Ombudsman: Usulan Polisi Pj Gubernur Maladministrasi, Perlu Dicabut

Ombudsman: Usulan Polisi Pj Gubernur Maladministrasi, Perlu Dicabut

Danu Damarjati - detikNews
Senin, 29 Jan 2018 17:43 WIB
Komisioner Ombudsman RI Ahmad Suaedy dan Laode Ida dalam jumpa pers (Foto: Danu Damarjati/detikcom)
Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar jenderal polisi menjadi penjabat (Pj) gubernur itu sebagai bentuk maladministrasi alias menyalahi aturan. Maka usulan itu perlu segera dicabut.

"Mendagri sedang memberikan kesempatan kepada polisi untuk berpolitik," kata komisioner Ombudsman, Ahmad Suaedy, di Gedung ORI, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (29/1/2018).


Suaedy mengadakan jumpa pers bersama komisioner Laode Ida. Keduanya merujuk pada keterangan tertulis dari Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai. Isi dari keterangan tertulis itu adalah bantahan semua argumen Mendagri Tjahjo Kumolo yang dipahami Ombudsman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ombudsman memahami usulan Tjahjo didasari oleh Pasal 34 ayat (2), UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ada pula Pasal 86 ayat (5), UU Nomor 23 Tahun 2014 yang memungkinkan presiden menetapkan penjabat yang diusulkan menteri.


Tjahjo, menurut pemahaman Ombudsman, juga berargumen bahwa langkah menunjuk polisi sebagai penjabat baru diributkan saat ini, padahal sebelummya langkah ini sudah pernah dilakukan yakni menempatkan Irjen Carlo Brix Tewu sebagai penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada Pilkada 2017 lalu. Tjahjo juga beralasan bahwa pejabat di lingkungan Kemendagri disibukkan oleh tugas rutin sehingga perlu pejabat dari luar Kemendagri.

Tjahjo, berdasarkan keterangan yang diterima Ombudsman, juga curiga pejabat pimpinan tinggi madya di provinsi rawan menyalahgunakan wewenang untuk Pilkada. Tjahjo juga mendasarkan legitimasi kebijakannya pada Revisi Permendagri Nomor 76 Tahun 2016 menjadi Permendagri Nomor 1 Tahun 2018. Permendagri terbaru membolehkan penjabat diisi oleh pejabat dari luar Kemendagri.

"Perubahan Permendagri secara sekonyong-konyong ini perlu dicurigai sarat kepentingan," ujar komisioner Ombudsman, Laode Ida, di sebelah Suaedy.


"Kami bersepakat meminta Mendagri membatalkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 itu dan mengembalikan ke Permendagri Nomor 76 Tahun 2016," sambung Laode Ida.

Adapun Amzulian berpandangan usulan Menteri Tjahjo adalah wujud dari maladministrasi. Pertama, Tjahjo melanggar UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 201 ayat (10) UU itu menyatakan pengisian kekosongan jabatan Gubernur diambilkan dari penjabat yang berasal dari jabatan pimpinam tinggi madya. Pimpinam tinggi madya bukanlah termasuk polisi di dalamnya.

"Ketentuan ini sebenarnya sudah dicakup dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, yang tiba-tiba direvisi," kata Amzulian.


"Perlu diduga ada kepentingan politik terselubung (hidden political agenda) di balik perubahan (Permendagri) itu," imbuh Amzulian.

Selanjutnya, usulan ini juga berpotensi melanggar UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pada Pasal 38 ayat (3) diatur anggota Polri bisa menduduki jabatan di luar kepolisian asalkan sudah mengundurkan diri atau pensiun dari Polri.

Usulan Tjahjo juga dinilai melanggar konvensi yang sudah sering dipraktikkan, bahwa Plt atau Pj jabatan kepala daerah selalu diisi pejabat lingkungan Kemendagri. Usulan Tjahjo juga dinilai telah menimbulkan kegaduhan.


"Maka Ombudsman meminta agar Mendagri Tjahjo Kumolo segera melakukan tindakan korektif dengan mencabut Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 dan sekaligus tak lagi mengembuskan wacana untuk mengangkat figur-figur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Amzulian.

"Presiden Joko Widodo menertibkan para pejabat bawahannya agar tidak lagi membuat kebijakan yang kontroversial," tandasnya. (dnu/jbr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads