Kita selalu memperingati hari lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni. Peringatan tersebut diambil dari saat Soekarno mengenalkan istilah Pancasila dalam Sidang Pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945. Hal kemudian dikuatkan dalam Keputusan Presiden 24 Tahun 2016.
Pancasila secara teoritis dan prinsipil bagi bangsa Indonesia sangat mendasar dan otentik. Sekalipun nasibnya secara praktis cukup miris. Pancasila dalam kedudukan dan fungsinya bagi bangsa Indonesia dalam banyak literatur disebut sebagai dasar filosofis/falsafah bangsa, dasar negara, ideologi bangsa, dan karakter bangsa. Sehingga kesakralan dan elan vitalnya tidak bisa diragukan dan ditempatkan pada posisi mendasar, fundamental dan total. Saya selalu berhipotesa bahwa apa yang menyatukan negara dengan keberagaman yang luar biasa ialah Pancasila. Seperti yang dikatakan Soekarno bahwa Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa terbukti ampuh kebenarannya sejauh ini.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita memperlakukan Pancasila? Penulis tidak ingin terlalu jauh. Penulis memfokuskan pada bagaimana Pancasila itu diperlakukan dalam ruang pendidikan. Oleh karena itu, tulisan ini lebih ditujukan sebagai refleksi pendidikan yang kita peringati setiap bulan Mei. Alasan lainnya adalah sebuah keyakinan bahwa Pancasila akan hidup dalam tataran struktural dalam bentuk kebijakan tatkala Pancasila sudah berhasil secara kultural dan alam pikiran secara filosofis. Sehingga kritik terhadap dimensi pendidikan merupakan hal sederhana namun penting.
Sependek pemahaman saya ialah bahwa Pancasila terdiri atas nilai dan prinsip sangat filosofis. Filosofis dalam arti Pancasila merupakan hasil refleksi dan dialogis mendalam sehingga menghasilkan rumusan dan muatan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan, serta keadilan dalam format Pancasila yang sangat tertata dengan baik. Dalam Sejarah diceritakan bahwa Soekarno sebelum mengenalkan istilah Pancasila melakukan kontemplasi mendalam. Demikian juga untuk selanjutnya, Pancasila mengalami fase-fase perdebatan mendalam sebut saja misalnya dalam Piagam Jakarta (22 Juni 1945) dan dalam Badan Konstituante. Oleh karena itu, untuk saat ini seyogya pendidikan dan pengajaran Pancasila tidak segampang dan sesederhana yang dibayangkan.
Sebagai hasil pemikiran filosofis mendalam, Pancasila juga dan hanya bisa diajarkan melalui pendidikan secara filosofis. Dengan kata lain, kekuatan dan nilai luhur Pancasila hanya bisa diekstrak jika dikaji secara mendalam dan melalui metode ilmiah yang terstruktur dan mendalam (filosofis) serta diajarkan dalam ruang-ruang alam pikiran yang terbuka dan dialektis.
Ini merupakan kesenjangan paradoks terjadi di masyarakat. Menurut hemat saya, Pancasila belum diajarkan secara filosofis secara kebanyakan. Pancasila hanya diajarkan secara hafalan dan diucapkan secara verbal. Semua orang tahu Pancasila tapi belum tentu paham Pancasila. Hingga pada praktiknya Pendidikan Pancasila bukan hal menarik dan utama bagi siswa dan mahasiswa. Dalam kehidupan sosial, Pancasila semakin diabaikan kalau tidak ditafsirkan sesuai kepentingan bukan secara pemikiran mendalam (filosofis).
Bagi siswa dan mahasiswa pembelajaran Pancasila dianggap jenuh dan tidak ada isinya. Pancasila hanya hafalan. Siapa yang bisa menyebutkan Pancasila dianggap tahu dan paham Pancasila. Sehingga Pancasila dianggap tidak berguna dalam sosial kehidupan. Kalah saing dan gengsi dibandingkan mata Pelajaran/kuliah lainnya.
Padahal dalam hemat saya, mengingat sakral dan fundamental Pancasila, kegagalan memahaminya berakibat fatal. Kekurang pahaman matematika, kimia, dan ilmu lainnya tidak terlalu berefek luas (sosial). Kesalahan dan kegagalan memaknai Pancasila, taruhannya adalah kehidupan sosial masyarakat kalau tidak kebangsaan ke depan.
Apa yang terjadi? Pancasila belum diajarkan secara filosofis. Hal ini kita amini dari salah satu indikator di lapangan khususnya di perguruan tinggi bahwa pengajar Pancasila dianggap bisa berasal dari keilmuan mana saja asalkan dari ilmu sosial. Penulis banyak menemukan yang mengajar mata kuliah Pancasila orang sosiologi, ekonomi, antropologi, humaniora dan lainnya. Alhasil, tanpa menjengkali kedalaman keilmuan orang, nilai filosofis Pancasila kurang terselami dan belum sepenuhnya dikaji dan diajarkan secara mendalam.
Logika sederhana saya mengatakan kalaulah kita menganggap Pancasila sebagai ideologi, dasar falsafah bangsa bukankah seharusnya pembelajaran Pancasila adalah sesuatu yang sakral secara ilmiah dan logika sehingga tidak bisa asal diajarkan? Demikian juga pengajarnya bukankah harusnya adalah orang yang cinta (Philos) dan bijak (Shopia) di bidang Pancasila? Dalam artian, orang yang memang bergelut di Pancasila secara mendalam? Bukan sebaliknya menggampangkan Pancasila sehingga bisa diajarkan oleh siapa saja.
Pancasila sesuai dengan fungsi dan kedudukannya yang penting, maka pembelajaran Pancasila dan pengajarnya seyogyanya kalangan "khusus" secara keilmuan dalam arti tidak boleh diajarkan begitu saja dan siapa saja. Negara dalam hal ini Pemerintah diharapkan lebih serius untuk memperhatikan tentang siapa yang mengajarkan Pancasila khususnya di perguruan tinggi.
Perlu regulasi khusus untuk pengajar Pancasila seperti fasilitas dan pembinaan secara kontinu dan holistik. Namun hal ini perlu diatur secara hati-hati agar tidak dianggap bagian dari intervensi atas tafsir Pancasila sesuai keinginan pemerintah. Fasilitas dan pembinaan yang dimaksud ialah wadah dan kemudahan dalam mengembangkan dan mengkaji Pancasila secara mendalam dan holistik. Termasuk dalam hal perhatian pengajar Pancasila di lingkungan pendidikan perlu untuk diperhatikan. Background pengajar Pancasila harus jelas dan mendukung tidak hanya secara kualifikasi akademik namun juga personal dalam arti publikasi dan riset tentang Kepancasilaan yang dilakukan. Saya masih berharap ada asosiasi AP3KNI (Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Negara Indonesia) bisa turun hingga ke ke lapangan untuk mensosialisasikan dan menekankan pentingnya kompetensi dan kualifikasi yang tepat pengajar Pancasila.
Sebab seperti yang dikatakan di atas, Pancasila yang dianggap filosofis tidak bisa dilemparkan begitu saja. Semangat dan nilai dasar Pancasila harus tetap dijaga dan dilestarikan agar tidak berkembang tanpa arah. Soekarno pernah mengatakan bahwa Pancasila merupakan sebuah meja statis sekaligus leitsar dinamis. Bagaimana membangun dan menyinkronkan sebuah meja statis menjadi leitsar dinamis hanya bisa dijawab secara filosofis dan mendalam. Tidak bisa dilakukan dengan sekadar menghafal Pancasila.
Hal ini juga merupakan refleksi pribadi Penulis sebagai lulusan S1 dan S2 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan saat ini menjadi dosen Pancasila dan Kewarganegaraan masih perlu kehati-hatian dan masih sangat perlu belajar tentang Pancasila. Sebab Pancasila dalam pemahaman alam filosofis pribadi bersifat agung, mendalam, dan fundamental. Sehingga belajar dan belajar tentang Pancasila secara filosofis merupakan keniscayaan. Pancasila sangat kaya dan asyik untuk dikaji dan diselami. Namun bisa juga menjadi dangkal, keruh, dan jenuh jika hanya dihafal begitu saja. Tabik!
Toba Sastrawan Manik. Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan Kementerian Perindustrian RI
(imk/imk)