Kolom

KTT Sharm el-Sheikh dan Lahirnya Diplomasi Baru Indonesia

Agus Maftuh Abegebriel - detikNews
Selasa, 14 Okt 2025 12:11 WIB
Foto: Agus Maftuh bersama Ivanka Trump di forum The Arab Islamic American Summit di King Abdulaziz Convention Centre Riyadh 2017, di belakang adalah Jared Kushner. (Dok Istimewa)
Jakarta -

Tadi malam, di Sharm el-Sheikh Mesir, di tepian Laut Merah, dekat Wadi Muqaddas tempat Musa menerima ten commandments, dekat Saint Catherina, gema pertemuan dunia berpadu antara jerit anak-anak Gaza dan suara para pemimpin di ruang berpendingin.

Namun satu momen memecah keheningan diplomatik: ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump turun dari podium dan menjabat tangan Presiden Indonesia Prabowo Subianto sambil berkata, "Good Job, Indonesia is a big and powerful country."

Itu bukan basa-basi diplomasi atawa "mujamalah", melainkan pengakuan: bangsa kepulauan ini kini berbicara dengan suara sejarahnya sendiri.

Mimpi Indah Gus Dur dan Realitas Prabowo

Dalam momen itu, kekuatan bukan terletak pada otot atau senjata, melainkan pada visi. Indonesia, yang selalu memikul panji keadilan bagi Palestina, tidak mencari benturan, melainkan keseimbangan antara amarah kemanusiaan dan kebijaksanaan politik.

Terdengar kembali gema kata-kata Presiden keempat, Gus Dur:

"Buatlah Israel tidur nyenyak, baru kita bicara perdamaian."

"Let Israel sleep peacefully, then we can speak of peace."

Itu bukan kelemahan, tapi kejernihan batin seorang negarawan: perdamaian tidak dibangun di atas ketakutan, melainkan rasa aman yang setara.

Di Sharm el-Sheikh, pembahasan tentang Two-State Solution, hall ad-daulatain, kembali muncul, bukan sekadar impian, melainkan peta realistis menuju masa depan. Diplomasi baru Indonesia di bawah Prabowo tidak berhenti pada slogan; ia ingin membangun formula di mana anak Palestina hidup seaman dan senyaman anak Israel, dan Yerusalem menjadi ibu kota kemanusiaan, bukan medan anyirnya darah.

Indonesia telah menunjukkan bahwa netral non blok bukan berarti diam, dan damai tidak dicapai dengan tunduk, melainkan dengan kekuatan moral dan keberanian politik.

Dari Sharm el-Sheikh hingga Jakarta, dari Gaza hingga Tel Aviv, terdengar seruan baru: Martabat tidak dijaga dengan peluru, tetapi dengan kebijaksanaan dan keberanian yang berjalan seiring. Dignity is not guarded by gunpowder, but by the twin courage of wisdom and will.

Gus Dur pernah berkata, "Perdamaian bukan hanya slogan agama, tapi juga tanggung jawab kemanusiaan." Beliau percaya, kedamaian sejati tidak diberikan hanya kepada satu pihak, tetapi ditanamkan seperti cahaya di hati semua manusia.

Dalam pandangannya, Indonesia memiliki amanat moral untuk menjadi jembatan antara Timur dan Barat, antara Islam dan dunia, antara sejarah dan masa depan.

Inilah bentuk diplomasi yang dimulai dengan kasih sayang dan diakhiri dengan martabat. Gus Dur tidak lemah ketika memaafkan, dan tidak naif ketika tersenyum. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati adalah kemampuan untuk marah, tetapi memilih untuk lembut.
Di dunia yang bising oleh konflik, kemanusiaan membutuhkan teladan seperti itu: berani tanpa brutal, beriman tanpa fanatik.

Dari Sharm el-Sheikh hingga Jakarta, dari Yerusalem hingga Yogyakarta, seruannya tetap satu: Sebarkan perdamaian, Spreading Peace for All, bukan sebagai hak istimewa politik, tetapi sebagai hak asasi manusia.

Indonesia hari ini tidak hanya membawa pesan kebangsaan, tapi pesan kemanusiaan universal: bahwa kekuatan harus melayani kasih sayang, dan kemuliaan sejati adalah melindungi yang lemah.

Di Balik Layar Diplomasi: Jejak Personal dan Kekuatan Soft Power

Di antara kilau lampu aula Summit Sharm el-Sheikh, ada detail yang jarang terlihat publik. Sebelum tiba di Mesir, Presiden Donald Trump dan rombongan, termasuk Ivanka Trump dan Jared Kushner, sempat singgah di Tel Aviv. Momen itu bukan sekadar transit; ini adalah strategi diplomasi berlapis, menyatukan koordinasi dengan Israel sebelum membuka dialog regional di Mesir.

Ivanka, dengan karisma yang lembut namun tegas, terlihat menjemput ayahnya. Kehadirannya bukan sekadar simbol protokoler, tetapi bagian dari soft diplomacy keluarga Trump, di mana interaksi personal menjadi pengikat politik yang jarang terekspos media. Jared Kushner, menantu Trump, berperan sebagai operator di balik layar, memastikan jalannya Summit berjalan lancar, termasuk pengaturan pertemuan dengan para pemimpin Arab dan Muslim.

Di Riyadh, di The Arab Islamic American Summit, saya sempat berdiri di antara delegasi, menyaksikan langsung bagaimana kekuatan personal dan jaringan informal membentuk ruang diplomasi. Bahkan, perbincangan singkat dengan Ivanka menunjukkan bahwa di balik sorotan kamera, hubungan manusia, senyum, gestur, kata-kata ringan, mampu membuka jalan bagi konsensus politik yang formalnya tercatat di dokumen resmi.

Pengalaman ini menegaskan satu hal: diplomasi tidak hanya tentang pidato, resolusi, atau pernyataan pers. Ia juga tentang kedekatan manusiawi, keberanian moral, dan kemampuan untuk membangun kepercayaan.

Indonesia, dengan visi Prabowo dan jejak moral Gus Dur, memasuki medan ini bukan sebagai pengikut, tetapi sebagai jembatan yang menghubungkan sejarah, kemanusiaan, dan politik.

Di Indonesia, ada pejabat tinggi RI yang sangat dekat dengan Jared Kushner, saya tidak akan sebut namanya. Saya berharap ke beliau untuk melakukan komunikasi intensif dengan Jared untuk meleadingkan dan melandingkan harapan dan mimpi indah Gus Dur, bukan untuk sensasi, tapi untuk al-qiyam al-insaniyyah, nilai-nilai kemanusiaan.

Saya tidak akan menyebut nama tokoh ini karena saya harus menghormati rambu-rambu "diplolijen" (diplomasi dan sekaligus intelijen).

Di Sharm el-Sheikh, di antara protokol dan pidato resmi, terdengar gema yang sama dengan pesan Gus Dur: kekuatan sejati adalah keberanian untuk menjaga martabat, bukan menundukkan lawan; kasih sayang, bukan amarah; dan perdamaian, bukan sekadar retorika.

Dan di momen-momen langka seperti itu, ketika dunia menyaksikan pertemuan besar, kita melihat bahwa setiap senyuman, setiap sapaan, setiap langkah manusiawi dapat menjadi bagian dari sejarah perdamaian yang abadi (eternal peace). Indah bukan?

Druwo Sewon, 14 Oktober 2025.

Agus Maftuh Abegebriel. Dubes RI untuk Kerajaan Arab Saudi merangkap OKI, 2016-2021.

Simak juga Video Eks Penasihat Senior AS: Masih 'Banyak Ketidakpastian' Usai KTT Damai Gaza




(rdp/fjp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork