Jeda

Ke Mana Harus Pulang?

Impian Nopitasari - detikNews
Minggu, 05 Sep 2021 11:20 WIB
Impian Nopitasari (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Tidak sengaja saya melihat status Facebook teman, seorang penulis muda yang karyanya banyak dibicarakan. Begini statusnya, "Tiap kali baca tulisan tentang kampung halaman yang penuh dengan kenangan hangat, lembut, nyaman, aku nggak bisa paham. Sebab pengalamanku tumbuh besar di kampung halamanku bertolak belakang dengan itu."

Kebetulan saya kenal yang bersangkutan dan pernah berkomunitas bersama, jadi saya paham kalau statusnya itu bukan status asal nyinyir. Dia hanya menceritakan apa yang dia rasa apa adanya. Tulisan-tulisannya memang eskapis, futuristik, dan berlatar tempat yang jauh atau malah dunia antah berantah, tidak pernah bercerita tentang dirinya atau kampung halamannya. Beda dengan tulisan saya yang seringnya curhat melulu.

Untuk yang terlalu memuja lokalitas, memang tulisan teman saya ini jenis tulisan yang tidak masuk seleranya. Saya sendiri penyuka tulisan bertema lokalitas, tapi menurut saya tidak apa-apa tidak menulis tentang kampung halaman. Pengalaman tiap individu berbeda-beda. Kenangan mereka tentang kampung halaman tentu saja juga berbeda, tidak bisa disamakan.

Kalau kita merasa kampung halaman kita hangat dan menenangkan, tidak semua orang merasakan seperti itu. Buktinya dalam novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan, suasana desa juga bukan jenis yang gemah ripah loh jinawi tata trentrem kerta raharja, tapi banyak sekali konflik. Untuk kasus teman saya ini, saya mendukung sekali ketika dia menulis yang membuat bahagia saja. Bahkan saya sebenarnya lebih bahagia melihat dia tinggal di luar negeri seperti sekarang. Menurut ke-sok tahu-an saya, tempat tinggalnya yang sekarang kok sepertinya lebih mendukung dirinya untuk hidup dan berkarya.

Belum lama ini seorang teman pegiat teater meminta saya untuk memberi testimoni untuk sampul belakang buku antologi puisi dan cerpen yang digagas komunitasnya. Tentu saja reaksi pertama saya adalah menolak dulu. Ini bukan masalah saya sebenarnya sombong, tapi memang saya jenis penulis yang kurang bisa membuat testimoni semacam itu. Wong kalau diminta menulis kata-kata mutiara setelah tanda tangan di buku itu pasti hanya saya beri kalimat standar saja yaitu "selamat membaca". Jan ora kreatif. Tapi karena saya dipaksa terus ya akhirnya mau, tentu setelah saya baca naskahnya terlebih dahulu.

Sebenarnya ada dua orang lainnya yang memberi testimoni. Seorang filmmaker dan penulis yang lebih senior dari saya. Saya yang terakhir mengumpulkan testimoni karena apalagi kalau bukan bingung menyusun kata-katanya. Selain itu saya kebanyakan merenung, kenapa para penulis di buku itu banyak menceritakan soal rumah dan pulang? Padahal tulisan tidak bertema. Kan jadi ingat diri sendiri yang sudah hampir dua tahun tidak pulang ke kampung. Tambah setahun lagi sudah cocok jadi Bang Thoyyib. Tapi tunggu dulu, memangnya saya benar-benar merasa harus pulang? Jangan-jangan sebenarnya saya senang-senang saja tidak pulang.

Mungkin saya termasuk orang yang tidak beruntung karena tidak pernah merasa pulang ke rumah masa kecil saya. Bagi saya rumah saya di kampung itu hanya sekadar bangunan (house), bukan tempat untuk pulang (home). Itu salah satu alasan bagi saya betah merantau di kota Solo sejak kuliah. Kebetulan saya juga bukan tipe yang gampang homesick. Saya pulang karena kewajiban birrul walidain atau kalau ada keperluan penting.

Ketika lulus kuliah dulu saya mencari cara bagaimana agar tidak ada kewajiban pulang kampung. Saya diterima kerja di sebuah sekolah favorit meski hanya sebentar karena saya memilih keluar kerja untuk fokus lanjut kuliah lagi. Alasan saya lanjut kuliah mungkin paling nggak mutu di antara teman-teman lain. Saya lanjut kuliah agar tidak pulang kampung.

Tentu saja ada episode dalam hidup saya ketika saya mencoba tinggal dan bekerja di kampung halaman. Waktu itu bapak saya baru saja meninggal dan saya harus menemani ibu saya. Saya hanya betah selama 6 bulan. Sehari-hari saya habiskan untuk menangis karena mau bagaimanapun tetap tidak bisa berbaur dengan orang-orang di lingkungan kerja. Jangan salah, saya jenis orang yang adaptif sebenarnya. Setelah kena gastritis selama 3 bulan, ibu saya akhirnya membolehkan saya merantau lagi. Herannya, saya langsung sembuh ketika sampai Solo. Ya, saya tidak menyangkal kalau dunia saya, teman-teman saya, aktivitas saya, lebih nyaman dan nyambung ketika berada di kota Solo.

Sebenarnya banyak yang menyalahkan saya karena tidak mau pulang kampung. Dianggap egois, sok jadi anak kota. Tapi saya tidak masalah ketika dianggap "durhaka" karena lebih memilih berkarya di kota lain. Saya tidak apa-apa ketika tidak dipuji karena bukan golongan orang yang mau "bali ndesa mbangun ndesa". Lha wong membangun diri saya sendiri saja masih kepayahan.

Saya masih belum selesai dengan trauma dan kenangan buruk di tempat asal saya. Saya juga tidak bisa berkembang karena minim dukungan. Saya butuh akses lebih dan atmosfer yang mendukung. Saya tahu kapasitas saya seperti apa. Tidak akan saya paksa. Memang bagus ketika banyak anak-anak muda yang pulang dan memberdayakan kemampuannya untuk membangun desanya. Biarlah soal menjadi pioneer membangun desa itu menjadi bagian orang lain, bukan saya.

Secara fisik memang saya enggan pulang, tapi saya tidak terus melupakan kampung halaman. Berkali-kali saya mempromosikan adat istiadat, dialek, kuliner, kesenian dari tanah kelahiran saya melalui tulisan. Beberapa di antaranya berhasil memenangkan lomba. Beberapa di antaranya banyak dibaca orang dari daerah lain dan menimbulkan rasa ingin tahu. Jauh di lubuk hati, saya juga ingin banyak orang tahu tentang tanah kelahiran saya. Lidah saya sebenarnya juga lebih akrab dengan gurih dan asin, bukan manis. Tapi tentu saja kontribusi seperti ini dianggap tidak konkret karena saya tetap tidak mau pulang dan membangun desa dengan langsung.

Ada seorang teman saya tinggal di luar negeri sebagai peneliti. Berkali-kali dia disindir teman-teman lain karena belum atau tidak mau pulang ke Indonesia. Tapi teman saya itu bilang, tidak apa-apa dianggap tidak berkontribusi kepada bangsa sendiri, karena baginya, dengan tinggal di luar negeri dirinya malah bisa berkontribusi lebih banyak kepada umat manusia, tidak hanya negaranya. Justru ketika dia berada di negeri sendiri belum tentu akan berkembang karena minim dukungan. Saya jadi ingat Indra Rudiansyah, salah satu peneliti vaksin Moderna asal Indonesia.

Saya kok tidak yakin ketika dia masih berada di sini, dia akan bisa berkembang seperti itu. Seseorang yang belum mau pulang atau malah pindah kewarganegaraan sering dibilang tidak nasionalis. Itu pengamatan saya di media sosial ketika dulu ada orang yang membagikan informasi bagaimana prosedur pindah kewarganegaraan yang pernah dilakukannya. Sebenarnya ia hanya membagi pengalaman karena ada yang bertanya, bukan mengajak orang pindah kewarganegaraan.

Tapi ternyata banyak yang menghujat yang bersangkutan. Padahal kalau saya amati, orang ini bisa jadi malah "lebih Indonesia" daripada yang menghujat atau kami yang masih berstatus WNI. Dia pindah kewarganegaraan karena hal itu lebih memudahkan dirinya melakukan banyak hal, termasuk membantu ekonomi keluarganya. Anggun C. Sasmi juga pindah kewarganegaraan karena lebih memudahkan dalam kariernya, tapi saya merasa Anggun masih "sangat Indonesia".

Seperti yang saya rasakan setelah membaca buku Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo, perjalanan untuk pulang memang panjang. Bagaimana kebingungannya orang-orang yang sedang mengalami krisis identitas. Ke mana sebenarnya dia harus pulang?

Begitu pula ketika selesai membaca buku kedua seri Na Willa karya Reda Gaudiamo, Na Willa dan Rumah dalam Gang. Saya bisa ikutan mewek ketika tokoh Willa yang terpaksa pindah dari Surabaya ke Jakarta, meninggalkan segala yang dia cintai di Surabaya. Di bab terakhir, dia mengirim kartu pos kepada kepada Dul, temannya di Surabaya. Ia merasa menulis kartu pos tidak cukup. Dia ingin bercerita di sisi Dul. Ia ingin pulang. Tapi tidak bisa karena bapaknya pindah kerja ke Jakarta dan harus menetap.

Pulang adalah suatu kemewahan. Agustus baru saja lewat. Kita yang tiap tahun memperingati kemerdekaan, ternyata belum semua merdeka untuk menentukan ke mana kita akan dan merasa harus pulang.

Gondangrejo, 04 September 2021

Impian Nopitasari penulis, tinggal di Solo




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork