nanti di situ digunakan pengelolaan dengan sistem sanitary. Sekarang pengelolaan yang dilakukan adalah control landfill. Jadi dalam pengelolaan sampah ada dua macam, yang paling baik adalah sanitary landfill itu," beber Setiaji.
Sederhananya, jelas dia, sistem pengelolaan sampah sanitary landfill adalah menimbun kumpulan sampah yang dibawa ke TPA Supit Urang kemudian menimbunnya dengan tanah. Dalam kurun waktu yang ditentukan, timbunan sampah itu akan mengeluarkan gas metana yang bisa menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik.
Bedanya dengan sistem control landfill adalah dalam sistem ini, sampah yang dibawa ke TPA hanya ditumpuk begitu saja.
"Sistem gampangnya begini, kita membuat lubang besar, sampah sudah dipilah dimasukkan dan diuruk dengan tanah. Beberapa kurun waktu akan mengeluarkan gas metana," ujarnya.
Namun selain menyiapkan lahan, Pemkot Malang juga harus mampu mendapatkan tanah untuk menimbun sampah-sampah itu. "Masalahnya kita juga harus siap tanah uruk juga," tandasnya.
Sayangnya sebelum terealisasi, KPK menyebut proyek ini menjadi biang di balik korupsi massal yang dilakukan sejumlah anggota DPRD Kota Malang. Para wakil rakyat ini diduga menerima gratifikasi terkait proyek tersebut sebesar Rp 8,5 miliar.
Saksikan juga video 'Ironi 41 Anggota DPRD Malang Jadi Tersangka Korupsi':
(fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini