Kebangkitan pascapandemi banyak menjadi jargon setelah pandemi Covid-19 berlalu. Jargon ini tidak berarti perekonomian dunia, termasuk Indonesia, sudah kembali seperti sedia kala. Kini, ketidakpastian ekonomi, khususnya pada 2023 menjadi tantangan negara-ngara di dunia. Salah satu pemicunya adalah perang antara Rusia dan Ukraina. Klasik. Namun, perang ini menyebabkan terganggunya keseimbangan pasokan perdagangan internasional sehingga terjadi peningkatan harga.
Selain itu, kenaikan permintaan rumah tangga pascapandemi seolah menjadi minyak yang disiram pada api yang membara. Kenaikan harga tidak dapat terelakkan. Kedatangan tahun 2023 bahkan disambut dengan isu resesi yang menarik perhatian masyarakat Indonesia pada akhir 2022 lalu. Kenaikan harga internasional dan banyaknya perusahaan digital yang melakukan PHK menjadi pemicu kekhawatiran resesi.
Kenaikan harga menyebabkan kenaikan suku bunga yang berarti harga pembayaran pinjaman meningkat. Biaya operasional perusahaan pun membengkak dan akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK, bahkan tidak sedikit perusahaan start up yang akhirnya gulung tikar. Sementara itu, perusahaan yang masih dapat beroperasi akan menyalurkan kenaikan harga input menjadi kenaikan harga produk mereka.
Selain itu, kenaikan permintaan rumah tangga pascapandemi seolah menjadi minyak yang disiram pada api yang membara. Kenaikan harga tidak dapat terelakkan. Kedatangan tahun 2023 bahkan disambut dengan isu resesi yang menarik perhatian masyarakat Indonesia pada akhir 2022 lalu. Kenaikan harga internasional dan banyaknya perusahaan digital yang melakukan PHK menjadi pemicu kekhawatiran resesi.
Kenaikan harga menyebabkan kenaikan suku bunga yang berarti harga pembayaran pinjaman meningkat. Biaya operasional perusahaan pun membengkak dan akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK, bahkan tidak sedikit perusahaan start up yang akhirnya gulung tikar. Sementara itu, perusahaan yang masih dapat beroperasi akan menyalurkan kenaikan harga input menjadi kenaikan harga produk mereka.
Fenomena di atas bukanlah sebuah dongeng belaka. Badan Pusat Statistik telah membukukan inflasi tahunan 2022 yang lalu sebesar 5,51 persen. Inflasi atau kenaikan harga tersebut jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, yakni sebesar 1,87 persen. Inflasi tahunan 2022 menjadi inflasi tertinggi setelah shock kenaikan harga BBM pada 2014. Kenaikan harga yang ditakutkan saat ini adalah kenaikan pada bahan pokok makanan, sedangkan perekonomian masih belum bangkit sempurna.
Isu-isu kerawanan pangan pun pada akhirnya mulai banyak diangkat tidak hanya oleh media, tetapi juga para ekonom. Perhatian pada isu ini karena dampak kenaikan harga pangan akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Kenaikan harga pangan bahkan akan berdampak langsung pada perubahan kesejahteraan kelompok miskin dan rentan miskin. Terkadang isu ini dapat menjadi penentu hidup matinya seseorang pada kelompok kemiskinan ekstrem.
Lagi-lagi, sektor pertanian menjadi sektor yang penting dari sisi produksi. Pada masa pandemi, sektor pertanian menjadi salah satu sektor bantalan bagi perekonomian Indonesia. Beberapa daerah yang memiliki sektor pertanian yang dominan terdampak relatif lebih rendah. Kondisi tersebut karena elastisitas pendapatan untuk bahan makanan cenderung tidak elastis sehingga permintaan komoditas tersebut tidak terganggu. Seseorang akan tetap makan dengan ada atau tanpa pendapatan memadai.
Sekarang, seperti yang telah dijelaskan di atas, sektor pertanian juga menjadi pilar utama untuk mengatasi kerawanan pangan. Stok pasokan bahan makanan yang dihasilkan sektor ini harus dijaga dan dimonitor sehingga tidak memperparah kenaikan harga yang terjadi.
Sensus pertanian yang akan dilaksanakan tahun ini dapat menyediakan informasi stok pangan tersebut. Tidak hanya itu, data yang dihasilkan akan meliputi data pokok pertanian nasional, petani gurem, indikator SDGs Pertanian, petani skala kecil menurut Food and Agriculture Organization (FAO), dan data geospasial pertanian.
Sensus pertanian bukanlah hal yang baru; pertama dilakukan pada 1963 dan dilakukan setiap 10 tahun sekali. Tahun ini merupakan tahun ke-7 Indonesia melakukan sensus tersebut. Terdapat sekitar 18 negara yang akan melaksanakan sensus serupa pada tahun ini. Jika tidak ada aral melintang, Indonesia akan melaksanakan sensus ini pada Juni mendatang.
Urgensi data pertanian yang berkualitas semakin waktu akan semakin meningkat. Sensus Pertanian 2023 tidak hanya bermanfaat untuk menghasilkan data pada tahun terkait saja. Sensus ini juga akan menghasilkan kerangka sampel yang diperlukan untuk pengambilan sampel pada survei-survei pertanian hingga 10 tahun ke depan. Panjang durasi pemakaian tersebut sesuai dengan rekomendasi FAO dan amanat UU No.16 Tahun 1997 akibat konsekuensi dari mahalnya pelaksanaan sensus.
Urgensi data pertanian saat ini bukan lagi hanya persoalan tersedia atau tidaknya sebuah data, melainkan berkualitas atau tidaknya data yang dihasilkan. Tanggung jawab kualitas data tentu dibebankan pada pelaksana sensus tersebut. Namun, jika berbicara mengenai statistik, akurasi data bergantung pada besarnya kesalahan saat pengambilan sampel (sampling error), dan kesalahan lain seperti saat pelaksanaan sensus (non sampling error).
Semakin kecil kedua kesalahan tersebut, semakin akurat pula statistik yang akan dihasilkan. Untuk sensus, kualitas data hanya bergantung pada non-sampling error karena sensus berarti pengumpulan data secara lengkap tanpa penarikan sampel, yang berarti sampling error menjadi nol. Lalu, bagaimana meminimalisasi non sampling error? Kolaborasi merupakan kunci. Tidak hanya antartim pelaksana dalam satu instansi, tetapi juga antarinstansi pemerintah, antara pemerintah dan pihak swasta, bahkan antara petugas sensus dan masyarakat nantinya.
Sensus Pertanian 2023 dapat menjadi bagian dari solusi ketahanan pangan dan kesejahteraan di Indonesia. Informasi yang dihasilkan dapat bermanfaat sebagai dasar pengambilan kebijakan, khususnya di sektor pertanian. Kebutuhan data pertanian berkualitas semakin penting dalam isu kerawanan pangan yang kian menghantui. Semoga semua pihak dapat menjalin kolaborasi dan saling mendukung untuk menyukseskannya karena Sensus Pertanian milik dan demi kita bersama.
Febria Ramana Statistisi Badan Pusat Statistik, mahasiswi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
(mmu/mmu)