Kolom

"Artificial Intelligence", Pemilu, dan Ancaman Masifikasi Hoaks

Muhammad Iqbal Khatami - detikNews
Rabu, 14 Jun 2023 12:24 WIB
Ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/B4LLS
Jakarta -

Dewasa ini, sebagian dari kita mungkin linimasa atau FYP (For Your Page) media sosial-nya pernah dilalui oleh konten yang memperlihatkan Presiden Joko Widodo menyanyikan lagu Rungkad, Asmalibrasi, dan lain sebagainya. Bahkan beberapa tokoh penting lainnya juga bermunculan dengan menyanyikan berbagai macam lagu.

Ternyata, konten tersebut bukanlah konten asli, melainkan hasil pemprosesan menggunakan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, di mana suara seseorang dapat diolah dan diedit mengikuti lirik dan nada lagu tertentu. Bagi sebagian besar orang --jika tidak diberi keterangan bahwa itu adalah hasil pemrosesan AI-- boleh jadi percaya terhadap keaslian konten tersebut. Fenomena tersebut dikenal juga dengan istilah deepfake, yaitu gabungan dari istilah deep learning, yang merupakan pembelajaran mesin yang meniru cara otak manusia belajar, yakni mencontoh, dan fake (palsu).

Namun beberapa waktu lalu, Geoffrey Hinton, yang juga dikenal sebagai The Godfather of AI, dikabarkan mengundurkan diri dari Google awal Mei 2023 kemarin. Sebagai orang yang mempunyai peran besar dalam lahirnya teknologi AI, tentu berita pengundurannya mengejutkan banyak khalayak --terutama berkaitan dengan apa motifnya mengundurkan diri dan berhenti dari bidangnya tersebut.

Dalam beberapa pemberitaan, Hinton mengungkapkan beberapa kekhawatirannya terkait AI adalah banyaknya penyalahgunaan, salah satunya untuk kegiatan jahat, hingga ketakutannya terhadap pengembangan AI yang tidak terkendalikan lagi. Ia juga menghimbau masyarakat untuk mewaspadai hal tersebut, terutama penggunaan AI yang digunakan untuk memproduksi misinformasi.

Tentu kita bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya jika AI digunakan untuk kepentingan politik tertentu, terutama saat pemilu. Bukan tidak mungkin, pengeditan suara tokoh-tokoh tertentu menggunakan AI --yang awalnya hanya untuk hiburan-- bergeser dimanfaatkan untuk kepentingan negatif dalam politik.

Hal tersebut nyatanya bukan asumsi ketakutan semata. Misalnya di Amerika Serikat, belakangan tersebar video Presiden Joe Biden yang berisi pernyataan menyerang kelompok transgender pada Januari 2023 lalu. Faktanya, video itu adalah hasil kloning suara Joe Biden ketika ia berbicara mengenai pengiriman tank ke Ukraina.

Merespons fenomena tersebut, baru-baru ini para peneliti Facebook mengaku sedang mengembangkan AI yang dapat mengidentifikasi deepfake, dengan cara melacak asal konten tersebut dengan teknik reverse engineering (rekayasa balik). Meskipun, mereka juga mengaku sulit melacak deepfake seperti contoh video Presiden Jokowi yang diedit menyanyikan berbagai lagu tersebut. Sehingga, AI yang didesain untuk melawan AI tersebut memerlukan waktu untuk pengembangan.

Konsen Khusus

Berkaca pada Pemilu 2019, tentu saja untuk melawan fenomena hoaks tidak cukup hanya sebatas upaya kuratif seperti takedown konten melalui filterisasi maupun berdasarkan laporan. Apalagi menjelang Pemilu 2024 mendatang, informasi hoaks diprediksi akan lebih masif, ditambah dengan adanya perkembangan AI seperti sekarang. Sehingga, counter hoaks juga harus dilawan dengan AI agar dapat mengimbangi kekuatan AI itu sendiri.

Pemerintah perlu memiliki konsen khusus terhadap masalah ini. Misalnya dengan mencontoh Kanada dan Lithuania yang telah membentuk unit atau departemen khusus untuk memerangi hoaks. Kedua negara tersebut juga menggunakan AI untuk membantu memverifikasi dan memvalidasi kebenaran informasi dengan waktu yang cepat.

Namun, ada catatan penting yang harus diperhatikan ketika pemerintah menggunakan AI untuk memerangi hoaks. Salah satunya adalah berkaitan dengan etika. Pemerintah wajib memiliki standar khusus dan mengedepankan transparansi kepada publik terkait dengan sistem AI yang digunakan untuk memberantas hoaks tersebut. Salah satu acuan yang dapat digunakan sebagai rujukan adalah Pedoman Etika yang diluncurkan oleh UNESCO pada 2021 lalu, yang menekankan pada hak privasi, perlindungan data pribadi, dan transparansi cara kerja AI.

Penggunaan AI juga penting untuk memperhatikan klasifikasi pelabelan yang transparan dan inklusif. Misalnya saja dalam menentukan sebuah informasi benar atau tidak, tentu alat ukur yang dijadikan patokan tidak boleh diskriminatif dan hingga menjadi alat politik untuk melabeli pihak tertentu.

Upaya Preventif

Berkaca pada fenomena hoaks yang tidak dapat dilepaskan dari kontestasi pemilu, seyogianya upaya yang dilakukan tentu saja tidak cukup hanya dengan upaya kuratif seperti yang dipaparkan di atas. Namun, sangat relevan jika dibarengi dengan upaya preventif melalui pengembangan peradaban digital masyarakat Indonesia.

Hal tersebut juga menjadi tantangan besar, sebab saat ini tingkat literasi digital masyarakat Indonesia hanya sebesar 62%. Jumlah ini menjadi terendah di ASEAN di mana rata-rata tingkat literasi digital negara lainnya mencapai 70%.

Diperlukan upaya percepatan untuk mengejar tingkat literasi digital yang lebih baik, baik melalui pendidikan formal, maupun melalui program-program yang menyasar masyarakat. Selain itu, pemerataan infrastruktur digital juga penting guna memastikan akses internet merata hingga ke pelosok negeri. Dengan begitu, maka akses informasi dan kecakapan digital juga dapat merata.

Percepatan pembangunan peradaban digital tentu bukan hal yang mudah. Diperlukan kolaborasi, keseriusan dan komitmen seluruh pihak untuk mewujudkan hal tersebut melalui berbagai cara. Dengan peradaban digital yang baik, maka masyarakat memiliki benteng yang kuat untuk menyaring informasi yang dikonsumsi agar terhindar dari dampak hoaks, terutama pada saat kontestasi pemilu.

Muhammad Iqbal Khatami peneliti Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)

Simak juga 'Cegah Hoax di Pemilu, Kominfo-Bareskrim Perkuat Pengamanan Ruang Digital':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork