Namun tekad untuk menjadi tamu Allah sudah cukup memotivasi mereka mengumpulkan pundi demi pundi uang yang mereka punya untuk ditabung.
Berikut perjuangan sejumlah calon jemaah haji asal Jatim yang patut menjadi teladan, seperti dirangkum detikcom, Kamis (2/8/2018).
1. Pasangan penjual es tebu
Foto: Enggran Eko Budianto/File
|
Sehari-hari pasangan ini berjualan es tebu di Taman Keplaksari, Peterongan. Rata-rata penghasilannya sehari mencapai Rp 60 ribu. Sedangkan di hari libur, keuntungan yang mereka peroleh mencapai Rp 100-125 ribu.
Di sela-sela itu, Muchlisah mulai menyisihkan uang untuk ditabung sebagai dana haji. Nilainya tak besar, hanya berkisar Rp 500, Rp 1.000, Rp 5.000, Rp 10 ribu dan Rp 20 ribu.
Terkadang rezeki datang ketika Chamid diminta menjadi sopir. "Alhamdulillah rezeki selalu ada. Kadang suami saya diminta mengantar orang (sebagai sopir, red). Kalau suami berangkat, saya yang berjualan es tebu," ungkap Muchlisah.
Mereka juga harus berhemat untuk memenuhi biaya sekolah dan kebutuhan harian mereka. Bahkan untuk makan, tak jarang Muchlisah hanya bisa menyisihkan anggaran sebesar Rp 20-30 ribu/bulan.
Namun warga Dusun Kembeng, Desa Kepuhkembeng, Peterongan Jombang ini akhirnya bisa mendaftar haji di tahun 2010 dan melunasinya 8 tahun kemudian.
2. Nenek penjual bunga kenanga
Foto: Erliana Riady/File
|
Jika bunga kenanga sedang musim, warga Dusun Domot, Desa Purwokerto, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar itu bisa mengumpulkan sebanyak 2 kuintal bunga kenanga. Namun jika musim hujan tiba, ia hanya bisa menyetorkan sekitar 10 kg bunga kenanga kepada pengepul.
"Sedikit-sedikit saya kumpulkan di bawah karpet. Kalau bisa nabung Rp 20 ribu yang ditabung tiap hari. Kalau nggak bisa segitu, ya seadanya. Pokok harus ada yang disisihkan," jelasnya.
Setelah uang terkumpul seharga satu gram emas, uang tabungan itu dibelikan perhiasan. Begitu seterusnya hingga berat perhiasan yang dimilikinya senilai Rp 35 juta. Hal ini dilakukan Marsiyem selama kurang lebih 20 tahun.
Uang yang berhasil terkumpul dari tabungan puluhan itu kemudian digunakan Marsiyem untuk membayar uang muka pendaftaran haji.
"Saya didaftarkan cucu saya. Tahun 2010 itu bayar Rp 25 juta. Sekarang tinggal melunasi yang Rp 11,1 juta," katanya.
Biaya haji ibu satu anak itu pun dilunasi dengan cara yang sama. Dan kini ketekunan nenek Marsiyem pun berbuah manis.
3. Abdi dalem pondok
Foto: Deni Prastyo Utomo/File
|
Di sela-sela itu Fatoni menjadi guru gaji dari rumah ke rumah namun tak pernah memasang tarif kepada orang yang membutuhkan jasanya untuk mengajar. Sementara itu, sang istri berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak di yayasan pondok pesantren yang ditinggalinya.
Meski sadar akan keadaan ekonominya, suatu ketika Fatoni mencoba memberanikan diri untuk menanyakan biaya naik haji kepada salah satu putra kiainya, sekitar 8 tahun yang lalu.
"Gus, saya ingin haji. Tapi kalau kegiatan (pengabdian, red) saya bisa menjadi putus karena untuk biaya haji, maka lebih baik saya tidak jadi berhaji," tutur Fatoni kepada putra kiainya tersebut seperti dikisahkan kepada detikcom beberapa waktu lalu.
Fatoni akhirnya disarankan untuk mendaftar haji terlebih dahulu sembari menunggu ridho Allah.
"Allah pasti akan memberikan jawaban, baik atau buruk," katanya menirukan jawaban putra sang kiai.
Sesampainya di rumah, Fatoni lantas menyodorkan dua buku tebal kepada sang istri. Ternyata buku-buku itu adalah tabungan Fatoni. Tiap kali mendapatkan rezeki, ia menyelipkan uang yang diperolehnya di sela-sela buku. Ternyata setelah dihitung, jumlah uang yang diselipkan di buku selama bertahun-tahun itu mencapai Rp 50 juta.
"Uangnya sudah banyak yang jamuran," ujar Nasifah.
Namun Fatoni tak pernah ingat berapa lama ia sudah 'menabung'. Uang itu kemudian dipergunakan untuk membayar biaya pendaftaran haji untuk berdua.
Menariknya, saat Fatoni membutuhkan biaya untuk melunasi pembayaran biaya hajinya. Saat itu, Fatoni mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka.
"Waktu itu saya ngasih uang Rp 50 ribu pada anak yatim. Tidak lama setelah itu, ada orang yang minta saya datang ke rumahnya, saya dikasih amplop berisi Rp 15 juta. Alhamdulillah bisa buat menutup biaya haji," tutupnya.
4. Buruh tani
Foto: Charolin Pebrianti/File
|
"Dari dulu saya nabung, sedikit-sedikit hasil dari buruh tani," terangnya.
Selain menjadi buruh tani, Supinah juga berkenan jika diminta menjadi juru masak hajatan atau membersihkan ladang milik orang lain.
"Kerjaan apa saja saya ambil yang penting dapat uang halal, masak nasi di hajatan pun bisa saya, buruh tani nanam kacang atau padi saya juga bisa," tuturnya.
Dalam sehari warga Desa Ngrupit, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo ini mengaku mampu mengumpulkan uang Rp 70 ribu. "Lalu saya ambil buat belanja untuk makan, sisanya saya tabung buat naik haji," ungkapnya. Yang disisihkan untuk tabungan haji sebanyak Rp 10-30 ribu.
Setelah akhirnya lunas, Supinah baru mendaftar haji pada tahun 2010 silam. Butuh waktu sekitar 28 tahun bagi Supinah untuk bisa mewujudkan mimpinya menjadi tamu Allah.
5. Buruh irigasi
Foto: M Rofiq/File
|
Rasanya hampir mustahil bisa naik haji dengan penghasilan Ju'an sebagai buruh irigasi sawah. Namun kakek asal Probolinggo ini membuktikan ia mampu mewujudkan mimpinya itu.
Warga Desa Opo-opo, Kecamatan Krejengan ini mengaku hanya dapat upah setelah panen atau setiap empat bulan sekali.
"Sebetulnya kalo diliat dari penghasilan saya perhari mustahil pak, karena upah mengatur irigasi sawah tak tentu. Saya baru bisa dapat upah, setelah masa panen atau setiap empat bulan sekali," ungkapnya.
Namun kakek berusia 76 tahun itu bertekad untuk bisa menyisihkan sebagian penghasilannya. Dengan sistem bagi hasil, maka Ju'an bisa mendapatkan upah mencapai Rp 2 - 2,5 juta yang diberikan empat bulan sekali.
Bila dibagi perbulan, maka Ju'an hanya bisa menyisihkan uang Rp 500 ribu untuk biaya hidup. Untuk itu, yang disisihkannya untuk tabungan haji pun tak tentu.
"Agar uangnya cepat terkumpul ya makan seadanya saja. Cukup sayur pak, tanpa nasi atau lauknya tempe tahu saja," ujarnya.
Hingga akhirnya biaya haji Ju'an dapat terbayarkan lunas setelah 9 tahun menabung. Untuk menguatkan niatnya, Ju'an pun mengaku rajin salat malam. "Salat malam tiap hari, biar niat saya beneran terwujud," tambahnya.
6. Penjual susu segar keliling
Foto: Suparno/File
|
Berbekal sepeda motor, Muadji telaten berkeliling dari kampung ke kampung di sepanjang Gedangan hingga Buduran. Dalam sehari, ia mampu menjual 30-45 liter yang dikemas dalam plastik.
"Keuntungan dari penjualan susu sapi ini tidak banyak, hanya Rp 30 ribu sampai Rp 45 ribu perhari," ungkapnya.
Namun warga Jalan Citra Kancil RT 4 Rw 1, Desa Sidokepung, Kecamatan Buduran, Sidoarjo itu lantas mulai merajut mimpinya naik haji dengan menyisihkan hasil penjualannya, walaupun tak banyak.
Dalam sehari, Muadji menyisihkan Rp 10.000. "Dengan kesepakatan istri akhirnya setiap hari menyisihkan Rp 10 ribu dari keuntungan menjual susu," lanjutnya.
Beruntungnya Muadji, di tahun 2006, ia mendapatkan modal untuk mendaftar sebagai calon jemaah haji dari arisan. Setelah ditambahkan hasil tabungannya, ia pun bisa pergi bersama sang istri menjadi tamu Allah.
Setelah itu, Muadji semakin giat untuk menabung. "Alhamdulillah dengan pertolongan Allah ternyata bisa berangkat ke tanah suci. Apalagi setelah menunggu selama 12 tahun, baru tahun 2018 terlaksana," ujarnya.