Kolom

Meneguhkan (Kembali) Idealisme Politik

Adlan Nawawi - detikNews
Jumat, 30 Agu 2024 10:28 WIB
Adlan Nawawi (Ilustrasi: dok. pribadi)
Jakarta -

Akhir-akhir ini, publik diperhadapkan pada serangkaian peristiwa politik yang tidak sekadar sulit dicerna dengan mudah, tapi juga alot untuk dikonsumsi dengan nikmat. Kesulitan disebabkan karena berbagai analisis yang sejatinya berkorelasi linear dengan realitas, justru menyimpang jauh dari fakta. Sementara kealotan diakibatkan oleh manuver yang acapkali menggelitik nurani dan mengguncang akal sehat.

Tapi, boleh jadi, itulah kesejatian lakon politik yang sesungguhnya. Seperti yang diungkap oleh Hannah Arend (1998), politik adalah seni mengabadikan diri kepada sesama manusia. Sebagaimana layaknya seni, maka muara dari persepsi seringkali sulit diprediksi, bergantung cara pandang dan kepentingan yang mengitarinya.

Tentu saja, pandangan Arendt didasari idealisme. Langgam politik yang dijalankan dengan ideal akan melahirkan tatanan masyarakat yang hidup di atas sendi-sendi dan nilai-nilai keutamaan. Figur-figur politisi akan dikenang sebagai para pelaku yang mewariskan kebaikan bersama (common good) bagi kehidupan yang lebih baik. Pada titik itu, idealisme hendak menahbiskan realitas banal yang memenuhi ruang publik tentang politik yang hanya menukar-guling satu kepentingan dengan kepentingan lainnya.

Rasionalitas Politik

Sejarah panjang idealisme politik merujuk pada pemaknaan tentang manusia sebagai makhluk politik (zoon politicon) yang menjadi subjek penentu arah dan gerak zaman. Sejak era Yunani Kuno, Aristoteles (384-322 SM) telah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang berpolitik. Aktualisasi ke-diri-annya hanya mungkin terwujud dalam ruang polis (kota), di mana di dalamnya manusia berinteraksi dengan sesamanya.

Kota adalah ruang realitas interaktif tempat manusia-manusia berkualitas saling bertukar manfaat antara satu sama lain. Mereka yang bermukim di dalamnya adalah subjek-subjek beradab (civilized) dan berbudaya yang dihasilkan dari penggunaan rasio. Dengan demikian, manusia yang berpolitik adalah sekaligus manusia yang membedakan dirinya dengan makhluk lain, seperti binatang. Rasio menjadi instrumen berpikir dan menganalisa tentang diri dan lingkungannya.

Rasionalitas itulah yang kemudian diagung-agungkan pada masa-masa berikutnya, bahkan menjadi pembeda dengan masa lalu. Penggunaan rasio digambarkan dalam mitologi Yunani sebagai kereta yang bertolak dari kegelapan malam yang diliputi mitos menuju terang siang. Mitos diibaratkan sebagai masa lalu yang diwarnai lakon-lakon yang "tidak terjelaskan" oleh pikiran manusia. Mitos dipandang menghambat lahirnya perubahan dan kemajuan; keduanya adalah fenomena yang "dapat dijelaskan" secara rasional.

Dalam konteks politik, rasionalitas juga dijadikan sebagai rujukan kebenaran. Hanya politik yang rasional yang dianggap mampu melahirkan kebaikan. Karena itu, rasionalitas politik mengandaikan manusia politik yang memiliki arah dan tujuan kemanusiaan. Di dalamnya, janji-janji kemajuan dan kesejahteraan diyakini akan terwujud.

Tapi, pada kenyataannya, rasionalitas politik justru tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan janji-janji tersebut. Semakin kelihatan rasional, anomali pun bermunculan. Politik sebagai seni untuk mengabadikan diri, justru lebih tampak sebagai seni yang melanggengkan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Manusia-manusia politik yang rasional menjadi goyah saat berhadapan dengan realita di luar dirinya. Rasionalitas politik hanya sebatas idealisme yang rapuh dihantam arus deras pragmatisme.

Antara Cita-cita dan Fakta

Pada gilirannya, politik berada dalam tegangan antara cita-cita dan fakta. Cita-cita tentang kehidupan tertinggi yang diliputi kebaikan bersama dan keutamaan (eudaimonia) melalui peran rasio, justru menjadi mitos yang sulit dijelaskan. Bagaimana menjelaskan realita tentang negara yang memilih sistem demokrasi, namun seringkali melahirkan kebijakan yang dianggap menyengsarakan? Pun bagaimana menjelaskan tentang sistem kontestasi demokratis, tapi melahirkan figur-figur yang tidak lepas dari perilaku koruptif dan despotik? Atau, bagaimana menjelaskan janji-janji "manis" politisi yang tidak lagi berbekas saat mereka menduduki kursi?

Sejatinya, politik menghadirkan tatanan sosial yang diwarnai interaksi antarsesama manusia demi menyalurkan kecenderungan alamiahnya untuk hidup bersama, dan bertindak di dalamnya untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan secara bersama-sama. Pada praktiknya, idealisme politik kehilangan otonomi yang mampu berdiri sendiri untuk menggapai tujuannya. Rasionalitas politik menjelma sebagai arena perburuan materi, jabatan dan kekuasaan.

Mungkin itu yang menyebabkan pemikir semisal Jacques Lacan (1999) memandang rasionalitas dalam politik hanya akan menyisakan keterpisahan antara cita-cita dengan fakta. Bayangan tentang tatanan sosial dan politik rasional yang fantastik dengan janji keharmonisan, hanyalah khayalan (mirage) yang tidak berkesudahan.

Boleh jadi, saat ini, kita pun harus berkesimpulan bahwa politik yang melanggam di antara cita-cita dan fakta tidak lagi bisa diletakkan sebagai sesuatu yang berdiferensiasi atau berhadap-hadapan, melainkan justru sebagai proses yang selalu berjalan antara kemungkinan dan ketidakmungkinan, artikulasi dan dislokasi, idealisme dan realitas. Rasionalitas politik tidak berarti tentang apa yang "seharusnya" dalam politik, melainkan lebih sebagai modalitas yang mengandung berbagai "kemungkinan" saat bertemu dengan kenyataan.

Merujuk pada konstelasi politik saat ini, kiranya fenomena yang memisahkan cita-cita dari fakta itulah yang sedang terjadi. Idealisme yang sejatinya memayungi tindak-tanduknya hanya berlaku pada tataran ideal. Sementara dalam kenyataan, pragmatisme mereduksi segala kemurnian makna politik sebagai kumpulan manusia rasional, beradab dan berbudaya.

Mengembalikan Tujuan

Mungkin tidak satu pun politisi berdiri di atas panggung sambil menyuarakan tujuannya untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya. Sebab sejak awal, tujuan bersama adalah naluri kemanusiaan yang rasional. Atas nama tujuan bersama, politik tampak menjadi entitas yang menarik dan mempesona bagi siapapun yang mendengarnya. Bahkan, membuat sebagian orang bersikeras untuk meraih kekuasaan melalui jalur politik.

Tapi, setelah dukungan diperoleh, dan kekuasaan diraih, rasionalitas pun dipertanyakan. Politik "rasional" bermetamorfosis menjadi wajah yang mengerikan sekaligus menakutkan. Bagi mereka yang dikuasai dan dipolitisasi, politik adalah momok yang harus dihindari dan dijauhi, bahkan untuk sekadar dipelajari dan diperbincangkan.

Oleh karena itu, saatnya mengembalikan makna "manusia politik" yang sesungguhnya. Mereka yang berpolitik secara otonom dan mengekspresikan diri dalam polis sebagai manusia rasional. Dalam pikirannya, idealisme tidak hanya menjadi payung dalam memasuki gelanggang pragmatisme, tapi juga menuntun langkah menuju tujuan politik yang abadi. Merekalah yang sedang melakoni seni mengabadikan diri yang akan dikenang sebagai para politisi sejati.

Adlan Nawawi dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork