Pemerintah cq. Kementerian Pertanian RI telah merelease berita gembira. Produksi beras nasional tahun 2025 diproyeksikan mencapai 34 juta ton. Data proyeksi produksi beras sejumlah tersebut tidak hanya bersumber dari data resmi BPS, tetapi juga dari FAO (35 juta ton) dan US$ (34,5 juta ton). FAO dan USDA adalah lembaga yang sangat kredibel. Kedua lembaga ini telah merelease data prakiraan produksi beras Indonesia pada bulan April 2025.
Tentu kita semua patut bangga dan harus mengapresiasi - angkat topi tinggi berhormat kepada pemerintah khususnya Kementerian Pertanian RI beserta seluruh jajarannya yang dipimpin oleh 'Mister Clean' Dr. Andi Amran Sulaiman. Berkat kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlasnya selama hampir setahun ini, fakta dan bukti produksi beras nasional mencukupi kebutuhan dalam negeri tersaji di hadapan kita.
Prestasi ini juga ditunjang oleh iklim dan cuaca yang kondusif. Tahun 2025 ini, Indonesia tidak perlu impor beras lagi. Cadangan pangan pemerintah berupa beras yang dikelola oleh Bulog juga sangat tinggi, lebih dari 4 juta ton, pada tahun 2025 ini.
Di sisi lain, kita pun mendengar dan membaca berita adanya keluhan sebagian dari masyarakat terhadap harga beras yang naik tinggi. Penggilingan padi skala kecil di desa desa diberitakan banyak yang mati, tutup, bangkrut dan gulung tikar. Sungguh ironi dan paradoks. Ada apakah gerangan ? Mengapa hal ini terjadi ?
Dibalik melimpahnya produksi beras nasional, memang tersimpan kenyataan pahit. Masih ada ribuan penggilingan padi kecil yang sedang mati pelan-pelan. Dari total serapan gabah nasional sebesar 65 juta ton per tahun, penggilingan kecil yang jumlahnya mencapai 161 ribu unit hanya mampu menggiling 25 juta ton - setara 21% dari kapasitas mereka. Sebaliknya, penggilingan skala sedang (7.332 unit) dan skala besar (1.058 unit) justru menguasai lebih dari 60% produksi gabah nasional dengan tingkat utilisasi di atas 70%. Penggilingan padi skala kecil kalah bersaing dalam mendapatkan gabah dari petani.
Kesenjangan ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin ketimpangan struktural di jantung industri pangan nasional. Pasar yang seharusnya menjadi ruang keadilan dan keseimbangan kini berubah menjadi arena monopoli terselubung.
Korporasi besar yang diwakili penggilingan Rice Mills Unit (RMU) modern skala besar mampu dengan mudah menyedot gabah petani, mereka juga dapat menentukan harga (price maker), menguasai rantai distribusi, dan bahkan mampu menentukan momentum pasar sesuai kepentingan mereka.
Itu juga dampak kebijakan menaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tapi Harga Eceran Tertinggi (HET) tetap, sehingga margin HET - HPP mengecil. Persaingan industri perberasan makin tajam. penggilingan kecil kalah. oplosan makin marak. HPP naik tanpa rafaksi lagi, ini menyebabkan kualitas gabah petani turun.
Penurunan kualitas gabah petani menyebabkan biaya pengolahan gabah menjadi beras makin mahal, pelaku penggilingan kecil makin terjepit, inilah yang menyebabkan penggilingan padi kecil gulung tikar.
Inilah akar dari persaingan tidak sehat yang kini menjerat sektor pangan khusus beras. Ketika penggilingan kecil tidak lagi berdaya, harga gabah di tingkat petani menjadi mudah ditekan, sementara harga beras di pasar tetap tinggi.
Celah inilah yang dapat dimanfaatkan oleh segelintir pelaku besar untuk mengendalikan pasokan dan mempermainkan harga - bukan karena kekurangan beras, tetapi karena kekuasaan atas distribusi. Mungkin fenomena inilah yang suatu ketika Presiden Prabowo menyebutnya sebagai bentuk 'Serakahnomic'.
Itulah sebabnya, penindakan terhadap praktik beras oplosan yang dilakukan pemerintah saat ini memang langkah yang tepat. Namun efeknya di lapangan menunjukkan gejala lain: beras mendadak hilang di pasar, harga naik, dan publik dibuat bingung.
Padahal faktanya, produksi beras nasional melimpah dan stok beras nasional aman. Artinya, yang bermasalah bukan petani atau penggilingan kecil, tapi korporasi besar yang mungkin bisa saja sengaja menahan distribusi untuk mengatur harga.
Kini, publik menaruh harapan besar pada Amran Sulaiman - sosok yang dikenal tegas, pekerja keras, dan berani mengambil risiko. Barangkali faktor ini pulalah Presiden Prabowo menaruh harapan lebih besar lagi kepada Menteri Pertanian, dengan ditambah lagi amanah baru sebagai Kepala Badan Pangan Nasional. Dengan amanah ganda sebagai Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pangan Nasional, Amran berada pada posisi strategis untuk memutus rantai permainan kotor korporasi pangan.
Harus diingat, beras adalah bahan pangan utama masyarakat Indonesia. Urusan beras, urusan pangan adalah urusan yang sangat vital dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sudah semestinya urusan beras menjadi urusan vital pemerintah dan tidak bisa diserahkan begitu saja kepada pihak swasta. Negara harus hadir.
Absennya peran nyata negara dalam hal pangan dan pertanian, sangatlah berbahaya bagi kedaulatan bangsa dan kelangsungan hidup bermasyarakat, serta mengancam stabilitas negara dan pemerintahan.
Langkah tegas harus diambil. Negara tidak boleh kalah oleh segelintir pemain besar yang menimbun keuntungan di atas penderitaan petani dan keresahan masyarakat. Pemetaan kepemilikan penggilingan besar, audit stok beras industri, serta pengawasan distribusi harus diperketat. Korporasi yang terbukti menimbun atau memanipulasi harga harus ditindak tanpa kompromi.
Amran Sulaiman telah membuktikan di masa lalu bahwa ia bukanlah tipe pejabat yang takut pada tekanan. Saatnya kini kebijakan pangan nasional dikembalikan kepada esensinya: menjamin keadilan bagi petani, kestabilan harga bagi rakyat, dan kedaulatan pangan bagi bangsa. Swasembada sejati bukan sekadar menghasilkan beras dalam jumlah besar, tetapi memastikan bahwa beras hasil jerih payah petani tidak dijadikan alat permainan segelintir korporasi rakus. Negara harus kembali hadir, dan di bawah kepemimpinan Amran Sulaiman, publik nampaknya menaruh harapan besar dan percaya. Ketegasan akan kembali menjadi wajah politik pangan Indonesia.
Kita tunggu langkah langkah besar Menteri Pertanian yang sekaligus Kepala Badan Pangan Nasional untuk berjihad urusan pangan. Komoditas lainnya yakni bawah putih, jagung, kedelai, gula, garam indusri, daging sapi, dan masih ada beberapa komoditas pangan lainnya menunggu tangan dinginnya untuk harus terus diperjuangkan kemandiriannya. Tabik.
Prof. Masyhuri, Pengamat Pangan Nasional, Guru Besar Purnatugas Fakultas Pertanian UGM
Tonton juga video "Mentan: Kenaikan Produksi Beras RI Diprediksi Terbesar ke-2 di Dunia" di sinii:
(akd/akd)