Senjata kesaktian Pancasila sedang diuji. Refleksi atas daya sakti Pancasila terletak pada, apakah sinar Pancasila mampu menjadi penerang "rumah gelap bangsa" Indonesia?
Sejak awal kelahiran Pancasila, Bung Karno, salah satu tokoh penggali, menyebut Pancasila sebagai laitstar atau istilah bahasa Jerman yang artinya 'bintang penuntun' revolusi Indonesia. Pelita Indonesia menuju kemerdekaan sejati, kesejahteraan, keadilan sosial, dan persatuan bangsa.
Menjadi lentera, suluh, penyinar, pedoman, dan api pandu jalan panjang Indonesia membangun. "Pancasila adalah pemersatu dan pelita hidup bangsa dalam menerangi jalan revolusinya" (Di Bawah Bendera Revolusi, 1963).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja, pasca delapan puluh tahun lahir, Pancasila tak kunjung bersinar terang menjadi "obor reformasi" bagi pemimpin, pejabat, aparat, dan warga dalam meniti jalan terjal, berliku, dan gelap ber-Indonesia.
Pancasila tak berdaya menghadapi awan gelap langit kebangsaan. Bangsa kita sedang sakit. Pancasila kuat dalam teks, digdaya sebagai dokumen konstitusi, justru keropos pada aksi. Pancasila tampil gagah ketika upacara. Mempesona ketika seremoni negara.
Syahdu dalam festivalisasi hari-hari nasional. Berwibawa ketika seremoni, terseok-seok mendongkrak martabat rakyat menuju "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila enak diucapkan, dikutip, dideklarasikan, dan dikampanyekan, sungguh sulit dihayati, dijadikan spirit, inspirasi, dan diwujudkan menjadi perilaku berbangsa dan bernegara sehari-hari.
Awan Kelabu
Pancasila adalah obor bagi kehidupan bangsa. Menjadi penyuluh kisar-kisar hidup bernegara dan titik "konsensus bersama", --meminjam bahasa Syafi'i Maarif (2009)--Pancasila tidak cukup diposisikan sebagai dokumen konstitusional.
Gus Dur, Presiden ke-4 menempatkan Pancasila sebagai landasan etis, moral dan spiritual (Islamku, Islam Anda, Islam Kita, 1999). Menjadi orientasi moral dan politik kemerdekaan bangsa sejati.
Urgensitas dan peran mulia Pancasila terasa nihil jika mengamati, melihat, dan merasakan kehidupan berbangsa saat ini. Problem krusial di semua sendi kehidupan sungguh rapuh. Kekerasan, radikalisme, dan intoleransi mewarnai wajah Indonesia. Hukum menjadi ajang transaksi.
Ekonomi bergulir dan dikuasai oligarki. Konflik sosial politik terus mengancam. Kemakmuran milik segelintir elit. Rakyat sengsara dan nestapa. Suara rakyat dibungkam, dikekang, dan semata bernilai kebisingan. Demokrasi hanya prosedural dan miskin visi kesejahteraan. Wajar, jika Pancasila dipertanyakan taji, kharisma, dan saktinya.
Reputasi korupsi juga menggerogoti kehebatan Pancasila. Merujuk pada Transparency International, Tranding Economics (29/5) melaporkan Indeks Perspeksi Korupsi Indonesia 2024 mencapai 37 poin dari 100. Nilai ini mengalami kenaikan jika dibanding tahun 2023 (34) dan 2022 (34), namun belum bisa mengejar point 2021 (38).
Indeks Korupsi di Indonesia masih jauh dari harapan. Rata-rata hanya 28,37 poin mengacu skor dari tahun 1995 hingga 2024. Poin tertinggi sebesar 40,00 poin (2019) dan poin terendah 17,00 poin (1999). Artinya, pasca reformasi Indeks Perspeksi Korupsi rata-rata masih rendah, yaitu 28,37.
Data di atas menunjukkan korupsi masih mengakar dalam kultur tata kelola negara. Pejabat dan masyarakat terjebak pada lingkar setan korupsi. Kinerja pemberantasan korupsi menjadi alarem dalam prinsip-prinsip good governance. Nilai utama Pancasila, ketuhanan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, seperti ilusi.
Transformasi politik mengalami stagnasi. Reformasi politik dan kebangsaan sangat artifisial dan setengah hati. Demokrasi tumbuh hanya pada level elektoral-transaksional, belum menembur sisi subtansi. Identitas dan ideologi partai politik kabur ditelan pragmatisme.
Partai tidak lagi menjadi inkubasi pemimpin publik, apalagi politik yang mencerahkan. Partai menjadi gerombolan gelap mesin pengeruk kekayaan negara.
Kekuasaan dikontrol oleh pemilik modal, oligarki, dan sekutu jahat politisi hitam. Partai tak lagi mampu melahirkan pemimpin publik yang kompeten, berintegritas, dan berani. Keteladanan publik redup ditelan sinar terang populisme semu.
Pemimpin hanya pandai bersolek, membangun citra, promosi dan branding, tetapi miskin kepedulian, kejujuran dan integritas. Negara miskin teladan.
Ruang publik bising bukan karena atmosfir konstruktif, seperti persilangan ide, gagasan, kontestasi narasi "membangun" yang sehat, inklusif dan rasional.
Ruang publik, sebagai arena diskusi yang bebas, rasional, inklusif, dan tanpa intimidasi sebagai tanda demokrasi substantif, seperti ajaran Habermas (1991), dalam The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society, telah beralih haluan.
Ruang publik menjadi arena pertarungan kuasa, mobilisasi masa, dan sentimen agama dan etnis primordial yang berujung pada runtuhnya jaringan ikatan sosial dan nasionalisme anak bangsa. Awan gelap politik kebangsaan ini menjadi tantangan menyalakan api sinar Pancasila.
Pancasila dalam Aksi
Pancasila bertaji dalam aksi. Upaya untuk menghadirkan nilai-nilai Pancasila tidak cukup beretorika. Butuh satu visi, satu tindakan bersama. Pancasila sejati menolak diri semata-mata sebagai dokumen, monumen, mantra, dan jargon tanpa makna.
Pancasila tentu tidak cukup menjadi ideologi, filsafat, dan naskah konstitusi kering minus aksi. Nilai-nilai Pancasila perlu menyatu pada derap gerak visi kebangsaan. Tanpa pupuk 'aksi' Pancasila tak pernah tumbuh subur menjadi pohon kebangsaan Indonesia.
Visi Pancasila; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial tidak mampu menjadi arah jika hanya berupa hitam di atas putih kertas. Menempatkan sebagai obor bangsa, misi Pancasila menjadi langkah strategis, kokoh, terencana, terukur sebagai panduan praktis menjawab keresahan demi keresahan rakyat.
Pancasila dalam aksi, memerlukan pejabat publik visioner, bermutu dan berpihak. Pejabat yang melindungi hak-hak dasar warga. Pejabat yang kebijakan, orientasi, dan sumber daya negara diabdikan untuk rakyat papa nestapa. Menjadi tempat berteduh penuh damai dan nyaman bagi warga yang tidak berdomisili.
Menjadi tempat bersandar bagi mereka-mereka yang terjebak konflik sosial-horizontal, radikalisme, dan sektarianisme sempit. Pancasila dalam tindakan adalah pandu hidup bersanding, berdamping, bersama bingkai mozaik nasionalisme. Menyatu dalam bingkai bangsa-negara. Merayakan mozaik keragaman, perbedaan, etnisitas dan pluralitas indah pelangi Indonesia.
Dalam konteks politik, inspirasi Pancasila menolak politik perpecahan, dangkal, prosedural, dan korup. Spirit Pancasila membangun demokrasi sejati, deliberatif, substantif, dan bervisi kebangsaan, kerakyatan, keadilan, dan kesejahteraan. Demokrasi berbasis kerakyatan bahu-membahu membangun negeri atas dasar kesamaan tujuan.
Pancasila tidak mengenal tirani dan diktator mayoritas atau mayoritas. Pancasila dibangun dan disinari nilai luhur bangsa, hidup rukun, dan gotong royong. Nilai kerakyatan Pancasila mensyaratkan pemimpin publik yang bijak, adil, dan berintegritas. Kerakyatan yang dipimpin oleh oligarki dan uang sungguh bentuk penghianatan terhadap asas demokrasi Pancasila.
Indonesia butuh teladan publik kompeten, peduli, jujur, dan berpihak pada kaum tidak berdaya. Bukan pemimpin populis semu, pencitraan, dan tebar pesona. Pancasila rindu pada teladan bersih dan sederhana pejabat publik. Melalui kebijakan dan program-program pro-rakyat. Semata untuk makmur dan adil bersama.
Hukum ditegakkan demi menjamin hak-hak dasar rakyat tanpa pandang bulu. Memberantas korupsi, jika ingin berhasil, dimulai dari pejabatnya. Ingat, ikan busuk dari kepalanya. Korupsi di samping abai terhadap doktrin Tuhan, juga mengkhianati nilai dasar Pancasila. Korupsi semakin menjauhkan bangsa dari destinasi keadilan dan kesejahteraan bumi Indonesia.
Menyalakan api Pancasila butuh model, panutan, dan contoh. Berpikir bersih, bertindak tegas, menolak korupsi, arogansi, dan dominasi adalah impian bersama. Di tengah krisis keteladanan, pemimpin bersih, berintegritas, dan berpihak para rakyat, seperti oase kesejukan di tengah gurun gersang berbangsa.
Bagi Pancasila, keadilan sosial bukan soal preferensi. Ia mandat konstitusional. Harus ditebus, titik. Tidak ada negosiasi. Tidak ada tawar-menawar. Pembangunan tidak boleh meminggirkan kaum miskin papa. Negara wajib melindungi rakyat lemah, miskin dan tak berdaya, hingga langit mau runtuh. Pancasila memuliakan mereka sebagai sebagai raja. Arah, orientasi, dan energi negara; kebijakan, sumber daya, dan finansial hanya untuk rakyat, sang "penguasa sejati."
Wujud nyata Pancasila terjelma pada kebijakan pro-rakyat, inklusif, redistributif, dan berkeadilan. Bagi Pancasila sejati, kesejahteraan dan keadilan bukan monopoli penguasa dan segelintir elit. Sejahtera adalah hak segenap bangsa. Itulah Pancasila.
Menjadi Solusi
Pancasila bersinar dan menyinari Indonesia ketika dipraktikkan. Khotbah, edukasi, literasi, dan jargon-jargon kampanye tidak bermakna, tanpa tindakan nyata. Pancasila "sakti" jika ditopang tiga kekuatan, yaitu tindakan, keteladanan, dan kebijakan. Nilai dan spirit Pancasila menjadi inspirasi gerak tata kelola, demokrasi, penegakan hukum, pengelolaan sumber daya alam, arah dan kebijakan ekonomi dan politik.
Keteladanan menjadi solusi atas krisis berbangsa-bernegara. Sayang, sangat sulit mencari pejabat sederhana, berkarakter luhur, berbudi, bermoral dan berakhlak di negeri religius ini. Pemimpin adalah cermin. Rakyat perlu role model nyata.
Pejabat negara yang peduli, empati dan solutif. Keteladanan leader dirumuskan secara indah oleh Price (2008), dalam Leadership ethics, sebagai bingkai persisi pada relasi integritas, etika publik, dan kepemimpinan yang efektif.
Kesaktian Pancasila terletak, apakah ia mampu menjadi instrumen kesejahteraan dan keadilan sosial atau tidak. Sakti berarti negara peduli rakyat. Kebijakan, program, anggaran, dan sumber daya digunakan "sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat." Hanya melalui ikhtiar ini, kita merawat api kesaktian Pancasila.
Maghfur Ahmad. Guru Besar Universitas Islam Negeri KH Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah.
Simak Video: Prabowo Pimpin Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya