Tentang Takaichi Perdana Menteri Wanita Pertama di Jepang

Rita Uli Hutapea - detikNews
Minggu, 05 Okt 2025 09:01 WIB
Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Jakarta -

Sanae Takaichi terpilih menjadi pemimpin partai berkuasa, Partai Demokrat Liberal (LDP), menempatkannya untuk menjadi perdana menteri (PM) Jepang. Ia akan menjadi PM perempuan pertama di negeri itu.

Wanita berusia 64 tahun ini terpilih pada Sabtu (4/10). Ia berharap membangkitkan kembali partai berkuasa, yang sedang terpuruk, di tengah kelompok anti-imigrasi baru yang mulai menyerang.

Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (4/10/2025), konservatif garis keras ini, hampir pasti akan disetujui oleh parlemen sebagai perdana menteri kelima Jepang dalam beberapa tahun, sebuah langkah yang menurut media lokal dapat terjadi pada pekan depan tanggal 13 Oktober mendatang.

Ia terpilih sebagai presiden LDP setelah memenangkan pemilihan putaran kedua melawan Shinjiro Koizumi (44), putra seorang mantan perdana menteri Jepang.

Keduanya memasuki putaran kedua setelah Yoshimasa Hayashi yang moderat, dijuluki "Mr. 119" berdasarkan nomor telepon darurat Jepang, tersingkir bersama dua kandidat lainnya.

Takaichi kini menghadapi sejumlah isu kompleks termasuk populasi yang menua, pergolakan geopolitik, ekonomi yang melemah, dan meningkatnya kekhawatiran tentang imigrasi.

Namun, pertama-tama, ia harus memastikan bahwa LDP, yang telah memerintah hampir tanpa henti sejak 1955, dapat kembali menggalang dukungan pemilih.

Perdana Menteri Shigeru Ishiba yang akan lengser mengambil alih kepemimpinan tahun lalu, tetapi koalisi pimpinan LDP-nya kehilangan mayoritas di kedua majelis parlemen, dan ia pun menyerah.

Salah satu partai yang sedang naik daun adalah Sanseito, yang senada dengan gerakan populis lainnya dengan menyebut imigrasi sebagai "invasi diam-diam" dan menyalahkan pendatang baru atas berbagai masalah.

Takaichi dan Koizumi dalam kampanye LDP berusaha menarik minat pemilih yang tertarik dengan pesan Sanseito tentang orang asing, baik imigran maupun kerumunan turis.

Jepang harus "mempertimbangkan kembali kebijakan yang mengizinkan masuknya orang-orang dengan budaya dan latar belakang yang sangat berbeda", kata Takaichi.




(aik/aik)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork