"Kami keberatan karena pertimbangan hukum PT DKI telah menempatkan posisi klien kami sebagai pelaku utama tanpa pertimbangan yang cukup, sedangkan di sisi lain PT DKI tetap menyatakan secara tegas bahwa klien kami adalah justice collaborator (bahkan PT DKI tegas mengambil alih semua pertimbangan hukum Putusan Tingkat Pertama, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.100/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst )," tutur kuasa hukum Andi Narogong, Samsul Huda, kepada wartawan, Rabu (9/5/2018).
"Hal itu jelas merupakan pertimbangan hukum yang saling bertentangan secara diametral. Mengingat berdasarkan SEMA No.4/2011 seorang justice collaborator sudah pasti bukan seorang pelaku utama," imbuh dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lagipula, klien kami memang bukan pelaku utama, sebab yang bersangkutan bukan pejabat yang memiliki kewenangan untuk menyusun maupun mengendalikan proses penganggaran dan juga dalam pelaksanaan pekerjaan proyek e-KTP. Klien kami juga tidak punya hak untuk mengurus maupun dilibatkan langsung, karena sepenuhnya menjadi urusan pemenang lelang, ic Konsorsium PNRI," tutur dia.
Baca juga: Akhir Drama Novanto: Vonis 15 Tahun Penjara |
Menurut dia, kliennya juga ditetapkan justice collaborator terhadap perkara ini, namun hukuman Andi Narogong diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bahkan, Andi Narogong tidak mendapatkan keuntungan besar seperti pihak Kemendagri, DPR dan konsorsium.
"Bahwa klien kami bukan pelaku utama, dan klien kami telah ditetapkan sebagai justice collaborator baik oleh KPK, Pengadilan Tingkat I, maupun Pengadilan Banding. Jika kenyataan sebagai Justice Collaborator dipandang sebelah mata oleh Pengadilan Banding, itu sama nilainya dengan 'menganggap sebelah mata'. Keterangan yang sangat berguna yang signifikan membantu membuat terang peristiwa yang ada, dan hal ini pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata untuk mengelak dari tanggung jawab oleh orang lain yang peranannya jauh lebih besar," jelas dia. (fai/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini